Apakah ini suatu déjàvu? Empat belas tahun setelah
percobaan demokrasi liberal yang tak kunjung memenuhi kebutuhan
rakyatnya, pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Empat belas tahun setelah
percobaan demokrasi liberal Era Reformasi yang tak kunjung memenuhi
kebutuhan rakyatnya, pada 25 Maret 2013 gerakan perubahan menyerukan
ganti rezim-ganti sistem, kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Suatu perubahan radikal
memerlukan ”nabi” dan ”pemimpinnya”. Pada masa lalu, Soekarno sebagai pemimpin
besar revolusi menjadi towering
moral stature yang menggerakkan perubahan dari atas. Kini, ketika
kita hidup dalam suatu era kemerosotan pusat teladan, gerakan perubahan
tak lagi dipimpin oleh ”tokoh agung”, tetapi suatu jaringan kesadaran
kolektif dari bawah.
Ini memang baru fajar kesadaran
revolusioner. Perlu keteguhan keyakinan untuk menangkal keraguan. Suara
kemapanan cenderung meyakini, aktivisme radikal sudah kasip. Begitu
latah percaya bahwa tatkala kebanyakan orang lebih suka duduk berleha, mengisi
pandangan hidupnya dengan suguhan televisi dan media sosial, aktivisme
politik tidak perlu lagi berteriak dan berkeringat, cukup didelegasikan
kepada mekanisme elektoral. Namun, jenis keyakinan yang juga pernah
bergema pada akhir 1930-an, ketika gairah radikalisme-sosialisme menepi
begitu dunia memasuki Perang Dunia II, nyatanya kembali bergelora begitu
perang usai.
Ketika Indonesia memasuki era
Reformasi, suara radikal melenggang terhipnotis euforia pesta demokrasi,
percaya bahwa mekanisme elektoral merupakan andalan utama memenangkan
daulat rakyat. Setelah 14 tahun demokrasi berjalan dengan meninggalkan
demos, suara rakyat bisa dibajak suara uang, timbul kesadaran baru bahwa
legitimasi demokrasi tak bisa hanya ditentukan jumlah, tetapi harus didasarkan
pada imperatif moral pandangan hidup bangsa ini.
Inilah titik api revolusi.
Langkah pertama perubahan radikal adalah menyadari adanya kesalahan besar
dalam pengelolaan politik. Sumbu revolusi bisa dinyalakan ketika suara
publik dalam media massa dan media sosial ramai menggunjingkan perilaku
kepala negara yang lebih produktif sebagai pesinden ketimbang presiden,
lebih berpihak kepada kepentingan korporatokrasi ketimbang kepada
rakyatnya; ketika lembaga-lembaga survei menunjukkan ketidakpercayaan
publik terhadap lembaga perwakilan yang lebih mewakili kepentingan yang
bayar ketimbang aspirasi rakyat; ketika sumpah-serapah dimuntahkan kepada
aparatur penegak hukum yang menjadi jaringan pelanggaran hukum; ketika
tingkat partisipasi pemilih terus merosot di serangkaian pemilihan kepada
daerah; dan ketika surplus kebebasan justru melahirkan ketidaksetaraan
yang lebih lebar.
Ketika suara aliran mulai mereda
dalam politik Indonesia, dan ketika pemerintahan di bawah corak aliran
apa pun sama korup dan sama zalimnya, gerakan radikal masa kini tampil
dengan definisi musuhnya yang baru. ”Musuh
kita bukan suku, agama, dan aliran yang berbeda, melainkan kekuasaan yang
menindas.” Dengan definisi itu, agenda pergerakan menemukan momentum
kebersamaan untuk menuntaskan revolusi sosial yang diimpikan Bung Karno,
yakni revolusi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Ketidakbersambungan antara suara
publik dan pilihan kebijakan negara membuat gerakan radikal meninggalkan
saluran tradisional kelas menengah untuk menyelesaikan masalah melalui
lobi. Gerakan ini lebih memilih menyatu dengan akar rumput, melakukan
tindakan nyata lewat aksi-aksi jalanan.
Apa yang tertinggal dari gerakan
ini adalah kekuatan intelektual organik yang dapat mengartikulasikan
kesadaran dan keresahan kolektif. Banyak aktivis jemu dengan sampah
perdebatan di ruang publik, lantas tidak lagi memandang wacana sebagai
sesuatu yang penting. Diskusi dihentikan, lantas melompat ke aksi.
Padahal, usaha mendelegitimasi rezim demokratis lebih sulit ketimbang
rezim otoritarian sehingga kekuatan argumentatif dan artikulatif justru
sangat vital. Tanpa kemampuan merumuskan masalah dan menawarkan visi,
sebuah aksi bukan saja tidak mampu menawarkan jalan keluar dari
kegelapan, melainkan juga tidak bisa menginspirasi beragam gugus sosial
untuk bergabung ke dalam suatu blok-historis (historical bloc).
Antonio Gramsci percaya: ”Subyek-subyek politik tidaklah
terbatas pada kelas, tetapi juga kompleks ’kehendak kolektif’ (collective
wills) yang merupakan hasil pengartikulasian ideologi-politik dari kekuatan-kekuatan
historis yang bertebaran dan terfragmentasi.”
Untuk mempertautkan kehendak
kolektif dari beragam posisi subyek itu diperlukan intelektual organik
yang dapat menyediakan kekuatan artikulasi dan kepemimpinan moral dalam
rangka mentransformasikan kepemimpinan sektoral menuju kepemimpinan
integral. Sebuah aksi penjebolan tanpa visi pemulihan bisa mengulangi
kesalahan masa lalu. Setelah rezim tumbang, kekuasaan dengan mudah
dibelokkan kemapanan ke jalan kesesatan, sedangkan para reformis segera
menjadi konservatif begitu revolusi berakhir. Seperti kata Isiah Berlin,
revolusi sejati tidak dikobarkan sekadar untuk memerangi keburukan,
tetapi juga dengan tujuan positif, yakni untuk menghadirkan kebaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar