Untuk
kesekian kalinya, pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) kembali diterpa isu pemakzulan. Rumor yang beredar, pada
25 Maret 2013, akan ada demo besar yang bertujuan untuk menggulingkan
kedudukannya sebagai presiden sebelum masa jabatannya berakhir pada 2014
mendatang.
Entah kenapa, sejak menjabat sebagai presiden, wacana
tentang pemakzulan terhadap Presiden SBY tak pernah berhenti. Namun kerap
juga, wacana itu hanya sebatas gertak sambal.
Kita tentu masih ingat dengan manuver politik “Gerakan
cabut mandat” yang diprakarsai oleh mantan aktivis Hariman Siregar pada
tahun 2005 silam. Kita juga tak bisa lupa dengan upaya impeachment
sejumlah kekuatan politik di parlemen terhadap Wakil Presiden Boediono
terkait kasus dugaan skandal dana talangan (bailout) Bank Century pada 2010.
Pun tentu masih hangat di kepala kita tentang tuduhan
tokoh lintas agama terkait ”18 kebohongan rezim Presiden SBY”. Semua
bermuara satu, diwacanakan ingin memakzulkan posisi suami Kristina
Herawati Yudhoyono ini.
Merujuk kondisi di atas, hemat saya, banyaknya kritik
yang kerap berujung pada wacana penggulingan terhadap pemerintahan
Presiden Yudhoyono ini, sebetulnya tak betul-betul ingin melengserkan
pemerintahan. Hal ini didasarkan pada tiga hal.
Pertama, jalan menuju penggulingan pemerintahan saat
ini memerlukan rute yang sangat panjang dan berliku. Kedua, pemerintahan
SBY saat ini masih cukup kredibel di mata masyarakat karena baiknya
kinerja ekonomi. Ketiga, kekuatan-kekuatan politik saat ini, terutama
militer, tak mendukung kemungkinan terjadinya pergantian kekuasaan secara
ilegal.
Pertanyaanya, lalu apa motif wacana penggulingan
terhadap pemerintahan SBY terus digulirkan?
Pemburu Kuasa
Motif terus bergulirnya wacana pemakzulan terhadap presiden
SBY, hemat saya, sejatinya tak jauh-jauh dari dekatnya suksesi
kepemimpinan pada 2014. Meski tak bisa kembali mencalonkan diri pada
Pemilu 2014, SBY saat ini tetaplah masih menjadi figur terkuat dalam
pentas politik nasional.
Dukungan SBY pada sosok yang nantinya akan maju pada
Pilpres 2014, tentu akan memberikan referensi positif bagi para
pengikutnya untuk menjatuhkan pilihan. Itu sebabnya, kredibilitas lulusan
terbaik AKABRI 1973 ini perlu direduksi oleh lawan-lawan politiknya agar
tercipta situasi balance of power di antara kandidat
capres-capres yang akan maju pada pemilu mendatang.
Dengan banyaknya wacana pemakzulan, mungkin yang
diharapkan oleh para pengritik SBY ini adalah muculnya “kesadaran”
masyarakat bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam pemerintahan saat
ini. Muaranya, “kesadaran” masyarakat ini diharapkan bisa mengurangi atau
bahkan meruntuhkan citra SBY yang masih sangat baik. Dengan runtuhnya
citra SBY, itu artinya, ”pertempuran” pada pileg dan pilpres mendatang
akan seimbang di antara para kontestan karena tak ada yang lebih menonjol
antara satu dengan lainnya.
Selain itu, perlunya mereduksi citra SBY ini tentu erat
kaitannya dengan suara Partai Demokrat (PD) yang tak terkejar pada pemilu
2009 lalu. Saat ini, kondisi PD memang sudah terpuruk melalui polemik
panjang terkait kasus yang menimpa mantan Ketua Umumnya, Anas
Urbaningrum. Namun upaya penyelamatan yang dilakukan SBY, bukan mustahil
bisa menjadi titik balik perbaikan citra PD untuk menghadapi pemilu 2014
mendatang.
Tentu para lawan politik SBY tak mau itu terjadi.
Elektabilitas PD yang sudah rontok, akan sangat berbahaya jika bisa
diperbaiki lagi. Oleh karena itu, penggerogotan terhadap citra SBY perlu
terus dilakukan agar PD betul-betul cair. Sehingga, parpol kontestan lain
bisa ”berbagi” kue limpahan suara PD dan SBY.
Berliku
Akan tetapi, terlepas dari analisis di atas, upaya
pemakzulan presiden saat ini bukanlah langkah yang sederhana. Banyak rute
berliku yang harus dilalui agar upaya pemakzulan itu bisa terwujud.
Jika merujuk pada UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun Pasal 7A yang merupakan hasil perubahan ketiga konstitusi tersebut
mengamanatkan bahwa pemberhentian dimungkinkan, “apabila [Presiden dan/atau Wapres] terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden”.
Pertanyaannya, apakah Presiden SBY memenuhi enam syarat
dalam pasal tersebut untuk dimakzulkan?
Jika ditelusuri secara cermat, sepertinya enam syarat
itu masih jauh dari Presiden SBY. Bahkan seandainya presiden melanggar
salah satu dari enam syarat itu pun, proses pemakzulan tak serta merta
dapat dilakukan. Karena Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian
presiden dan/atau wapres ke MPR, Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan
DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden dan/atau wapres
melakukan pelanggaran hukum sesuai bunyi Pasal 7A.
Jadi, seandainya DPR mengatakan Presiden melakukan
pelanggaran sesuai pasal 7A, namun MK memandang itu bukan sebuah
pelanggaran, pemakzulan tak akan menemui legitimasinya.
Hal ini sangat berbeda dengan proses pemakzulan di masa
lalu. Mantan Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid dapat
dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara ketika itu. Akan tetapi
perlu dicatat, kala itu, kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden
memang ada di tangan MPRS atau MPR.
Namun, melalui empat tahap amandemen UUD 1945, MPR
mengalami pengurangan hak secara signifikan. Saat ini MPR tidak lagi
memiliki kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden. Selain itu,
amandemen juga mendudukkan posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga
tertinggi negara.
Melihat kondisi ini, ada baiknya para politisi dan
elemen “pemburu kuasa” berpikir ulang untuk mengupayakan pemakzulan
presiden. Selain syaratnya tak memungkinkan sesuai diatur dalam UUD 1945,
proses panjang yang harus dilalui juga akan menghabiskan energi tak
berarti.
Oleh karena itu, sudah semestinya proses
pengambilalihan kekuasaan harus dilakukan sesuai agendanya, pemilu lima
tahunan. Jangan sampai kita kembali ke era ketakpastian politik. Karena
lagi-lagi, ketakpastian politik hanya akan mengantarkan kepada
ketakpastian kondisi masyarakat dalam mengarungi kehidupan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar