Pertengahan
Februari yang lalu para pedagang warung tenda mengeluh adanya kenaikan
harga. Tomat yang semula Rp 4 ribu per kg, naik menjadi Rp 15 ribu per
kg. Cabai yang biasanya Rp 10 ribu per kg, melonjak menjadi Rp 30 ribu
per kg, dan sebagainya. Kondisi demikian bisa terjadi karena banyak
komoditas yang masih bergantung pada impor.
Dari
aspek sosial budaya, mungkin saja masyarakat kita telah termanjakan oleh
alam, kurang memiliki etos kerja keras, dan minim tantangan. Sedangkan,
masyarakat di belahan bumi yang lain didera oleh musim gugur dan musim
dingin yang tidak mungkin bercocok tanam, serta perlu menghangatkan tubuh
melawan kebekuan alam.
Semula
masyarakat banyak yang menduga bahwa kenaikan harga produk hortikultura
adalah disebabkan oleh tingginya curah hujan sehingga gagal panen. Belakangan
muncul bukti bahwa ada tambahan penyebab persoalan, yakni adanya penjahat
perdagangan yang memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dalam
kesempitan dengan cara menyengsarakan rakyat.
Akan
tetapi, apabila diperhatikan dengan lebih mendalam, akar permasalahan dan
solusi kerumitan agribisnis dan agroindustri ini ada enam macam.
Permasalahan pertama memang faktor musim. Pada umumnya, petani menggarap
sawah tergantung pada kondisi musim hujan atau musim kemarau. Untuk
memecahkan masalah ini ada dua alternatif, yakni membuat sistem penyangga
yang baik sehingga bisa mengendalikan kondisi pasar, permintaan dan
suplai, atau jalan keluar yang kedua, yaitu pengaturan impor produk untuk
memenuhi kebutuhan. Untuk yang belakangan ini tentu memiliki risiko ketergantungan
kepada negara lain dan sistem perdagangan.
Kedua,
adalah kondisi petani yang kebanyakan memiliki modal terbatas, sehingga
harus berpikir keras saat mau membeli benih, pupuk, atau pestisida.
Apabila diperkirakan modal ber tanam terlalu tinggi dibanding dengan
perolehan uang saat panen, para petani memilih untuk tidak bercocok tanam
pada musim tersebut. Solusi permasalahan keterbatasan modal ini adalah
disediakannya lembaga keuangan khusus yang berbunga rendah. Bisa berupa
koperasi antarpetani atau kebijakan khusus perbankan yang berpihak kepada
usaha tani.
Permasalahan
ketiga adalah kepemi likan lahan yang sangat sempit. Berkurangnya lahan
agraris ini mendapat ancaman pula dari maraknya alih guna (konversi)
lahan pertanian. Negeri kita belum melindungi lahan pertanian sebagaimana
yang sudah dilakukan di Jepang, Korea, Cina, dan sebagainya. Sistem warisan
dan tata guna lahan pertanian harus diadakan reformasi.
Permasalahan
yang keempat adalah penguasaan teknologi para petani yang masih lemah.
Untuk memecahkan masalah ini, penyuluhan, pelatihan, dan pemagangan bagi
petani harus dilakukan secara serius, sistematis, dan tepat sasaran. Di
samping itu, penelitian sebaiknya fokus pada permasalahan yang perlu
diperoleh solusinya, tepat materi, dan tepat teknologi.
Permasalahan
yang kelima adalah kondisi geografis negeri kepulauan yang penuh gunung
dan lembah sehingga bisa menyebabkan biaya transportasi dan distribusi
menjadi lebih mahal. Pola mendekatkan area produksi dengan kawasan pasar
suatu komoditas menjadi sangat penting.
Permasalahan
tersebut menjadi lebih berat apabila ditambah dengan permasalahan yang
keenam, yakni iklim usaha yang buruk. Beberapa kali kita dengar keluhan
bahwa biaya angkut dari wilayah tengah dan timur Indonesia ke Jakarta
lebih mahal bila dibandingkan dengan mengirim produk ke Shanghai atau ke
Jepang. Tingginya biaya transportasi tersebut termasuk biaya bongkar muat
dan pungutan-pungutan yang tidak murah.
Integritas Paradigma
Melihat
kompleksitas permasalahan agribisnis dan agroindustri tersebut ter- nyata
tidak cukup dengan penyelesaian jangka pendek, misalnya menindak kartel
perdagangan yang nakal saja. Memang hal itu sangat penting untuk ditindak
tegas, tapi tidak kalah pentingnya adalah memetakan permasalahan dan
solusi jangka panjang dan jangka pendek yang terkait dengan permasalahan
kondisi alam, ekonomi, sosial, teknologi, politik, dan budaya.
Ada yang bersifat nasional, ada pula yang merupakan diagnosis dan terapi
lokal. Dan, harus diwaspadai bahwa teori meningkatnya harga komoditas
pangan, secara aksioma pasti petani diuntungkan, tidak selalu benar. Pada
kenyataannya tidak selalu demikian. Seringkali harga yang diterima petani
tetap saja rendah, tetapi yang beruntung besar justru para pedagang
pengumpul yang bermodal raksasa.
Belajar
dari keberhasilan negara dan bangsa lain dalam meraih kemajuan dan
kesejahteraan memang harus dilakukan. Namun, realitas negeri kita
yang agraris juga harus diperhatikan, sama halnya dengan kenyataan bahwa
keunikan negeri kita adalah berupa kepulauan. Dengan demikian, maka
visi, misi, strategi, kebijakan, dan kegiatan yang diimplementasikan
harus ada keberpihakan kepada usaha tani, kelautan, para petani, dan
nelayan. Integritas terhadap paradigma negeri agraris dan negeri
kepulauan harus teguh dimiliki dan konsisten dilaksanakan. Dan, kita
berharap perhatian pada kenyataan utama negeri dan bangsa ini tidak hanya
saat ada permasalahan, setelah lewat dilupakan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar