Beberapa waktu lalu,
tepatnya 1 Januari 2013, wajah pendidikan Indonesia kembali tercoreng.
Kasus pelecehan seksual terhadap seorang siswi kembali terjadi dan
pelakunya tidak lain adalah oknum guru di sekolah itu. Kasus ini menambah
panjang daftar kasus amoral yang dilakukan oleh oknum guru, sekaligus
menunjukkan bahwa moral dunia pendidikan kita sudah tercemar.
Kasus amoral yang terjadi di
dunia pendidikan merupakan hal yang krusial dan sudah sangat memprihatinkan.
Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk
belajar, ternyata malah menebar ancaman. Sekolah bisa menjadi momok
menakutkan khususnya bagi para murid, terlebih para siswi. Mengingat
korbannya lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
Guru selaku aktor utama
pendidikan seharusnya dapat menjaga sikap dan perilakunya. Karena
bagaimanapun dan sampai kapanpun, guru akan menjadi figur yang akan
ditiru oleh muridnya, baik di dalam ataupun di luar sekolah. Alasan lain
mengapa guru harus menjaga sikap dan perilaku adalah karena sesama guru
ibarat sebuah keluarga. Jika salah satu dari guru melakukan kesalahan,
maka akan berdampak buruk bagi guru-guru yang lain. Dalam menjalankan
tugasnya, guru memiliki kewajiban yang sama yaitu mengajar dan mendidik.
Mengajar berarti memberikan pengetahuan kepada siswa sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan zaman, sedangkan mendidik berarti usaha untuk
mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun
rohani, yang meliputi pembinaan pribadi, sikap, mental dan akhlak anak
didik. Atau, lebih sederhanya mendidik adalah menanamkan nilai-nilai
luhur yang berkaitan dengan ahlak atau moral siswa.
Dalam konteks sebagai
pengajar dan pendidik, guru harus mampu menjaga moralitas dan profesionalitasnya.
Menjaga moralitas yaitu dengan menjaga sikap dan perilaku sesuai dengan
norma-norma agama ataupun masyarakat. Sedangkan menjaga profesionalitas
yaitu dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebaik mungkin.
Bersamaan dengan
permasalahan tersebut di atas, kode etik guru (KEG) yang sudah
diberlakukan sejak awal Januari 2013. KEG seyogianya menjadi rambu-rambu
bagi para guru dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Guru harus
memahami dan memanifestasikan apa yang termaktub dalam KEG dalam kehidupan
sehari-hari.
KEG merupakan pedoman bagi
guru yang di dalamnya mengatur hubungan antara hubungan guru dengan
peserta didik, hubungan guru dengan orangtua/wali murid, hubungan guru
dengan masyarakat, hubungan guru dengan sekolah dan rekan sejawat, hubungan
guru dengan profesi, hubungan guru dengan organisasi profesinya, hubungan
guru dengan pemerintah. Adapun tujuan dari diberlakukannya KEG supaya
sumber daya manusia (SDM) semakin berkualitas.
Dalam kode etik tersebut
juga terkait norma dan etika yang mengikat terhadap perilaku guru
sehingga jika terjadi pelanggaran, agar dapat segera ditangani. Tindakan
yang melanggar KEG tidak dibenarkan langsung dilaporkan kepada
kepolisian, tetapi kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) terlebih
dahulu.
Guru merupakan lambang
intelektual dan profesi, bukan hanya sekedar pekerjaan dan karir, namun
juga sebagai agent of change
(agen perubahan). Sentuhan profesionalitas guru akan sangat menentukan
kualitas murid yang diajarnya. Milerson, seorang pengamat pendidikan,
menyebutkan ada tiga ciri profesional. Pertama, perilaku yang
terorganisir. Seorang guru harus mampu mengorganisir diri dan
lingkungannya sesuai dengan tujuan belajar mengajar. Kedua, keterampilan
yang didasarkan atas pengetahuan teoritis. Dalam hal ini guru dituntut
untuk mengetahui teori-teori sesuai dengan disiplin ilmu yang diajarkan,
karena teori merupakan landasan yang akan digunakan seseorang untuk
memecahkan persolan. Tanpa teori ibarat menyuruh anak untuk berlari,
sedangkan berjalan saja belum bisa. Ketiga, kebutuhan akan latihan dan
pendidikan. Hal ini berarti bahwa guru harus terus berlatih guna
meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pendidik.
Dalam konteks pendidikan
sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan
begitu pesatnya, guru juga harus memiliki empat hal guna menopang
profesionalitasnya. Pertama, gagasan. Sebagai figur orang yang akan
selalu diikuti oleh murid-muridnya baik tindakan ataupun pemikirannya.
Guru harus memiliki gagasan-gagasan ataupun ide-ide cemerlang yang
visioner dan futuristik. Karena, tujuan belajar tidak hanya untuk masa
sekarang tetapi masa yang akan datang.
Kedua, unggul dalam hal
kompetensi. Dengan semakin ketatnya persaingan dalam berbagai lini
kehidupan, guru harus memiliki kompetensi yang memadai sebagai modal
untuk membekali muridnya ketika sudah lulus dan terjun di masyarakat.
Ketiga, responsibility yang
tinggi. Guru harus mampu merespon apa yang dibutuhkan siswa sebagai
keniscayaan perkembangan zaman. Keempat, memiliki sikap seperti halnya
ulama. Artinya, guru tidak hanya mendidik anak dari sisi akademik saja,
tetapi juga memperhatikan dimensi religius mereka. Karena bagaimanapun
juga, tujuan hidup di dunia tentu tidak berorientasi pada masalah duniawi
saja, tetapi juga ukhrawi yang menjadi tujuan ahir hidup seseorang.
Dengan semakin pesat dan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan
degradasi moral masyarakat, sudah menjadi keharusan guru untuk menjaga
moralitas dan profesionalitasnya. Menjaga moral dan profesionalitas
berarti menjaga wibawa dan kesakralan guru sehingga layak untuk dipercaya
dan diikuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar