Banyaknya pengangguran di
usia produktif menjadi masalah pelik bangsa ini. Lulusan sekolah menengah
atas (SMA, SMK, MA) dan sarjana menjadi 'penyumbang' pengangguran
terbesar. Untuk menekan pengangguran itu, wacana pendidikan kewirausahaan
pun ramai menjadi isu nasional, terutama di perguruan tinggi, hingga
dirasa perlu ada mata kuliah kewirausahaan.
Dunia kerja yang menuntut keterampilan yang mumpuni
menjadi titik ironi bagi sengkarut ketenagakerjaan di Indonesia. Di sisi
lain, budaya wiraswasta (entrepeneurship) masih menjadi masalah yang
turut menyumbang angka pengangguran. Paradigma bahwa uang hanya bisa
dicari dengan bekerja masih kuat di masyarakat kita. Mereka yang berpikir
untuk menciptakan pekerjaan masih terbilang sedikit.
Pendidikan ditengarai turut bertanggung jawab atas
fenomena yang menyesakkan tersebut. Di tengah gejala konsumerisme dan kapitalisme,
pekerjaan dituntut untuk dimiliki oleh mereka yang tergolong usia
produktif agar mampu mandiri secara ekonomi. Keterampilan dan pekerjaan
juga menjadi bekal untuk bersaing secara nasional dan global.
Belakangan ini, SMK kembali ramai diperbincangkan
sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memenuhi tanggung jawab
sosial demi mencetak generasi bangsa yang terampil sebagai bekal untuk
bekerja. Kemendiknas (dulu) cukup serius mengupayakan SMK sebagai kawah
candradimuka untuk membekali siswa dengan keterampilan khusus. Izin
pendirian SMK lebih diprioritaskan daripada SMA atau MA. Dhus,
'latahisme' pun terjadi, yakni banyak yayasan ramai-ramai mendirikan SMK
meski secara SDM dan infrastruktur kurang mendukung. Dalam hal ini,
Kemendikbud perlu melakukan seleksi secara ketat.
Sebetulnya cukup banyak SMK yang ada di Indonesia.
Namun, kita cukup lama terjebak pada dikotomi bahwa SMK adalah sekolah
kelas dua dan buangan bagi anak-anak yang tak diterima di sekolah negeri.
Paradigma ini seolah menemukan pembenaran di lapangan karena terbukti
dari segi kecakapan mata pelajaran, siswa SMK masih di bawah rata-rata
anak SMA.
Kemendiknas mendorong agar di setiap provinsi dan
kabupaten harus memiliki sekolah unggulan dan RSBI, termasuk SMK. Tahun
2009 tercatat di 33 provinsi, ada 182 SMK RSBI. (Dirjen SMK, 2009) Ini
masih kurang jika dibandingkan jumlah SMA unggulan.
SMK masih menjadi harapan bagi keluarga menengah ke
bawah untuk menyekolahkan anaknya.
Melanjutkan ke perguruan tinggi serasa
berat di tengah himpitan ekonomi. Namun, masalah klasik selalu menghantui
SMK.
Pertama, karena sekolah ini adalah kejuruan yang
menitikberatkan praktik daripada teori, biaya menjadi lebih mahal. Alasan
untuk membeli alat praktikum menjadi alibi bagi sekolah (terutama swasta)
untuk memungut biaya tambahan kepada wali murid.
Kedua, SMK cenderung dihuni oleh siswa yang bergender
homogen. Jurusan mesin, otomotif, dan bangunan lebih banyak dihuni oleh
siswa laki-laki, sementara jurusan tata boga atau tata busana cenderung
dihuni oleh perempuan. Di usia muda seperti itu, jurusan SMK yang dihuni
para siswa laki-laki cenderung lebih 'susah diatur' dan muncul semacam
kekompakan untuk melanggar peraturan sekolah.
Itikad pemerintah untuk menjadikan SMK sebagai
pencetak tenaga kerja siap pakai harus seimbang antara sekolah SMK negeri
dan swasta. Kebanyakan mereka yang kurang mampu cenderung menyekolahkan
anaknya ke SMK swasta pinggiran karena biaya lebih murah daripada SMK
negeri. Lebih bijak misalnya, jika pemerintah lebih memerhatikan sekolah
swasta yang kekurangan alat praktik untuk meminimalisir kesenjangan
antara ketersediaan fasilitas dan jumlah siswa. Faktor fasilitas turut
memengaruhi tingkat penguasaan siswa terhadap materi praktik. Intensitas
melakukan praktik dapat menjadi sebab penguasaan materi praktik peserta
didik.
Tahun 2020-2025, Indonesia menargetkan jumlah SMK dan
SMA adalah 70:30. Artinya, ke depan, Indonesia berusaha menciptakan
generasi muda yang siap kerja. Namun, penyiapan tenaga kerja yang masis
dapat menjadi blunder jika hanya berhenti pada tataran skill-praktis.
Ketersediaan guru SMK yang sesuai kompetensi masih minim. Padahal, guru
dalam SMK menjadi penting karena dia sekaligus sebagai trainer.
Kurikulum merupakan salah satu aspek penting yang
menentukan mutu kualitas lulusan lembaga kejuruan. Karena posisinya yang
penting, kurikulum pendidikan di sekolah menengah tentu berbeda.
Perbandingan teori dan praktik idealnya adalah 30 teori, 70 praktik.
Balitbang Jateng (2008) memberi rekomendasi dalam
soal kurikulum. Pertama, sekolah harus bekerja sama dengan dunia indsutri
untuk menyusun kurikulum, agar didapat kesepahaman apa yang dibutuhkan
oleh dunia industri. Kedua, untuk sekolah, teori kejuruan dan praktik
dasar diberikan di semester awal agar semester selanjutnya bisa lebih
fokus mematangkan keterampilan siswa dalam bidang keahlian tertentu.
Yang perlu diberikan (diselipkan) dalam kurikulum
adalah nilai-nilai filsosofis kerja. Ini penting agar lulusan SMK ke
depan tidak hanya memahami tujuan kerja dari sisi pragmatis (gaji), namun
juga idealisme dan tujuan jangka penjang kerja untuk merawat kemanusiaan
dan peradaban.
Kemendikbud mesti berperan untuk menyinergikan pendidikan
dan kebudayaan, termasuk di SMK.
Pendidikan di SMK harus pula diarahkan pada
pendidikan kewirausahaan. Ini untuk mengantisipasi jika pendidikan
keterampilan di SMK berhasil (semoga), kita justru kelebihan stok tenaga
terampil, sementara perusahaan yang ada tak lagi mampu menampung mereka.
Peran SMK dengan demikian, bukan semata mencetak tenaga siap kerja, tapi
juga para lulusan yang mampu menciptakan pekerjaan. SMK akan menjadi
solusi dari tiga masalah sekaligus; pengangguran, minimnya wirausahawan,
dan pekerjaan yang berbudaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar