Wacana
Geopark Toba terkesan dilupakan. Meski sudah bergulir kurang lebih 3
tahun, reaksi pemerintah masih terbilang rendah. Padahal, gagasan ini
termasuk salah satu cara untuk menyelamatkan Danau Toba berikut
kawasan-kawasan penyangganya dari eksploitasi besar-besaran yang terjadi
selama ini.
Seperti
disosialisasikan sebelumnya, semangat yang mendasari Geopark adalah
integrasi pengelolaan warisan geologi (geological heritages) dengan
warisan budaya (cultural heritages) di sebuah daerah. Geopark mengandung
beberapa aspek penting karena di dalamnya terdapay unsur konservasi,
edukasi, dan sustainable
development. Seperti diketahui, konsep ini dikembangkan pertama kali
di Eropa sejak 1999, dan mendapat dukungan dari UNESCO.
Saat ini
sedikitnya sudah ada 78 wilayah di 21 negara yang sudah ditetapkan
sebagai Geopark. Semua kawasan tersebut dihuni manusia yang hidup
berdampingan dengan alam, dan memanfaatkan alam secara bijaksana bagi
kelangsungan manusia. Di Indonesia, sedikitnya dari empat wilayah yang
pernah diusulkan pemerintah, yakni Danau Batur, Pacitan, Danau Toba, dan
Raja Ampat.
Namun, baru
Danau Batur yang telah dijadikan Geopark. Beberapa usulan datang dari
daerah-daerah lain, termasuk NTB yang mengampanyekan Taman Nasional
Gunung Rinjani (TNGR). Yang menarik, TNGR diusulkan oleh
kelompok-kelompok aktivis dan pencinta lingkungan. Bagaimana dengan Danau
Toba? Salah satu komunitas di Sumatera Utara yang kerap mengampanyekan
Danau Toba sebagai Geopark Toba adalah Komunitas Jendela Toba.
Komunitas ini
digagas sejumlah profesional dari berbagai disiplin ilmu. Antara lain,
geolog, budayawan, seniman, jurnalis, dan praktisi pariwisata. Mereka
telah melakukan pendataan ulang, penyusunan geosite, dan menentukan track-track yang dibutuhkan.
Termasuk mendokumentasikan berbagai situs geologi dan budaya. Hasilnya
pun sudah diberitahukan kepada pemerintah daerah berupa rekomendasi dan
draf-draf kerja. Namun, pemerintah daerah terkesan lambat sehingga
kemudian Komunitas Jendela Toba membentuk tim percepatan dengan merekrut
tim yang lebih luas.
Manajemen Kawasan
Di banding
yang lain, Geopark Toba termasuk yang paling rumit. Mengingat secara
administratif, kawasan ini dihuni setidaknya tujuh kabupaten dengan keanekaragaman
masyarakat dan potensi alamnya. Sementara itu, konsep Geopark sendiri
berbasis manajemen kawasan sehingga persamaan persepsi para pemangku
kekuasaan di setiap kawasan penyanggah, merupakan syarat mutlak yang
diperlukan.
Dalam arti,
Geopark Toba tidak akan dapat terwujud jika hanya diusung satu atau dua
kabupaten saja. Itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah di
masingmasing kabupaten masih terjebak dengan ego sektoral wilayahnya.
Sebaliknya, masing-masing kabupaten itu hanya dapat menjadi sekadar
geosite yang mendukung Geopark itu sendiri. Jadi, Geopark ibarat sebuah instrumental
yang merupakan perpaduan dari instrument instrumen musik pendukungnya.
Inilah hal
utama yang harus diselesaikan. Peran ini tentu akan sangat efektif jika
melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Jika persepsi ini sudah sama,
langkah selanjutnya adalah dengan menggali potensi di masing-masing
daerah. Setidaknya potensi itu mencakup dua unsur penting, yakni geological dan culture untuk dijadikan geosite. Pemberdayaan masyarakat lokal mutlak
dilakukan.
Mengingat
kelompok masyarakat inilah yang nantinya akan menjadi semacam volunter di
geosite-geosite itu. Memang
harus kita akui, selama ini Geopark Toba seperti terfokus kepada 1-2
daerah saja, sehingga memunculkan kekhawatiran tidak meratanya kontribusi
yang akan diperoleh daerah lain. Hal inilah yang mesti diformulasikan
agar “kue” yang dihasilkan Geopark di kemudian hari, dapat dinikmati
bersama.
Apa Artinya bagi Masyarakat ?
Pertanyaan
inilah yang paling sering mengemuka dalam setiap diskusi maupun seminar
tentang Geopark Toba. Ada banyak manfaat jika kawasan Danau Toba menjadi
Geopark. Pertama, danau ini akan menjadi warisan dunia yang wajib
dilindungi oleh seluruh warga dunia. Dengan demikian, kelestariannya akan
mendapat perhatian secara khusus terutama UNESCO.
Kedua, Danau
Toba akan menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
ekologis bagi keberkelangsungan ekosistem bumi. Dampaknya akan terbangun
konsep pariwisata keilmuan yang berbasis ekowisata. Ketiga, secara
otomatis akan terbangun infrastruktur pendukung yang konsepnya
disesuaikan dengan semangat Geopark. Seperti kita ketahui, banyak
pembangunan yang dilakukan mengatasnama kan pengembangan Kawasan Danau
Toba yang cenderung merusak lingkungan.
Misalnya,
pembangunan hotel-hotel di pinggiran danau yang justru merusak view Danau
Toba. Celakanya hotel-hotel itu sebagian besar dibangun di daerah patahan
yang rawan bencana. Berbeda konsep dengan Geopark yang lebih menekankan
konsep homestay. Keempat, Kawasan Danau Toba akan terpromosikan sendiri
ke seluruh penjuru dunia karena wajib dikunjungi para pelajar di seluruh
dunia, terutama yang tertarik dengan geologi.
Dengan
begitu, biaya promosi yang selama ini banyak dihabiskan untuk promosi
keluar, akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengembangan.
Kelima, efek domino yang dihasilkan akan berdampak positif bagi
perkembangan daerahdaerah penyanggahnya, seperti Berastagi dan Bahorok
akan terkena imbas positif. Sebab, sekali lagi konsep Geopark
berlandaskan kawasan.
Terabaikan
Dari sisi
geological heritages, kawasan Danau Toba menyisakan sejumlah peninggalan
geologi yang berkaitan dengan proses pembentukan bumi. Menurut Ketua
Ikatan Ahli Geologi Iindonesia (IAGI) Sumatera Utara Ir Gagarin
Sembiring, di beberapa kawasan Danau Toba masih terdapat sisa-sisa debu
vulkanik dari letusan Gunung Toba yang telah berubah menjadi lapisan
batuan.
Selain itu,
baru-baru ini, dia bersama Komunitas Jendela Toba menemukan fosil batuan
yang berumur 300 juta tahun di Tele. Batuan ini memiliki sifat sama
dengan yang ada di Bahorok. Berdasarkan strukturnya, batuan ini diduga
berasal dari wilayah Australia yang terbawa air laut. Seperti yang kita
ketahui juga, posisi geografis Danau Toba berada di pertemuan tiga
lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Setiap tahun lempenglempeng ini bergeser atau menumbuk lempeng lainnya
dengan jarak tertentu.
Lempeng
Indo-Australia misalnya, menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun.
Lempeng Pasifik bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh
11 cm per tahun. Informasi penting lain yang dikemukakan Gagarin dan Tim
Jendela Toba adalah penemuan kaldera yang lebih muda dari Samosir. Dugaan
mereka, kaldera itu berusia 45.000 tahun. Kaldera itu berada di sebelah
barat Samosir, yakni Bakkara. Penemuan ini melengkapi temuan-temuan
sebelumnya, yang selama ini menyatakan ledakan dahsyat Gunung Toba
sebanyak tiga kali.
Selain itu,
mereka juga menemukan patahan itu terhubung mulai dari Desa Pakpahan
sampai Tomok. Patahan inilah yang membuat Pulau Samosir selalu dilanda
kekeringan meski sedang musim hujan. Erwin juga menemukan banyak “sumur”
di Samosir yang justru kering selama musim hujan, namun di musim kemarau
tetap berair. Sayang, selama ini fakta-fakta itu tidak terakomodir,
sehingga pemahaman terhadap Kawasan Danau Toba menjadi dangkal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar