Garangnya
para penegak hukum sudah dimulai sejak proses penyidikan di polisi. Sebut
saja ketika ada orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan
–yang motifnya sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau
tindak pidana ringan lainnya, polisi langsung memproses hukum, bahkan
kerap kali pelaku langsung ditahan.
Alasan
normatif “kaku” yang sering kali dipakai adalah karena alasan objektif
dan alasan subjektif. Dua alasan ini yang sering pula diterapkan
berlawanan ketika menangani pelaku yang berbeda kasta. Penerapan alasan
ini juga yang diterapkan pada kasus mbah Minah, Basar-Kholil, Aal, dan
kaum papa lainnya. Sementara, sebaliknya aparat penegak hukum sangat
lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan
dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas.
Sebut saja
kasus-kasus mega skandal pembobolan bank, pajak APBN/D, atau kasus hukum
yang melibatkan anak pejabat, misalnya kasus Rasyid Rajasa. Saat ini,
praktik ketidakadilan hukum yang cukup telanjang adalah kasus Rasyid
Rajasa terdakwa dalam kasus tabrak mati awal Januari 2013. Sejak awal,
ketidakadilan hukum sudah mulai menguap; mulai dari proteksi pelaku
ketika kecelakaan lalu lintas terjadi, kejadiannya cenderung
”ditutup-tutupi”.
Mulai proses
hukum di kepolisian, sang pelaku atau tersangka tidak ditahan dengan
alasan subjektif polisi, padahal menimbulkan korban meninggal. Bagi
polisi, pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti,
dan tidak melakukan perbuatan yang sama. Dalam proses penyidikan di
kepolisian, sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan
kebanyakan pelaku yang lainnya dengan kasus serupa. Perlakuan hukum yang
sama juga terjadi di kejaksaan.
Tersangka
juga tidak ditahan dengan alasan yang nyaris sama pada saat penyidikan.
Pada proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang membuat heran
masyarakat luas adalah dasar hukum dan tuntutan jaksa penuntut umum
(JPU). Rasyid dikenakan dakwaan primer Pasal 310 Ayat 4 subsider Ayat 3
Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai Kelalaian Dalam Mengemudi Yang
Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia, dengan dakwaan kedua Pasal 310
Ayat 2 Undang- Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai Kelalaian Yang
Menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Korban Luka Ringan Dan
Kerusakan Kendaraan.
Atas dasar
ini, Rasyid dituntut delapan bulan dengan masa percobaan 12 bulan.
Akhirnya hakim PN memvonis Rasyid bersalah dengan hukuman lima bulan
dengan masa percobaan enam bulan. Artinya, putra Hatta Rajasa itu tidak
menjalani enam bulan di penjara jika selama 12 bulan tidak melakukan pelanggaran
hukum yang sama. Rasyid pun tak akan ditahan.
Publik
langsung terperangah melihat tuntutan JPU dan vonis hakim yang ”super”
ringan tersebut. Dari tuntutan dan vonis itu, secara yuridis normatif
memang tidak ada yang keliru. Namun, tuntutan dan vonis tersebut tentunya
sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana seandainya kasus
yang sama dialami selain Rasyid. Fakta membuktikan, dengan kasus yang
sama pelakunya dihukum cukup berat.
Ketidakadilan Hukum
Keadilan
hukum bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang yang mahal,
sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elite). Keadilan
hukum hanya dimiliki orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik
dan ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi Donald Black
(1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil bahwa Downward law is greater than upward.
Maksudnya,
tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas atas atau kaya
terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai
serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang
sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara
kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto,
2008:187). Fenomena ketidakadilan ini terus terjadi dalam praktik hukum
di negeri ini.
Munculnya
pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah,
menunjukkan sistem dan praktik hukum kita bermasalah. Menurut Ahmad Ali
(2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan
masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum
di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap
law enforcement semakin memburuk.
Gambaran ini
yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa
aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum
kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini kurang disadari dalam
hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17).
Praktik-praktik
penegakan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat
legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial
sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang
memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan
yang tak punya kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja.
Namun,
kenyataannya hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat
miskin dan menyanjung kaum elite. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan
realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undangundang atau
peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Ini
tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih
mengedepankan positivisme.
Penegak hukum
seperti memakai kacamata kuda (baca: berhukum dengan UU/pasal) yang sama
sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum para penegak
hukum tanpa nurani dan akal sehat. Karena itu, di tengah keterpurukan
praktik berhukum di negara ini yang mewujud dalam berbagai realitas
ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin,
sudah saatnya
kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic positivistic, yakni
cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan
terobosan hukum yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008) disebut
sebagai penerapan hukum progresif.
Salah satu
aksi progresivitas hukum adalah berusaha keluar dari belenggu atau
penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan
pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum
dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis
diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang
lebih substantif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar