BERBAGAI aksi kekerasan yang
diduga dilakukan preman dan kelompok bersenjata di beberapa kota besar
semakin menghantui rakyat. Tidak lagi memilah apakah masyarakat kelas
bawah atau kelas atas, kantor polisi pun ikut jadi sasaran kekerasan dan
perusakan, bahkan tahanan yang dalam perlindungan negara ikut diberondong
peluru. Sepertinya tak ada lagi ruang aman. Gereja, sekolah, bahkan rumah
tinggal juga dilempari bom molotov (bom botol) seperti yang terjadi di
Kota Makassar dua bulan terakhir, tetapi belum ada pelaku yang ditangkap
polisi.
Masyarakat semakin resah, mulai
perkampungan hingga pusat keramaian di kota-kota besar. Bentrok antarkampung
di perdesaan atau antarlorong di kota besar kerap terjadi dengan
mengerahkan massa, menggunakan senjata tajam dan senjata api rakitan.
Mereka mempraktikkan ‘hukum rimba’, melakukan tindakan main hakim sendiri
dengan mengabaikan nilai-nilai hukum yang berlaku. Begitu banyak tindakan
main hakim sendiri dipertontonkan kelompok massa terhadap orang lain yang
tidak punya kekuatan. Celakanya, hukum rimba juga mewabahi kalangan
penegak hukum dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang
dapat digunakan kapan saja.
Peristiwa terakhir yang menyita perhatian
publik ialah penyerangan oleh sekelompok bersenjata yang diduga terlatih
ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada Sabtu
(23/3) malam. Para sipir tidak berdaya dan terpaksa menyerahkan kunci
blok tahanan kepada penyerang yang diduga mengemban misi. Mereka
membantai empat orang tersangka kasus pembunuhan salah seorang anggota
TNI di salah satu kafe di Yogyakarta. Keempatnya mendekam di LP Cebongan
sebagai tahanan titipan Polda Yogyakarta.
Kehidupan masyarakat terancam oleh
ketidakmampuan negara menjaga dan menjamin rasa aman masyarakat. Dengan
berkaca pada realitas selama ini, salah satu penyebab maraknya hukum
rimba ialah merosotnya kewibawaan negara dan penegak hukum. Hukum tak
berkutik melawan aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman
berdasi, maupun kelompok bersenjata.
Kelompok
Bersenjata
Peristiwa berdarah di LP Cebongan
setidaknya menyentak rasa kemanusiaan kita, bahkan dunia internasional
turut prihatin. Sorotan dunia internasional membuktikan peristiwa keji
itu bukan sekadar kejahatan kemanusiaan, melainkan juga sebuah aksi yang
mencoreng wibawa negara karena korban berada dalam perlindungan negara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Staf Khusus Presiden
Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, menyatakan selain
menghasilkan ancaman serius terhadap rasa aman publik, serangan itu
memorak-porandakan kepercayaan umum terhadap supremasi hukum di negeri
ini.
Tentu kita mengapresiasi keprihatinan presiden
dan berbagai kalangan. Namun, pernyataan dan kecaman sekeras apa pun
tidak akan berarti apa-apa tanpa ada aksi konkret dan serius untuk
mengusut, mengungkap motif, dan menangkap pelakunya. Apakah itu dari
kelompok terlatih yang ada kaitannya dengan penganiayaan yang menyebabkan
meninggalnya seorang anggota TNI, pemerintah melalui aparat hukumnya
harus berani membongkarnya.
Menyingkap tabir gelap siapa pelaku
sebenarnya merupakan tugas negara. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok
bersenjata sekalipun terlatih dan dari kelompok mana pun mereka berasal.
Jangan hanya berani mengobrak-abrik teroris yang memiliki senjata dan
rangkaian bom, sebab pengalaman telah menuntun kita pada kenyataan pahit.
Pengusutan sejumlah aksi kejahatan yang melibatkan kelompok bersenjata di
luar teroris kerap tidak tuntas dan menyisakan rangkaian persoalan baru.
Polisi sebagai pemegang otoritas dalam
mengusut berbagai aksi kekerasan bersenjata tidak boleh gentar. Polisi
ialah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat serta menegakkan hukum dengan melakukan penyelidikan yang
tidak boleh setengah hati. Apalagi kasus penyerangan LP Cebongan, menurut
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, merupakan kekerasan luar
biasa sehingga proses penanganannya pun tidak boleh dengan cara biasa-biasa
saja.
Untuk memotivasi polisi agar lebih berani
melawan dan bertindak tegas, SBY perlu turun tangan langsung. Bila perlu,
membentuk tim investigasi independen seperti yang disarankan berbagai
kalangan dan bersinergi dengan kepolisian yang berada langsung di bawah
kendali presiden. Tujuannya untuk memastikan kasus penyerangan LP
Cebongan tidak mendapat tekanan dan perlawanan dari kelompok tertentu.
Negeri ini tidak boleh kembali terjebak
ke masa kelam era otoriter Orde Baru. Ketika ada kelompok terlatih yang
merasa punya kekuatan melakukan kekerasan, semuanya diatur agar tidak ada
institusi tertentu dipojokkan meskipun aksinya menimbulkan korban jiwa
bagi rakyat. Jika pola itu kembali terjadi, bukan cuma rasa aman masyarakat
yang tercabik, malahan kredibilitas negara selaku pelindung rakyat
dipertaruhkan.
Preman
Berdasi
Fenomena premanisme tumbuh subur di
kota-kota besar, bahkan di perdesaan. Kita patut mengapresiasi polisi yang
berhasil menangkap Hercules yang dikenal pentolan preman bersama puluhan
anak buahnya dalam sebuah operasi oleh aparat Polda Metro Jaya beberapa
waktu lalu. Akan tetapi, pertanyaan juga muncul, kenapa selalu terlambat
diantisipasi? Adakah momentum strategis bagi kepolisian dalam penangkapan
Hercules dan kelompoknya?
Padahal, premanisme sudah sangat lama
mencekam kehidupan masyarakat. Begitu beragam modus mereka, mulai
memeras, meminta jasa keamanan bagi pelaku usaha dan kompleks perumahan,
sampai memalak warga masyarakat dengan ancaman. Seiring dengan
perkembangan zaman, perilaku premanisme juga semakin berkembang, bukan
hanya hidup di lapis masyarakat bawah, melainkan telah menjangkau hampir
semua segmen kehidupan sosial.
Meminta uang dengan ancaman sudah
merasuki kehidupan masyarakat dengan cara bargaining yang tentu saja
tidak berimbang. Pihak penekan merasa memiliki kekuatan dengan mengancam
korban nya dan itu bisa terjadi dalam wilayah elite melalui permainan
politik-kekuasaan. Itulah yang sering disebar dengan beragam simbol untuk
menciptakan rasa takut yang biasa disebut ‘preman berdasi’.
Penyakit sosial itu sudah merambah elite
politik dengan pola kerja yang tak jauh beda dengan preman pasar meski
lebih canggih. Itu bisa dilihat dari bobroknya penentuan anggaran
pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/APBD) oleh preman berdasi.
Begitu banyak oknum Badan Anggaran DPR/DPRD ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi karena meminta dan memeras pengusaha hitam yang
ingin tendernya dalam suatu proyek dimenangkan.
Pola kerja para preman berdasi tidak jauh
beda dengan preman pasar. Mereka juga melakukan tekanan agar proyek yang
sedang dibicarakan di DPR bisa dimenangkan. Para pengusaha hitam dipalak
agar membayar ‘uang pelicin atau sogok’, padahal anggarannya belum turun.
Terjadi transaksi yang tidak berimbang karena korban pemalakan tidak
punya pilihan jika ingin perusahaannya ditunjuk melaksanakan proyek. Maka
itu, aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman berdasi,
maupun kelompok bersenjata, harus dilawan agar tidak berkembang lebih
jauh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar