Laporan terbaru Bank Dunia tentang Education Public Expenditure Review
(Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan) menyatakan, anggaran
fungsi pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN belum efektif dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Salah satu sorotan yang disampaikan Mae Chu Cang,
Spesialis Pendidikan Bank Dunia untuk Indonesia, adalah besarnya anggaran
yang dikucurkan untuk membayar tunjangan guru belum berimbas pada peningkatan
kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa. Masalahnya, pemahaman
guru atas subyek yang diajarkan amat minim.
Fakta Bank Dunia itu tidak bertolak belakang dengan
hasil uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) yang telah
dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil UKA--ujian yang
diperuntukkan bagi guru yang belum mendapatkan sertifikasi dan akan
mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG)--hasil rerata nilai
nasional yang diperoleh hanya 42,25, meski ada guru yang memperoleh nilai
97. Hasil UKG pun--ujian bagi guru yang telah memperoleh
sertifikasi--rerata nilainya tidak jauh berbeda, di angka 43,66, meski
ada guru yang mendapat nilai di atas 90.
Terhadap hasil dan fakta itulah, tidak berlebihan
jika berkembang di masyarakat terhadap kemampuan guru kita bisa berubah,
ketika Kurikulum 2013 diimplementasikan? Tulisan berikut ini ingin
memberikan pandangan, saatnya implementasi Kurikulum 2013 dijadikan
momentum untuk memperbaiki kualitas guru. Apalagi diketahui, berkaitan
dengan kesejahteraan (baca: tunjangan guru) dari tahun ke tahun terus
meningkat.
Mendesain Pelatihan
Dalam kerangka implementasi Kurikulum 2013 memang
telah didesain pelatihan guru, mulai tingkat pengawas, kepala sekolah,
hingga guru kelas dan guru bidang studi. Pelatihannya dilakukan secara
berjenjang dan dilanjutkan dengan pendampingan.
Model pelatihan seperti ini belum pernah dilakukan
sebelumnya. Harapannya, melalui pelatihan inilah kualitas guru bisa
ditingkatkan, sekaligus layak untuk menjalankan Kurikulum 2013. Sehingga
tujuan awal dilakukan perubahan kurikulum benar-benar bisa tercapai.
Pelatihan menjadi salah satu kata kunci untuk
keberhasilan implementasi kurikulum, karena itu upaya mendesain bentuk
pelatihan yang komprehensif harus dilakukan, bukan semata dalam bentuk
ceramah dan workshop, tapi pendampingan seusai pelatihan juga menjadi hal
yang harus dilakukan.
Melalui metodologi pendampingan inilah umpan balik
dari hasil pelatihan bisa diperoleh, sekaligus bermanfaat bagi upaya
perbaikan pelaksanaan pelatihan berikutnya. Sebab, disadari pelatihan
untuk implementasi kurikulum ini memang tidak dilakukan secara
menyeluruh, melainkan bertahap dan berjenjang.
Sebagaimana diprogramkan pemerintah bahwa, untuk
tahun pelajaran 2013, pemberlakuan Kurikulum 2013 hanya pada 30 persen
dari populasi SD di kelas satu dan empat, serta 100 persen di kelas satu
untuk jenjang SMP, SMA, dan SMK. Ini maknanya, pelatihan akan dilakukan
secara bertahap.
Pelatihan juga menjadi syarat mutlak dalam
implementasi. Kenapa? Karena Kurikulum 2013 yang menekankan pada
pendekatan saintifik sesungguhnya akan mengubah metodologi guru di dalam
proses pembelajaran. Belum lagi jika bicara soal isi yang dalam kajian
banyak yang terlalu berat, kurang dalam, dan berlebihan.
Semua itu memerlukan desain pelatihan yang lebih
baik, terpadu, dan komprehensif. Pola pelatihan guru yang selama ini
dilakukan harus diubah untuk memenuhi kebutuhan dalam implementasi
kurikulum.
Bersamaan dengan pelatihan, harus pula dipikirkan
untuk mengubah substansi dan sistem pendidikan guru di Lembaga Pendidik
Tenaga Kependidikan (LPTK) yang sesuai dengan format Kurikulum 2013.
Dukungan terhadap penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) setamat
mahasiswa di LPTK untuk memperoleh "SIM (Surat Izin Mengajar)"
kiranya harus terus dikawal.
Empat Standar
Ada empat komponen atau standar yang melekat dalam
kurikulum, meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
proses (metodologi), dan standar penilaian.
Karena itu, keliru jika ada pandangan yang berkembang
di masyarakat bahwa sesungguhnya yang harus dibenahi adalah metodologi
pembelajaran, bukan kurikulumnya. Padahal dipahami bersama bahwa
metodologi atau standar proses ada di dalam kurikulum berbasis
kompetensi. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk
kompetensi yang diharapkan.
Pada titik inilah, perubahan kurikulum harus dapat
dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas guru. Guru yang tidak
hanya cakap di dalam menyampaikan materi pembelajaran (metodologi),
sehingga peserta didik paham dan mengerti, tapi juga guru yang mampu
memberikan motivasi dan wawasan kepada siswa.
Di sinilah makna penting dari perubahan kurikulum
itu, menurut Wakil Presiden Boediono, yang disiapkan untuk mencetak generasi
2045, generasi saat bangsa ini memasuki usia kemerdekaan 100 tahun.
Atas pertimbangan ke masa depan inilah,
kenapa Kurikulum 2013 menekankan pada pendekatan-pendekatan saintifik,
yang diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, mencakup
tiga kompetensi: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Semua ini menuntut
adanya perubahan pada diri guru. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar