SUDAH lebih dari 3 x 24 jam sejak penyerangan Lapas
Cebongan, Sleman, (23/3) terjadi, belum ada gelagat titik terang. Memburu
pasukan pembunuh itu ibarat mengejar kelompok ''siluman'' yang beraksi
cepat, akurat, serta membuat gentar pemburunya juga.
Memang, operasi tersebut tergolong rapi dan khas sebuah misi klandestin.
Para penyerang ala ''ninja'' yang pakai cadar sebo itu amat minim
meninggalkan jejak.
Diduga, Polda DIJ sudah mencium gelagat adanya penyerangan. Minimal dari
indikasi pemindahan yang serba tergesa-gesa. Awalnya, para korban yang
tersangka pembunuh anggota TNI itu ditahan di Polres Sleman, lalu
dipindah ke polda, lantas ke Cebongan, lapas di tengah sawah dan jauh
dari permukiman.
Jika polisi sudah membaca gelagat, mengapa tidak dititipkan ke Brimob? Bisa
jadi, mereka menghindari bentrokan yang mirip di Ogan Komerin Ulu (OKU),
Sumatera Selatan.
Secara teoretis, para korban itu berada dalam kondisi yang amat mudah
diserang. Situasinya mendukung karena sepi, minim saksi, dan peralatan
pengamanan amat terbatas. Keempatnya dikumpulkan dalam satu sel pula.
Lazimnya sebuah operasi klandestin, tentu ada titik 0 atau safe house sebelum ninja-ninja itu
bergerak. Safe house tersebut pasti tak jauh-jauh
dari lapas, akses ke jalan utama, dan aman dari kecurigaan warga.
Juga, patut dicermati, senjata yang digunakan adalah AK-47 kaliber 7,62
mm nonorganik (tidak digunakan TNI-Polri) dan bisa diidentikkan (atau
ditudingkan) dengan senjata gelap kelompok ''teroris''.
Kawanan ninja tersebut bahkan menyiapkan surat bon seolah-olah dari Polda
DIJ. Satu orang yang tak bercadar bilang ''dari polda'' kepada sipir.
Asumsi awal adalah tidak ada sipir yang harus terluka. Ada unsur strategic suprise yang diharapkan: pintu buka,
tahanan diambil, eksekusi .Tapi, plan A gagal karena sipir melawan.
Akibatnya, ada lima yang terluka dihantam popor (tidak semua saksi tewas kan? Mereka saksi yang
bisa ditanyai).
Seusai eksekusi, ke mana mereka lari? Logika standar operasi klandestin
adalah ke safe house kedua. Di sana, senjata dikumpulkan
dan ''dihilangkan'' oleh tim sweeper logistik. Lalu, personel
menghilang.
Yang selanjutnya bertugas adalah tim distorsi info atau tim noise. Caranya, membuat
informasi yang bias, tumpuk-tumpuk, dan rancu. Istilah Jawa-nya mbingungi. Target mereka terutama wartawan
dan tim penyidik. Bisa via gadget (social media) atau mouth to mouth. Informasi
palsu itu bahkan hingga kemarin masih menyebar di Jogja. Misalnya, isu
akan adanya pembakaran kafe dan sweeping warga NTT. Itu khas operasi
klandestin intelijen hitam yang disebut strategi mufas atau multiple false scenario.
Bagaimana mengungkap operasi tersebut? Kita urut dari disiplin reserse
dulu, yakni olah tempat kejadian perkara (TKP). Olah TKP itu dibagi dua,
secara fisik dan pemeriksaan saksi-saksi. CCTV memang rusak dan hilang.
Tapi, data sekecil apa pun, bahkan yang kita anggap sepele, bisa sangat
menentukan penyidikan.
Misalnya, bekas ban mobil, jenisnya apa. Jarak parkir dengan gerbang,
bekas sepatu, bekas peluru, bekas popor, dan semacamnya. Belakangan,
polda merilis bahwa pelaku menggunakan sepatu PDL atau khas pakaian dinas
lapangan layaknya aparat keamanan.
Juga, periksa ponsel Kalapas Sukamto, siapa yang menelepon dia suruh
siap-siap sekitar 15 menit sebelum diserang. Sipir-sipir yang dipopor
juga harus diperiksa detail. Misalnya, dari mana mereka bisa menghitung
jumlah penyerang 17 orang? Dalam kondisi gelap, cepat , dan tertekan
mentalnya, jumlah itu harus diverifikasi.
Lalu, apa bahasa dan logat penyerang, siapa yang nadanya mengomando. Suara
komando orang terlatih jelas khas. Ciri fisik bisa juga berguna. Tinggi
badan kira-kira, tegap, gemuk, kurus, atau apakah tingginya ''seragam''?
Bagaimana mereka bergerak? Sigap, tangkas, ragu-ragu, atau malah terpola
layaknya sudah disimulasikan? Kelompok pro selalu bersimulasi serangan
berkali-kali.
Analisis motif juga mahapenting. Mengapa empat preman tersebut dibunuh?
Yang paling mungkin, soal balas dendam primitif. Atau sebab lain?
Mungkinkah empat orang itu dikhawatirkan membuka ''sesuatu'' dan ada yang
dirugikan jika disidang?
Lihat juga side motif seperti asumsi adanya pihak
ketiga yang ingin memfitnah sebuah kesatuan, misalnya Kopassus yang jadi
sasaran gunjingan. Tapi, kenapa? Ingat, almarhum Heru Santoso, selain
anggota Kopassus, juga pernah menjadi anggota Denintel Kodam IV
Diponegoro. Ada juga info, satuan lain punya masalah dengan geng NTT itu.
Atau, gegeran antarpreman. Tapi, siapa yang melatih?
Olah TKP dan olah motif dibantu hal ketiga, yakni database intelijen. Namun, semua proses penyidikan
itu harus diikat dengan satu hal. Yakni, kemauan atau good will aparat, baik polisi maupun
penyidik militer, untuk mengusut kasus tersebut. ●
|
thanks buat arikelnya gan :)
BalasHapus