Beberapa peristiwa berdarah yang melibatkan para penjaga negara
sungguh memprihatinkan.
Serangan terhadap Markas Polres Ogan Komering Ulu, sampai eksekusi
mati terhadap empat tahanan LP Cebongan, semuanya membunyikan sinyal
tanda bahaya bagi tertib sosial dan keadaban publik kita. Apalagi ketika
negara kelihatan kaget dan gagap menangani kasus demi kasus itu. Ketika
organisasi yang memonopoli koersi gagal merawat dan menjaga rasa aman,
rakyat seperti hidup di sarang penyamun. Apalagi kenyataan membentang
betapa alat negara yang bersenjata justru acap kali merusak rasa aman
publik.
Kelas Penjaga
Alasan beradanya sebuah negara adalah keselamatan dan keamanan
warganya. Sebagai teritori yang berdaulat, negara perlu menjamin keamanan
secara internal dan eksternal sekaligus. Untuk itu, polisi dan militer
dibutuhkan. Dari semua organ negara yang memiliki fungsi koersi, kedua
institusi tersebut paling istimewa. Sebab, keduanya memiliki lisensi
membunuh dalam situasi tertentu. Prajurit dapat menghilangkan nyawa
tentara musuh dalam situasi perang. Dalam keadaan darurat, polisi pun
dapat menembak di tempat para kriminal.
Dengan lisensi tersebut, militer, meminjam Plato, adalah sebuah
kelas tersendiri. Plato menyebutnya kelas penjaga (guardian). Hak-hak istimewa kelas penjaga dimaksudkan untuk
menciptakan rasa aman bagi warga dan ketakutan bagi musuh-musuh negara.
Latihan perang, misalnya, acap kali dilakukan semata-mata sebagai efek
penggentar bagi siapa saja yang mencoba mengganggu kedaulatan negara.
Nah, bagaimana ketika hak istimewa tersebut tidak dipakai untuk
menunaikan kewajiban konstitusional, tetapi untuk mengeksekusi semacam
keadilan bawah tanah?
Siapa sebenarnya kelas penjaga tersebut? Plato menekankan betapa
kelas penjaga adalah kelas istimewa. Disebut istimewa karena kelas
penjaga tidak diikat oleh apa pun selain kebaikan umum (summum bonum). Dengan demikian,
kelas penjaga menjalankan semacam asketisme sekuler.
Mereka mengerem
setiap jengkal hasratnya terhadap kesenangan pribadi guna menjaga
republik dari intrusi kaum barbar. Dengan demikian, kelas penjaga adalah
teladan bagi warganya. Mereka adalah prototipe warga negara yang tidak
mudah ditiru setiap lakunya.
Keutamaan kardinal yang dimiliki kelas penjaga adalah keberanian (courage). Keberanian bukan
perbuatan gegabah tanpa tuntunan akal sehat. Keberanian justru sangat
bersumbu pada akal sehat. Dia yang memiliki keberanian dituntun oleh
keyakinan. Kelas penjaga mesti berkeyakinan terhadap opini yang benar.
Opini yang benar adalah doxa
atau dogma yang harus diikuti tanpa syarat. Bagi Plato, opini yang benar
atau doxa bukan pengetahuan,
melainkan sejenis mitos yang membuat kelas penjaga secara sadar, ikhlas,
dan militan menjaga republik. Dia adalah ideologi yang dipatuhi dan
diyakini sehingga mampu mengenyahkan setiap hasrat pribadi yang
menyimpang.
Secara internal, kelas penjaga memang tak mengenal demokrasi. Kelas
penjaga hanya mengenal indoktrinasi opini yang benar atau ideologi.
Namun, indoktrinasi tersebut memiliki fungsi etika-politiknya sendiri.
Demokrasi sebagai cara hidup bersama perlu dilindungi oleh sebuah kelas
yang menjalankan laku asketisme tingkat tinggi. Indoktrinasi opini yang
benar bertujuan menciptakan kelas penjaga yang siap mengorbankan apa pun
demi konstitusi sekaligus hidup bersama yang diaturnya.
Etika Penjagaan
Setiap komunitas politik membutuhkan militer sebagai kelas penjaga.
Sebagai kelas penjaga, setiap prajurit dituntut untuk mengorbankan diri
bagi keamanan komunitas politik yang dilindunginya. Keputusan untuk
berkorban dan membela tersebut tidak boleh dikembalikan kepada evaluasi
etis pribadi masing-masing ala etika liberal. Keputusan tersebut harus
diukur berdasarkan patokan yang netral, imparsial, dan kolektif. Dengan
kata lain, prajurit tidak mempraktikan semacam etika liberal yang
individualistis. Di sini ironi terjadi. Demokrasi liberal sejatinya
justru membutuhkan kelas penjaga yang menolak etika atau moralitas
liberal.
Etika militer atau kelas penjaga bersifat anakronistik terhadap
etika liberal. Namun, etika tersebut tidak berseberangan dengan kebutuhan
fungsional sebuah masyarakat liberal. Etos militer tersebutlah yang
menciptakan rasa aman sehingga demokrasi bisa dijalankan secara saksama.
Alih-alih berkonflik dengan demokrasi, militer justru merupakan sumber
keutamaan-keutamaan positif. Keutamaan-keutamaan yang dikesampingkan
masyarakat liberal justru dihidupkan dan dirawat di dalam militer.
Kesetiaan, pengorbanan, militansi, dan keberanian adalah sebagian
keutamaan tersebut.
Militer adalah institusi yang berfungsi sebagai gudang penyimpan
sumber daya moral. Sumber daya moral tersebut adalah kekuatan imaterial
yang dimiliki negara menghadapi berbagai ancaman yang mungkin. Moralitas
non-liberal yang dimiliki militer berseberangan dengan kultur
liberal-utilitarian yang memuja pengejaran individual atas kenikmatan
atau kebahagiaan. Moralitas tersebut juga berseberangan dengan kultur
sektarian yang memuliakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa
dan negara. Dua musuh etis militer pun menjadi sangat jelas. Pertama
adalah individualisme tanpa batas dan, kedua, sektarianisme atau semangat
kelompok yang membabi buta.
Kehadiran militer adalah sebuah pertanyaan eksistensial. Militer
adalah segaris pertanyaan tentang apa itu keadilan, pengorbanan, dan
pengecualian. Semua pertanyaan tersebut tidak dapat diserahkan pada
kebijakan pribadi setiap prajurit. Kita memerlukan semacam patokan
etis-kolektif sebagai pandu setiap laku prajurit. Institusionalisasi
nilai tersebut diperlukan guna mencegah penyalahgunaan kekuatan militer,
seperti yang kita saksikan belakangan ini. Kegagalan negara menyiapkan
etika militer non-liberal adalah tanda bahaya bagi kelangsungan dirinya
sebagai entitas politik.
Penanaman etika militer di kalangan prajurit menjadi keharusan
moral sekaligus institusional. Sebab, penyalahgunaan kekuatan bersumber
dari absennya pandu etis dalam pengambilan keputusan. Untuk itu,
pendidikan militer harus dilengkapi dengan filsafat moral yang tepat.
Pendidikan militer adalah penanaman patriotisme, bukan semata-mata
sebagai semangat bela negara, melainkan keutamaan kardinal yang mesti
dimiliki setiap prajurit. Patriotisme perlu dimaknai sebagai
deindividualisasi dan desektarianisasi dalam setiap pengambilan keputusan
di lapangan. Keputusan tentang siapa musuh, apa yang dilindungi dan
bagaimana cara memerangi harus disekat oleh moralitas kolektif yang jelas
dan gamblang. Pada akhirnya, setiap prajurit harus memahami bahwa setiap
peluru yang ditembakkan adalah demi negara sebagai materialisasi
konstitusi, bukan pribadi atau kelompok tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar