Di
media sosial, seorang teman menulis status, ”Percuma aje pake jilbab, kalo kelakuan kayak gitu, harta aja
dikejar,” disertai tautan portal berita berisi pemanggilan Mahdiana,
istri Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Djoko Susilo (DS), tersangka
kasus proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM).
Selain
Mahdiana, ada istri DS yang lain, Dipta Anindita, juga pakai jilbab, saat
dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus yang sama oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Jauh sebelum itu, di
media sosial, seseorang juga menulis status, ”Kalo di pengadilan, baru inget Tuhan, komat-kamit tanda
bersalah”. Status yang disertai tautan berita Angelina Sondakh yang
menghitung biji tasbih saat mendengarkan putusan hakim atas kasus dugaan
penerimaan suap pengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga
serta Kementerian Pendidikan Nasional yang menjeratnya. Bahkan, Angie
mengaku kini lebih berproses menuju arah spiritual.
Dia lebih
sering menonton acara keagamaan di layar televisi. Bagi umat Islam
Indonesia, jilbab dan tasbih simbol dari penghayatan individu terhadap
pengalaman keagamaannya. Tidak semua perempuan dapat memutuskan untuk
mengenakan jilbab jika dia tak memiliki pengalaman eksistensial
keagamaan. Begitu pun tidak semua orang mau menghitung biji tasbih sambil
berzikir jika tidak ada fadilahnya.
Apa pun logikanya, jilbab dan berzikir merupakan bagian dari tindakan
keagamaan seseorang dalam menghadirkan Tuhan Yang Maha Kuasa ke dirinya.
Sebagai
negara yang berketuhanan yang maha esa, seluruh warga negara wajib
hukumnya beragama dengan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kajian
sosiologi agama, kehadiran agama dalam kehidupan manusia berfungsi
menjadi petunjuk ke jalan yang benar. Jalan yang benar itu suatu proses
perjalanan panjang, yang penuh onak duri, dengan ultimate goal, Yang Maha
Kuasa, sebagai sumber kebenaran. Makanya, Yang Maha Benar hanya bisa
didekati dengan cara yang benar, kata orang-orang yang beraliran tasawuf.
Seiring
dengan kemajuan zaman, yang ditandai dengan terjadinya ledakan di bidang
informasi dan komunikasi, kehadiran televisi telah memberikan pemahaman
baru dalam beragama. Apa yang ditampilkan di televisi telah membuahkan
gaya hidup di kalangan masyarakat. Pada sisi lain, televisi telah
membentuk citra baru di masyarakat. Apa yang dilakukan Angelina Sondakh
telah membentuk citra bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dengan cara berzikir dapat membantu persoalan yang sedang dihadapinya.
Di sisi lain,
citra yang bisa ditimbulkan, publik akan menganggap dia sebagai orang
yang sangat dekat kepada Yang Maha Kuasa sehingga tidak mungkin melakukan
hal-hal yang melanggar ajaran-Nya, misalnya suap. Dia adalah orang yang
agamais, begitulah kira-kira pencitraan yang terbentuk di dalam benak
publik. Contoh lain, masih segar dalam ingatan, ketika Neneng, istri
Nazaruddin, muncul dengan mengenakan cadar dan berkerudung setelah lama
menghilang.
Tak jauh
berbeda dengan Yulianis, saksi dalam kasus Hambalang, Wisma Atlet, yang
ikut mengenakan jilbab panjang. Sebelumnya publik semua tahu bahwa mereka
berdua jarang berkerudung. Tindakan ini membentuk opini publik bahwa
mereka adalah orang-orang lurus yang takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
sebagaimana yang tersimbolisasikan dalam cara mereka berpakaian.
Pelarian Belaka
Dalam kajian
sosiologi agama, tujuan orang beragama yaitu agar selamat dalam menjalani
kehidupan dunia dan akhirat. Apa pun agama yang dianut, orang yang
beragama selalu menyukai sesuatu yang baik dan benar; baik dalam
pandangan manusia dan benar dalam pandangan Yang Maha Kuasa. Namun, apa
yang ditampilkan di televisi, salah satunya yang dicontohkan tadi,
menggambarkan bahwa agama hanya berfungsi sebagai eskapisme diri
(pelarian).
Ketika
persoalan hidup sedemikian hebat membelit, agama menjadi tempat kembali.
Namun, kembalinya ke agama hanya sementara. Inilah yang disebut Erich
Fromm dalam bukunya, Religion and
Psychoanalysis, tidak penting beragama apa, tapi yang lebih penting
adalah beragama yang bagaimana. (Syamsul Arifin, Agus Purwadi, Khoirul
Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan) Ketika agama hanya
sebagai bentuk pelarian tanpa mengalami penghayatan eksistensial
beragama, yang muncul kemudian adalah katarsis belaka.
Beragama
seperti demikian hanya akan melahirkan kegersangan spiritual. Dengan kata
lain, beragama secara simbolik takkan akan mencapai ekstase keagamaan
yang hakiki. Maka yang perlu dinetralisasi dalam konteks ini diperlukan
cara beragama, yang tidak terpaku pada simbolisme belaka, tapi juga butuh
cara beragama yang berdimensi sosial sehingga agama bisa berdialektika
dengan kompleksitas kehidupan ini.
Ketika orang
beragama tidak mampu berdialektika dengan persoalan sosial, yang tampak
adalah hiasan belaka. Agama hanya kosmetik. Tampak luar bagus dan cantik,
tetapi dihatinya justru tidak tersimpan sifat-sifat kebaikan seperti yang
dicita-citakan setiap agama. Pada akhirnya,agama mengalami disabilitas
yang dilakukan pemeluknya sendiri.
Revivalisme Agama
Sementara
itu, ada orang yang menganggap dewasa ini merupakan era kebangkitan
agama. Argumennya adalah semakin banyaknya tempat ibadah didirikan,
berbondongbondongnya masyarakat menyaksikan tablig akbar, ceramah dan
sejenisnya, serta maraknya rumah-rumah produksi (production house) membuat tayangan sinetron religi. Apakah
semua itu dapat dikatakan momentum awal kebangkitan agama? Bisa ya dan
tidak.
Di Amerika
Serikat, kata futurolog Jhon Naisbitt, penjualan buku bergenre agama dan
psikologi laku keras di toko-toko buku. Sayangnya, realitas itu tidak
seimbang dengan tingginya minat orang ke tempattempat ibadah. Ditambah,
tingginya angka kriminal yang kian menunjukkan bahwa agama sebagai tempat
pelarian belaka. Di Indonesia, pesan-pesan keagamaan tidak hanya
diperoleh di tempat ibadah saja. Lewat televisi, publik bisa leluasa
mengakses program religi dengan leluasa.
Jika pada
dasawarsa sebelumnya pesan-pesan ini cenderung dikemas secara satu arah,
kini program keagamaan dibuat lebih menarik. Seperti melibatkan interaksi
audiensi, membuat muatan acara yang lebih santai serta menghibur, atau
meliput langsung acaraacara keagamaan. Di ruang yang berbeda, bara
konflik sosial bersentimen keagamaan masih terus menyala. Wacana konflik
sosial, apa pun bentuknya, jelas sangat tidak legitimatif dalam agama.
Agama selalu mengajarkan nilai-nilai luhur, kedamaian, dan kebahagiaan,
baik bersifat pribadi maupun sosial.
Kehadiran
agama bagi pemeluknya semestinya menjadi kanopi bagi dirinya dan
memperkuat hubungan sosial, sehingga wajah agama tidak penuh kosmetika
belaka. Lebih luas lagi, orang yang beragama harus menyibukkan diri
terhadap persoalan aktual yang terjadi di masyarakat sehingga agama tidak
lagi berhenti sebagai kosmetik pribadi belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar