NODA kekerasan kembali membercak di negeri ini.
Penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman,
Jogjakarta, oleh belasan orang ''tak dikenal'' pada Sabtu, 23 Maret 2013,
yang menewaskan empat tahanan (Hendrik, Adrianus, Yohanes, dan Gamaliel)
asal Nusa Tenggara Timur (NTT) sungguh di luar perikemanusiaan. Dengan pistol,
granat, serta senjata api jenis AK-47 dan FN, mereka menerobosi sel
tahanan, lalu menembak dari jarak dekat empat korban tersebut yang juga
tersangka penganiayaan terhadap anggota Kopassus Sersan Satu Santoso pada
Selasa, 19 Maret 2013.
Aksi hitam dini hari itu dikecam sebagai peristiwa keji
dan memalukan karena mencoreng fungsi serta atribut negara sebagai
pelindung rakyat. Di Kupang, NTT, seribu lilin perkabungan dari sejumlah
warga kota dipasang berderet di sepanjang Jalan El Tari, Kupang,
sebagai tanda dukacita dan keprihatinan mendalam atas tragedi tersebut.
Wajar jika akal sehat mempertanyakan di mana fungsi
sistem kewaspadaan dini negara yang seharusnya hidup 24 jam. Dalam
pertanyaan lebih ekstrem, masihkah negara mengklaim dirinya pelindung
rakyat, jika nyawa warganya dengan mudah melayang justru di dalam area
terlindung lapas yang merupakan simbol hukum dan keadilan negara?
Apalagi, kejadian ini adalah kali pertama dalam sejarah
lapas di Indonesia diobok-obok pasukan siluman hanya dalam 15 menit. Saat
sudah di ''zona aman'', nyawa rakyat pun masih terancam peluru dan granat
sekelebat waktu. Masihkah rakyat diharuskan tetap berharap dan percaya
pada institusi hukum dan segala nilainya?
Inilah pertanyaan kontemplatif buat seluruh jajaran penegak
hukum dan pemerintah agar rumusan hukum yang eksak di negeri ini tak
digeser menjadi dogma hukum rimba yang memberikan ruang kepada mereka
yang kuat untuk menghabisi yang lemah.
Eksistensi Terluka
Tak perlu ada pretensi mengambinghitamkan institusi
tertentu atau pemerintah. Namun, jika kekerasan yang melibatkan aparat
sudah kerap terjadi dan menebar teror di depan mata negara, semestinya
hal itu menjadi alarm bahwa rakyat sedang terancam. Kebutuhan dan
eksistensi kewargaan rakyat terhadap hak keamanan sedang dilukai. Dampak
kekerasan tersebut pun bisa berpilin dan menerbitkan spiral keresahan
baru bagi warga.
Di Jogjakarta, misalnya, (keluarga) mahasiswa asal NTT
sangat mengkhawatirkan keselamatan diri mereka pasca-insiden Cebongan.
Bahkan, asrama mahasiswa NTT di Kota Jogja di Jalan Tegalpanggung tidak
berpenghuni sejak enam jam pasca pembunuhan anggota Denintel Kodam
Diponegoro yang pernah bertugas di Kopassus, Sertu Heru Santoso, di Hugos
Café (JPNN, 25/3). Diduga, para penghuni resah dan
mengungsi menyusul beredarnya SMS gelap akan adanya sweeping aparat terhadap mahasiswa NTT.
Akumulasi keresahan yang tergelar sebelumnya dari,
misalnya, bentrokan aparat TNI-polres di Ogan Komering Ulu (OKU) maupun
merebaknya isu kudeta terhadap pemerintah oleh oknum-oknum tak
bertanggung jawab di tengah aneka eskalasi kekerasan rutin (perampokan,
pembunuhan, dan konflik keyakinan), dalam batas tertentu kian
menginfiltrasi kenyamanan sosial serta mengganggu apa yang oleh Hegel
disebut sistem kebutuhan masyarakat. Sistem kebutuhan yang dimaksud
adalah penegakan tertib masyarakat sipil dan penegakan hukum (die Rechtspflege) oleh aparat
hukum.
Hilangnya dua hal tersebut merepresentasikan sirnanya
kendali negara terhadap penegakan tertib sosial yang dijamin konstitusi.
Padahal, jika itu dibiarkan berlarut-larut, rekening kesabaran sosial
justru akan terkuras. Bahkan, menurut John Field (2010: 186), hal itu
akan menjadi titik awal suatu negara dijemput ''kematian modal sosial''.
Kematian modal sosial tersebut selalu berekses pada lahirnya aksi dan
insting kekerasan yang ''dilegitimasi'' kevakuman norma dan pranata,
sehingga nurani, solidaritas, toleransi, dan keadilan substantif yang
menjadi napas legitimasi negara secara organik tidak lagi memiliki jejak
asalinya.
Itulah yang sebenarnya kita takutkan, bahwa imajinasi
rakyat terhadap kredibilitas negara sedang diganggu berbagai insiden
kekerasan yang belakangan terus mereproduksi diri dan seperti dibiarkan
terjadi di tengah-tengah rakyat.
Dalam konteks simbolisme kejahatan, penyerangan Lapas
Cebongan juga menjadi kritik terhadap tatanan hukuman di negeri ini yang
kian banyak menampung penjahat maupun bromocorah dalam pelbagai versi
kejahatan tetapi selalu gagal menjerakan si terhukum. Penjara bagi
koruptor, misalnya, tak akan cukup luas kalau atribut konstelasi hukum
dan sistem penghukuman kita akhirnya selalu membaptis para residivis
koruptor itu dengan berbagai keringanan hukum sistemik, dengan sejumlah privilege dan hiperbola sosial yang
dikenakan secara ''gagah'' ke diri mereka.
Kita berharap insiden Cebongan menjadi titik balik dan
reinstitusionalisasi kewibawaan aparatur negara di hadapan rakyatnya.
Siapa dan apa pun motifnya, pelakunya harus dihadapkan di depan
pengadilan. Harus ada kepastian target waktu yang diberikan pemerintah
kepada Polri maupun TNI untuk mengungkap penyerbuan berdarah tersebut.
Sebab, yang dipertaruhkan bukan saja soal rasa kemanusiaan warga, tetapi
juga harga diri negara di depan publik maupun dunia internasional.
Di mana pun, negara demokrasi tidak bisa pernah eksis
dengan humus kekerasan dan segala pembiarannya. Ia hanya hidup dan kuat
oleh rasa keadilan yang dijunjung pemerintahnya tanpa pandang bulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar