Di ujung tahun 1971, Nur Sutan Iskandar mengenang
Balai Pustaka. Pengarang tua ini memiliki memori panjang tentang Balai
Pustaka, sejak 1919. Semula, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru di
Palembang dan Padang. Lakon hidup berubah oleh sepucuk surat Sutan
Mohamad Zein dari Jakarta. Isi surat menganjurkan Nur Sutan Iskandar
berhenti jadi guru, berpindah ke Jakarta untuk bekerja di Balai Pustaka
(Intisari, Nomor 98, September 1971). Nur Sutan Iskandar (1893-1975)
mengenang, separuh perjalanan hidup telah dilakoni bersama Balai Pustaka.
Sejarah nama Balai Pustaka, menurut ingatan Nur Sutan Iskandar, terkait
dengan usul Agus Salim saat bekerja di institusi bentukan kolonial itu
pada 1917. Agus Salim mengusulkan agar nama Commissie voor de
Volkslectuur diganti dengan "Balai Pustaka".
Pekerjaan sebagai korektor bahasa dan redaktur di
Balai Pustaka membuat Nur Sutan Iskandar sebagai penentu nasib buku,
pengesah dari kualitas buku. Konsekuensi bekerja di institusi kolonial
adalah tuduhan "menghamba" kepada penguasa, patuh atas
imperatif-imperatif kolonial. Sejarah Balai Pustaka memang tidak bisa
dijauhkan dari biografi dan kepengarangan Nur Sutan Iskandar. Agenda
berliterasi Nur Sutan Iskandar pun bercampur politik, berbaur meski tak
absolut di masa kolonialisme.
Bagi murid-murid di sekolah, mengenang Balai Pustaka
adalah mengingat novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Siti Nurbaya
(Marah Roesli), Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Layar Terkembang (Sutan
Takdir Alisjahbana), Belenggu (Armijn Pane). Balai Pustaka juga berarti
buku-buku pelajaran. Para kritikus sastra mengenang Balai Pustaka sering
berkaitan dengan "pembakuan" bahasa Indonesia dan politik
literasi kolonial. Balai Pustaka adalah institusi kepustakaan, bahasa
Indonesia, gerakan sastra, hegemoni adab. Ingatan jauh di masa menjelang
1920-an sampai 1940-an menghadirkan kesan Balai Pustaka menjadi referensi
kesejarahan buku, bahasa, sastra di Indonesia. Ingatan ini merapuh,
perlahan rusak oleh ketidakberesan pengurusan Balai Pustaka di abad XXI.
Berita-berita tentang Balai Pustaka pada hari-hari menjelang ajal selalu
mengacu ke impresi-impresi buruk. Balai Pustaka di masa lalu telah masuk
ke bilik kenangan.
Kita mungkin tak merasa kehilangan jika Balai Pustaka
memang harus tutup, bangkrut atas nama bisnis. Ingatan kita masih awet
saat membaca buku-buku sastra dan menilik biografi para pengarang
kondang: Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin,
Achdiat K. Mihardja, Karim Halim, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Hasan
Amin, Rusman Sutiasumarga. Mereka pernah menjadi penggerak literasi di
Balai Pustaka. Mereka tak sekadar bekerja tapi juga menulis tentang
bahasa, sastra, adab, pendidikan. Kita pernah merasa memiliki Balai
Pustaka meski ambigu: mencampurkan kecaman atas politik bahasa dan
literasi kolonial dengan arus pertumbuhan sastra di Indonesia.
Serpihan-serpihan itu sulit dilupakan dan disingkirkan. Kita masih
mengenangnya, meski Balai Pustaka sebagai institusi bisnis perbukuan
runtuh di abad XXI tanpa sesalan atau air mata.
H.B. Jassin dalam pengakuan di buku Bunga Rampai
Kenangan pada Balai Pustaka (1992) memiliki kenangan-kenangan impresif.
Pada 1 Februari 1940, H.B. Jassin resmi bekerja di Balai Pustaka.
Panggilan untuk mengurusi sastra dan perbukuan dipengaruhi oleh sepucuk
surat dari Sutan Takdir Alisjahbana. H.B. Jassin bergerak dari Gorontalo
ke Jakarta, menunaikan misi literasi. Kegandrungan membuat ulasan-ulasan
buku terbentuk selama bekerja di Balai Pustaka. H.B. Jassin jadi rajin
mengulas buku, mempublikasikannya ke majalah-majalah sebagai penggenapan
penerbitan buku. H.B. Jassin juga mengaku bersukacita saat mendekam di
perpustakaan milik Balai Pustaka pada masa 1940-an. H.B. Jassin
mengatakan: "Selain roman-roman dalam bahasa Belanda, terdapat
roman-roman dari luar negeri yang lain. Yang penting, bagi saya yang
mempunyai latar belakang pendidikan Belanda, di sana banyak pula
buku-buku dalam bahasa Belanda mengenai kesusastraan Jawa, Sunda, bahkan
ada buku-buku mengenai kesusastraan Timur."
Balai Pustaka memang jejak yang tak pernah hilang
dari kesejarahan sastra di Indonesia. Kita perlahan merawat kenangan
dengan sedih jika menilik nasib Balai Pustaka di abad XXI. Pada masa
kolonialisme, Balai Pustaka sempat memonopoli dunia penerbitan buku.
Pengarang-pengarang tenar pernah bersentuhan atau turut mempengaruhi
gerak Balai Pustaka. Mereka adalah tokoh-tokoh bermisi literasi,
menggerakkan Indonesia dengan kata-kata. Sejarah mereka dan Balai Pustaka
tak mungkin sirna, meski di abad XXI kita adalah saksi keruntuhan Balai
Pustaka.
Kita tak memerlukan juru selamat untuk membuat Balai
Pustaka terus hidup. Negara sudah abai literasi. Uang terus jadi godaan
di dunia perbukuan. Nasib Balai Pustaka seolah takdir: selesai setelah
melalui jalan waktu. Kita masih bisa menaruh buku-buku terbitan Balai
Pustaka edisi lawas di rak. Buku-buku itu bakal bercerita, mengingatkan
akan sejarah bahasa dan napas sastra di Indonesia. Kita juga bisa
mengenang Balai Pustaka dari petikan-petikan biografi para tokoh sastra.
Balai Pustaka bukan sekadar institusi penerbitan, buku, perpustakaan.
Balai Pustaka adalah Indonesia dalam selebrasi bahasa dan pesan.
Faruk dalam buku Novel-novel Indonesia:
Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002) memberi pesan gamblang bahwa
sejarah novel atau sastra di Indonesia pernah ditentukan oleh penerbitan
novel-novel di Balai Pustaka. Sastra terus bergerak, novel terus
menghampiri pembaca. Balai Pustaka adalah seribu kenangan. Kita mengenang
Balai Pustaka pada masa silam untuk tak merasa kehilangan jika Indonesia
di abad XXI tak bergerak lagi bersama Balai Pustaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar