Revolusi
Suriah terus memakan korban. Kali ini yang menjadi korban dari krisis
politik yang sudah memasuki tahun ketiganya adalah Syeikh Mohamed Said
Ramadan al-Bouti.
Beliau
merupakan salah satu ulama moderat terkemuka di dunia dengan deretan
karya dan pemikirannya. Ramadan al-Bouti, demikian beliau dikenal,
meninggal pada Kamis malam waktu setempat (21/3) saat sedang mengisi
pengajian di Masjid Al-Iman di Damaskus. Ulama besar lulusan Al-Azhar,
Kairo, Mesir ini meninggal bersama puluhan korban lainnya akibat bom
bunuh diri yang meledak di masjid tersebut. Sementara rezim Bashar
al-Assad dan kelompok revolusi saling tuding terkait pelaku bom bunuh
diri tersebut.
Konspirasi dan Kontroversi
Dalam kondisi
negara kacau balau seperti Suriah sekarang, tentu sangat sulit melakukan
investigasi secara mendalam dan transparan untuk mengungkap dalang di
balik pembunuhan ulama beraliran Sunni tapi justru membela rezim Bashar
al-Assad itu. Lebih sulit lagi mempercayai pernyataan kedua belah pihak.
Hal ini tak lain karena sejak dalam dua tahun terakhir Suriah acap
menjadi wilayah tak bertuan.
Adalah benar
bahwa hingga hari ini rezim Bashar al- Assad terus mempertahankan diri
dari pelbagai macam serangan kelompok revolusi. Namun juga tak dapat
dibantah, pelbagai macam kelompok saat ini berada di Suriah, baik dalam
rangka membantu kekuatan rezim al-Assad maupun dalam rangka melawan dan
meruntuhkan rezim, atau bahkan untuk kepentingan di luar persoalan
politik negara itu (seperti untuk melawan Israel yang berbatasan langsung
dengan Suriah).
Dalam kondisi
seperti ini, semua yang terjadi di negara itu, khususnya dalam dua tahun
terakhir, sarat dengan konspirasi dari kedua belah pihak untuk tujuan
masing-masing. Apalagi krisis politik di Suriah telah melibatkan
kepentingan pihak-pihak luar sedemikian rupa di kedua belah pihak, mulai
dari Amerika Serikat hingga milisi Syiah, mulai dari Rusia hingga anasir
Al-Qaeda.
Penulis
pernah satu panggung dengan dua tokoh agama dari Suriah (secara terpisah)
yang mewakili dua kelompok yang sedang bertarung. Satu tokoh mewakili
rezim Bashar al- Assad dan berupaya meyakinkan bahwa Suriah tetap kuat
sebagai negara, tak seperti yang digambar-gemborkan banyak media.
Sedangkan satu tokoh lainnya dari kalangan revolusi dan berupaya untuk
meyakinkan akan kebrutalan dan kebiadaban rezim Bashar al-Assad.
Hal yang
harus diperhatikan dari yang disampaikan di atas adalah, Indonesia yang
jauh dari Suriah dan bahkan tak ada kaitan apa pun dengan konflik yang
terjadi di sana masih dijadikan sebagai area pertempuran oleh kedua belah
pihak yang bertikai. Terlebih lagi negara- negara yang dekat dengan
Suriah, dan terlebih lagi di internal negara tersebut. Inilah kurang
lebih kondisi Suriah mutakhir yang bahkan telah mengorbankan ulama besar
seperti Syeikh Ramadan al- Bouti.
Apalagi
beliau menjadi ulama kontroversi lantaran membela rezim Bashar al- Assad.
Yang menarik, beliau dikenal sebagai salah satu ulama Sunni terkemuka,
sementara rezim Bashar al-Assad justru identik dengan Syiah. Dalam
kondisi seperti ini, almarhum sangat empuk untuk dijadikan sebagai
“sasaran antara” oleh kedua belah pihak sebagai upaya untuk saling
memojokkan.
Dengan
membunuh almarhum, contohnya, rezim al- Assad bisa menusuk dan memojokkan
kelompok revolusi karena bisa tertuduh sebagai pelakunya. Pun demikian
sebaliknya; dengan membunuh almarhum, contohnya, kelompok revolusi bisa
menusuk dan memojokkan rezim Bashar al-Assad yang bahkan rela membunuh
pendukungnya sendiri. Bahkan tak menutup kemungkinan pembunuhan ini
melibatkan pihak ketiga sebagai upaya untuk semakin memperkeruh peta
konflik di Suriah.
Melampaui
Siapa pun
pelaku pembunuhan ini dan apa pun motifnya, yang pasti almarhum sudah meninggal
dalam keadaan yang sangat membanggakan; meninggal di saat sedang mengisi
pengajian. Banyak karya dan pemikiran dari almarhum yang telah diwariskan
kepada umat dan sejatinya dijadikan sebagai modal oleh semua pihak untuk
melampaui semua kontroversi politik beliau dalam dua tahun terakhir.
Sebatas
pengetahuan penulis (tanpa bermaksud menihilkan karya yang lain),
setidaknya ada tiga buku dari Syeikh Ramadan al-Bouti yang memberikan
sumbangsih pemikiran sangat berharga bagi umat. Pertama, buku tentang
jihad berjudul Al- Jihad fil Islam:
Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu (Jihad dalam Islam: Bagaimana Memahami dan Mengamalkannya?).
Buku yang terbit pertama kali tahun 1993 ini bisa dijadikan rujukan oleh
banyak pihak dalam memahami ajaran jihad sejati dalam Islam.
Khususnya di
saat ajaran jihad kerap disalahpahmi oleh sebagian pihak seperti
sekarang. Hingga jihad acap diidentikan dengan kekerasan atas nama agama
seperti dilakukan oleh kelompok teroris. Bahkan dalam kitab tersebut,
al-Bouti secara khusus mengupas tentang salah satu Hadits Nabi yang
dijadikan sebagai landasan oleh sebagian pihak dalam berdakwah dengan
caracara kekerasan.
Yaitu Hadits
yang menegaskan bahwa Nabi diperintah untuk memerangi umat manusia sampai
mereka masuk Islam. Masih menurut al-Bouti, terma memerangi (uqatil)
dalam Hadits di atas harus dibedakan dengan terma membunuh (aqtulu). Karena termmemerangi
menegaskan adanya keterlibatan pihak lain (al-musyarakah, berperang). Dan perang dimaksud dalam Islam
tak lain bersifat defensif.
Yakni
berperang dalam rangka membela diri setelah diserang terlebih dahulu oleh
pihak lain (1993: hal. 59). Kedua, buku tentang salafisme berjudul As- Salafiyah: Marhalah Zamaniyah
Mubarokah, La Mazhab Islamiy (Salaf
Merupakah Fase Yang Diberkati, bukan Sebuah Sekte/ Salafisme). Dalam
buku yang diterbitkan pertama kali pada 1988 ini, Syeikh al-Bouti
mengkritik dengan sangat keras gerakan salafisme, khususnya setelah
mengalami penyempitan sedemikian rupa di kalangan kelompok
Wahabi/Wahabisme.
Bahkan
Wahabisme yang kerap memvonis kelompok lain dengan sebutan bid’ ah (tindakan mengada-ada dalam hal
agama dan tidak ada pada zaman Nabi) justru disebut oleh almarhum sebagai
kelompok bid’ah (1988: 227). Menurut Syeikh al-Bouti, kesalafan sejati
(mengikuti generasi Islam awal) bersifat keilmuan (secara metodologis)
dan keteladanan (secara prilaku).
Dengan kata
lain, umat Islam sejatinya mengikuti generasi Islam awal dalam upaya
memahami ajaran Islam (baik yang termaktub dalam Al-Quran, Hadis, dan
kitab-kitab ulama terdahulu) dan mengamalkannya sebagai sebuah
keteladanan (1988: 230). Kritik tajam Syeikh al-Bouti terhadap Salafisme
telah memposisikan beliau secara vis a vis dengan kelompok Wahabi.
Apalagi
kritikan-kritikan beliau tampak lebih diarahkan kepada gerakan Wahabi
daripada gerakan MuhammadAbduh(1849-1905) dan Jamaludin Al-Afghani
(1838-1897) yang dikenal sebagai pengenal istilah Salafisme pada era
modern ini. Bedanya adalah, Syeikh Muhammad Abduh dankawan-kawan memaknai
jargonsalafisme dalam semangat reformistik. Sementara kelompok Wahabi
memaknai salafisme dalam semangat puritanistik(1988: 230-236).
Ketiga, buku
tentang sejarah Nabi berjudul Fiqhu
as-Sirah an- Nabawiyah (Fikih
Sejarah Nabi). Buku ini bisa disebut sebagai salah satu karya
terbesar almarhum. Berbeda dengan buku-buku sejarah Islam yang bersifat
naratif, kitab yang sampai dicetak berulang kali ini dikemas dalam
kemasan yang praktis. Buku ini tak hanya menceritakan pelbagai macam
peristiwa di masa lalu, melainkan mempermudah jalan untuk mengulang
sukses masa lalu di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Tak heran
bila banyak orang menjadikan kitab ini sebagai rujukan perjuangan,
termasuk di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Di luar tiga buku di
atas masih terdapat puluhan buku lain karya Syeikh Ramadan al-Bouti yang
tak dapat diulas semua dalam ruang yang sangat terbatas ini. Namun
demikian, beliau tetaplah manusia seutuhnya dengan semua kelebihan dan
kekurangannya. Sebagian pihak mungkin menyanjung dan mengikutinya.
Sedangkan
sebagian lain mungkin justru mencemooh dan mengabaikannya, khususnya
terkait dengan pilihan politiknya dalam persoalan revolusi Suriah. Hal
yang hampir bisa dipastikan, beliau tidak mungkin mengambil langkah apa
pun tanpa pertimbangan yang matang, khususnya dari perspektif agama.
Semoga segala amal yang telah dilakukan diterima oleh Allah SWT dan
Suriah segera stabil kembali. Selamat jalan Syeikh Mohamed Said Ramadan
al-Bouti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar