Bak dua sisi mata uang,
barangkali itulah gambaran yang pas dalam menyikapi persoalan tenaga
kerja Indonesia (TKI). Di satu sisi, sumbangsih TKI sebegitu besar hingga
mendapatkan sebutan mulia sebagai pahlawan devisa dan perannya sangat
potensial untuk mengatasi pengangguran.
Di
sisi lain, bisnis penempatan tenaga kerja memiliki citra yang kurang baik
terkait proses perlindungannya. Tak heran, hingga saat ini harus diakui
bahwa berbagai kalangan lebih banyak berpikir soal perlakuan dan nasib
buruk TKI dibandingkan dengan fakta bahwa mereka yang bekerja di luar
negeri dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
Memang,
tak dapat dipungkiri, masih ada kasus yang menimpa TKI kita meski
persentasenya kecil. Namun, semua itu memiliki dampak negatif karena
ibarat panas setahun yang dihapus oleh hujan sehari. Semua prestasi dan
keberhasilan program penempatan TKI dalam sekejap pupus akibat munculnya
kasus-kasus negatif terkait nasib TKI di luar negeri.
Isu
perlindungan TKI dianggap sebagai persoalan yang paling penting. Lemahnya
perlindungan terhadap TKI bahkan berujung kepada moratorium pengiriman
TKI ke beberapa negara yang dianggap memiliki risiko tinggi bagi saudara
kita yang mengadu nasib di luar negeri.
Penempatan
TKI yang tidak dibarengi dengan sebuah sistem penempatan dan perlindungan
yang baik, berkualitas dan bertanggung jawab, berakibat pada pencederaan
terhadap martabat kemanusiaan TKI. Sederet permasalahan pun dialami TKI,
seperti kasus pemalsuan dokumen, perlakuan tidak manusiawi, beban
pekerjaan melebihi kemampuan, perdagangan alias jual beli TKI, pemotongan
gaji terlalu besar, gaji tidak dibayarkan, bekerja tanpa istirahat cukup,
bekerja tanpa hari libur cuti mingguan atau bulanan, mengalami pemukulan,
penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan sampai kepada
hilangnya nyawa mereka.
Menyadari
pentingnya persoalan perlindungan TKI di luar negeri, Asosiasi Perusahaan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) mencoba menginisisasi sebuah forum
multilateral untuk membangun kesepahaman dengan stakeholder terkait,
khususnya dalam upaya memberikan perlindungan kepada TKI. Rapat
Koordinasi Multilateral dilaksanakan tanggal 27-28 Maret 2013 dengan
menghadirkan stakeholder dari 13 negara penempatan TKI untuk wilayah Asia
Pasific dan Timur Tengah, antara lain Malaysia, Brunei Darussalam, Hong
Kong, Singapura, Taiwan, Arab Saudi, Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, Syria,
dan Yordania.
Pertemuan
koordinasi tersebut melibatkan pihak-pihak yang bertanggung jawab penuh
terhadap perlindungan TKI. Selain wakil dari KBRI, KJRI, konsoler, atase
tenaga kerja, juga asosiasi/konsorsium agensi tenaga kerja negara
penempatan, representative agency (PPTKA), asuransi negara penempatan TKI
dan Apjati (Indonesian Manpower Services Association). Dari pertemuan
tersebut diharapkan akan diperoleh kesepakatan perjanjian kerja yang
mengikat dengan sanksi-sanksi tegas dan terukur bagi penciptaan
pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI yang berkualitas dan
bermartabat.
Tentu,
forum multilateral akan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menerapkan
visi dan cara kerja baru dengan lebih memaksimalkan potensi TKI. Dengan
demikian, ke depan TKI tak hanya menjadi kekuatan ekonomi produktif,
namun juga lebih terlindungi keberadaannya.
Perwalu
Pertemuan
tersebut sekaligus untuk mengukuhkan pendirian Perwakilan Luar Negeri
(Perwalu) yang merupakan ide dari Apjati sebagai komitmen memperkuat
perlindungan TKI di luar negeri. Dengan pengalaman menempatkan hampir 6
juta TKI formal dan informal di 13 negara penempatan TKI, konteks
perlindungan tenaga kerja tentu menjadi salah satu isu paling penting.
Apalagi, usaha pendirian Perwalu sejauh ini mendapatkan respon sangat
positif dari mitra Apjati di luar negeri.
Perwalu
adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KBRI serta lembaga
perlindungan TKI di negara setempat. Soal mekanisme, seluruh anggota yang
bergabung dalam forum multilateral telah bersepakat mengumpulkan dana
yang langsung dipungut dari majikan yang besarannya 100 dolar per TKI
yang akan digunakan dalam konteks perlindungan TKI. Jadi, keberadaan
lembaga ini tidak akan memberatkan TKI karena tidak akan memungut biaya
dari TKI.
Keberadaan
Perwalu diharapkan akan menjadi 'mata' dan 'telinga' untuk mengatasi
permasalahan TKI ke depan. Apalagi, dengan struktur yang lebih fleksibel,
Perwalu tentunya akan lebih mudah bergerak dalam menindaklanjuti semua
persoalan yang mendera TKI, sebelum melibatkan campur tangan institusi
resmi negara dalam hal ini kedutaan besar.
Yang harus disadari, tak semua persoalan TKI perlu
dibawa ke ranah hukum. Banyak kasus yang muncul membutuhkan solusi dengan
penyelesaian jalur non hukum. Peran inilah yang kelak diharapkan dapat
dijalankan oleh Perwalu.
Bagaimanapun
menjalin kesepahaman dengan mitra di luar negeri adalah mutlak dilakukan
karena upaya perlindungan TKI akan sulit terwujud jika hanya dilakukan
secara sepihak. Perlindungan yang kuat membutuhkan komitmen yang kuat
pula dari semua unsur yang terlibat atas keberadaan TKI, baik dari negara
penempatan maupun negara penerima jasa tenaga kerja. Dhus, pendirian
Perwalu tampaknya sejalan dengan arahan Menakertrans yang menyebutkan
bahwa semua pihak yang terkait dengan penempatan TKI harus menyamakan
visi dan misi untuk lebih mengutamakan aspek perlindungan TKI yang bekerja
di luar negeri.
Akhirnya, untuk mencapai sebuah tujuan besar,
dibutuhkan langkah kecil agar sebuah harapan dapat diwujudkan. Pendirian
Perwalu adalah langkah kecil untuk menggapai tujuan besar dalam upaya
memberikan perlindungan optimal terhadap TKI, pahlawan devisa kita!
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar