HUBUNGAN sipil-militer
merupakan hubungan dinamis antara institusi sipil dan militer. Pola yang
dilaksanakan merupakan supremasi subordinasi atau hubungan kesetaraan
yang ditentukan oleh kesiapan dan kapasitas institusi sipil untuk dapat
menegakkan kontrol demokratik atas institusi militer.
Hubungan tersebut ditentukan oleh
dinamika yang terjadi, baik mewakili lingkaran dalam (presiden, menteri
pertahanan, DPR, dan TNI) dan yang mewakili lingkaran dalam (pers, LSM,
partai politik/organisasi kemasyarakatan, dan universitas). Komplikasi
yang timbul bersamaan dengan reformasi politik semakin mempertajam
kontestasi institusi sipil, khususnya presiden dan menteri pertahanan,
dengan DPR. Kontestasi tersebut telah menutup sebagian ruang bagi
institusi sipil untuk mengusulkan prakarsa-prakarsa progresif dalam
mengoreksi, mengisi, atau memperkuat upaya reformasi yang pada mulanya
diawali dengan reformasi internal TNI.
Perubahan posisi TNI di satu sisi semakin
mendekati simbol kepemimpinan negara (presiden), tetapi di sisi lain
dirumuskan sebagai mitra koordinasi bagi menteri pertahanan dalam
mengurangi konteks politik hubungan TNI dengan DPR. Pola hubungan antara
‘institusi sipil’ dan ‘institusi militer’ tidak bersifat dyadic, tetapi tryadic; dan dengan sendirinya
justru memberi peluang bagi TNI untuk menyerahkan seluruh kewajiban
reformasi hubungan sipil-militer pada presiden dan menteri pertahanan.
Adapun dinamika di lingkaran luar telah
menghadapi beberapa kendala, khususnya yang terkait dengan perbedaan
kepentingan dan agenda prioritas, selain karena terbatasnya kemampuan
untuk mendorong agenda pengendalian otoritas sipil atas militer. Kepentingan
komersial media, persistensi ideologi universal di kalangan aktivis LSM,
kurang tebalnya kapasitas akademik di universitas pada bidang pertahanan
negara, dan kurang pedulinya parpol/ormas terhadap masalah hubungan
sipil-militer telah menimbulkan munculnya bifurkasi advokasi. Khususnya
antara mereka yang tetap berpijak pada universalisme dan mereka yang
lebih mengkhususkan diri pada advokasi kebijakan yang langsung terkait
dengan upaya memiliterisasi militer.
Teori
Agency
Sesuai agency theory, menurut Eisenhardt (1989), menekankan pada
hubungan antara principal (pemberi tugas) dan agent (yang diberi tugas).
Menurut agency theory, principal diartikan sebagai
atasan, sementara agent merupakan bawahan yang menerima perintah atasan.
Dalam konteks hubungan sipil-militer
dalam sistem demokrasi, principal adalah keseluruhan dari institusi
politik (pemerintah atau kementerian pertahanan), sedangkan agent adalah
institusi militer (TNI). Peter Feaver, ilmuwan politik yang menggunakan agency theory, menganalisis
hubungan sipil-militer dan mengatakan bahwa untuk memperkuat instrumen merupakan
bagian penting dalam membangun pola hubungan sipil-militer demokratik
karena dua hal.
Pertama, dapat memberikan kesempatan pada institusi militer untuk
memiliki legitimasi ketika mereka dituntut menggunakan kekuatan koersif.
Kedua, dapat memberikan jaminan institusional kepada kalangan sipil untuk
dapat mengendalikan institusi militer.
Seberapa besar transaksi antara
legitimasi dan jaminan institusional itu dapat terbentuk tidak terlepas
dari konteks politik maupun sosiologis. Konteks politik lebih menekankan
tentang otoritas, termasuk otoritas sipil untuk secara intrusive dan contingent mengawasi perilaku militer dalam kehidupan
sehari-hari. Selengkapnya, Feaver menulis bahwa stabilitas hubungan sipil-militer
dalam kerangka demokratik memerlukan `specifies
conditions under which we would expect civilians to monitor the military
intrusively or nonintrusively and the conditions under which we would
expect the military to work or shirk. ....... agency theory allows for
contigent predictions about the likely conduct of day-to-day
civil-military relation'.
Secara sosiologis, seberapa jauh
institusi sipil (principal)
dapat melaksanakan kendalinya atas militer (agent) ditentu kan oleh kohesivitas principal dan
kecenderungan deviance dari militer. Latar belakang sejarah, sosial, dan
budaya yang menjelma dalam pandangan hidup maupun perilaku principal
ataupun agent merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan. Faktor-faktor
itu tidak mudah untuk dapat diubah melalui institusi politik.
Sipil dan militer merupakan dua entitas
yang berbeda, yaitu institusi sipil mengedepankan persuasi, konsensus,
dan tujuan yang bersifat jangka panjang (strategis), sedangkan institusi
militer cenderung pada koersif dan tujuan yang lebih bersifat jangka
pendek (operasional). Oleh karena itu, keberadaan dua karakter itu dalam
sebuah sistem berbangsa, bernegara, ataupun pemerintahan harus ditata dan
dikelola dengan baik untuk menghindari dominasi institusi satu atas
institusi yang lain.
Oleh sebab itu, pengendalian otoritas
sipil atas militer tampaknya memang tidak dapat hanya mengandalkan pada
institusi-institusi saja, tetapi juga hubungan interaktif, baik antara
principal dan agent maupun di dalam principal dan agent itu sendiri. Dengan
analisis tentang pengendalian sipil atas militer di Indonesia, perlu
melihat bagaimana dinamika itu terjadi sepanjang sejarahnya.
Fenomena hubungan sipilmiliter di
Indonesia menunjukkan bahwa pola hubungan sipil-militer di Indonesia saat
ini belum sepenuhnya mengarah pada model supremasi sipil (civilian
supremacy), tetapi masih terbatas pada subordinasi bersyarat (conditional subordination). Karena
perbedaan kapasitas efektif antara institusi sipil dan militer,
pengendalian kontrol sipil yang demokratik atas militer tidak saja
menjadi problematik bagi konsolidasi demokrasi, tapi juga problematika
modernisasi kultur militer.
Ketidaklengkapan
UU
Hubungan sipil-militer merupakan hubungan
dinamis antara institusi sipil dan militer. Pola supremasi-subordinasi ataupun
kesetaraan ditentukan oleh kesiapan dan kapasitas institusi untuk dapat
menegakkan kontrol efektif atas institusi militer. Namun, kontrol efektif
itu tidak dapat sepenuhnya bertumpu pada instrumen legal konstitusional,
khususnya karena kuatnya supremasi kultur dan organisasi militer.
Peril
of internal reform, komplikasi
reformasi militer dengan transisi dan konsolidasi demokrasi,
ketidaklengkapan perundang-undangan yang mengukuhkan supremasi otoritas
militer merupakan hambatan-hambatan struktural, institusional, dan
kultural yang pada akhirnya membatasi ruang negosiasi antara institusi
sipil dan militer.
Kesimpulannya yaitu belum terwujudnya
hubungan sipil-militer yang demokratis di Indonesia pada dasarnya
disebabkan oleh dua hal. Pertama, sipil belum bisa mewujudkan militer
yang profesional. Hal itu, misalnya, terlihat dari minimnya anggaran
militer yang disetujui oleh DPR. Keterbatasan anggaran tersebut
menyebabkan alutsista yang kurang, latihan militer yang kurang, serta
kesejahteraan prajurit yang masih rendah yang berujung kurang
profesionalnya militer di Indonesia.
Kedua, kepemimpinan dari kalangan sipil
yang masih dinilai lemah. Hal itu terlihat di kalangan partai, misalnya.
Untuk membuat partai disiplin, taat pada asas, dan dapat bekerja dengan
efisien, hampir semua partai melibatkan mantan (purnawirawan) anggota TNI
untuk duduk sebagai pengurus partai. Hal itu bisa dimaklumi karena
militer sudah terbiasa dengan disiplin kerja yang tinggi dan menerapkan
birokrasi dengan baik untuk menutupi kelemahan kepemimpinan sipil yang
masih terlihat di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar