Saya teringat Hoegeng, mantan
Kapolri era 1968-1972, yang dengan amarah pernah bicara, ”Memangnya gaji polisi bisa untuk
bermewah-mewah?” Di sisi lain yang sangat kontras, puluhan aset yang
diduga dimiliki Irjen Djoko Susilo disita KPK.
Menurut estimasi KPK, DS yang
berstatus tersangka korupsi dan pencucian uang ini memiliki kekayaan Rp
100 miliar. Sementara laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)
DS per 2010 ketika menjabat Kepala Korlantas Polri ”hanya” Rp 5,62
miliar.
Angka yang tidak wajar dan
sederet aset yang telah disita itu tentu masih harus dibuktikan di
pengadilan. Namun, butir menarik dari serangkaian tindakan hukum yang
dilakukan KPK adalah ketika penyitaan mulai dilakukan sistematis setelah
DS ditetapkan sebagai tersangka dugaan pencucian uang. Dengan demikian,
DS menyandang sekaligus dua ”jabatan” tersangka, yakni tersangka korupsi
dengan dasar UU No 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001
dan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
Pemiskinan Koruptor
Ini tentu bukan kasus pertama di
KPK. Sebelumnya, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati,
bahkan dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim pengadilan tipikor. Wa Ode
didakwa korupsi Rp 6,25 miliar dan dijerat dengan UU Pencucian Uang
terkait transaksi senilai Rp 50 miliar di rekeningnya.
Dalam proses penyidikan di KPK,
tercatat kasus Nazaruddin dan kasus suap daging sapi impor juga dikenakan
UU Pencucian Uang. Polri dan kejaksaan bahkan lebih dahulu menerapkan
jurus beleid antikorupsi dan pencucian uang ini. Sebut saja para petugas
pajak Bahasyim Assifie dan Gayus HP Tambunan. Bahasyim bahkan ”hanya”
dijerat korupsi Rp 1 miliar, tetapi pencucian uang senilai Rp 64 miliar.
Di Mahkamah Agung, Bahasyim divonis 12 tahun penjara dan perampasan
kekayaan.
Dengan kata lain, peristiwa
hukum terhadap Djoko sesungguhnya punya dasar kuat. Yang menjadikan kasus
ini menarik agaknya karena posisi Djoko sebagai salah satu perwira tinggi
Polri yang biasanya nyaris tidak tersentuh hukum. Apalagi, kita ingat
bagaimana resistannya Polri ketika KPK memulai penyidikan kasus ini dan
menggeledah Korlantas Polri. Bahkan, ”penyerbuan” sempat terjadi terhadap
Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang dianggap berperan signifikan
dalam membongkar skandal ini.
Jika penanganan kasus ini
berhasil, tidak berlebihan kita mengatakan bahwa upaya pemiskinan
koruptor akan menemui titik terang. Selama ini, banyak pihak masih
meragukan efektivitas pemenjaraan terhadap koruptor. Selain persoalan
vonis yang amat rendah, diskon hukuman melalui remisi, dan pembebasan
bersyarat, kekayaan koruptor yang masih lebih dari cukup sering kali
membuat mereka tetap punya posisi sosial yang kuat. Karena itu, memidana
kekayaan yang tidak wajar dibandingkan penghasilan sah adalah sebuah
keniscayaan yang dibutuhkan.
Pemidanaan harta kekayaan juga
tidak sepenuhnya isu baru. Di Amerika Serikat, penerapan pertama kali UU
Anti Pencucian Uang bahkan memosisikan pemerintah melawan dana jutaan
dollar yang tidak bertuan. Dengan terminologi illicit enrichment, United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC, 2003) telah merekomendasikan pemidanaan terhadap peningkatan
kekayaan pejabat publik yang tidak wajar tanpa mampu membuktikan bahwa
kekayaan diperoleh secara sah dan bukan dari tindak pidana. Bahkan, Inter American Convention Against
Corruption sejak 1996 telah mengenal istilah yang sama dengan UNCAC.
Hal ini berarti apa yang
dilakukan KPK terhadap Irjen Djoko bukankah sesuatu yang mengada-ada,
bahkan menjadi standar internasional yang kuat dan diterima di sistem
hukum puluhan negara. Meskipun Indonesia belum mengadopsi secara utuh
Pasal 20 UNCAC tentang Illicit
Enrichment tersebut, kombinasi UU Antikorupsi dan UU Pencucian Uang
dapat digunakan.
Salah satu ketentuan yang
dinilai cukup mumpuni adalah adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan
kekayaannya bukan berasal dari korupsi, juga penegasan bahwa dalam proses
hukum pencucian uang tak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya. Sebab, memang, pencucian uang adalah pidana yang terpisah.
Dengan basis kekayaan yang diduga dari kejahatan, proses penempatan,
penyembunyian, dan penggunaannya masuk dalam kualifikasi pencucian uang.
Asumsi Menyesatkan
Penegasan ini penting karena
belakang mulai muncul asumsi hukum yang bisa menyesatkan, yaitu
seolah-olah pidana asal (korupsi) dalam kasus pencucian uang yang
ditangani KPK harus dibuktikan barulah hasil kejahatannya dapat dijerat
pencucian uang. Rezim anti-pencucian uang di Indonesia dan di banyak
negara dunia tidaklah demikian. Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010, misalnya,
meletakkan kewajiban pembuktian kekayaan bukan dari kejahatan pada
terdakwa. Hal ini adalah bentuk murni dari prinsip pembalikan beban
pembuktian khusus terhadap asal-usul harta kekayaan. Memang, untuk
pemenuhan unsur pasal pidana, jaksa penuntut tetap harus membuktikan
unsur-unsur lain. Artinya, perdebatan apakah pembuktian terbalik ini
melanggar prinsip-prinsip HAM tidak relevan.
Salah satu pijakan penting dalam
pemidanaan harta kekayaan ini adalah kewajaran kekayaan pejabat publik
dibandingkan penghasilan yang sah. Sejumlah aturan hukum seperti
Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Tahun 1958 sebenarnya
pernah mengatur proses hukum terhadap kepemilikan harta benda dari
korupsi. Kemudian, pasca-Reformasi kita memiliki UU No 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Salah satu indikator
bersih adalah kewajaran kekayaan pejabat negara yang wajib dilaporkan dan
kemudian diverifikasi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dengan kata lain, kecurigaan
awal penegak hukum terhadap pejabat negara yang memiliki kekayaan
melimpah, apalagi sebagian besar tidak dilaporkan resmi di LHKPN, penting
dirawat. Merujuk putusan kasasi kasus Bahasyim di MA, kesenjangan LHKPN
dengan kekayaan yang kemudian ditemukan penyidik menjadi satu bagian
pembuktian yang penting.
Selain itu, KPK tentu patut
mempertimbangkan serius melapis sejumlah pasal dalam UU Tindak Pidana
Korupsi yang tak hanya terkait kasus simulator, tetapi juga dapat
menggunakan Pasal 12B tentang gratifikasi yang dianggap suap. Selain tak
pernah dilaporkan kepada KPK—padahal pelaporan merupakan kewajiban
penyelenggara negara, ketentuan Pasal 12B ini juga menganut prinsip
pembuktian terbalik untuk gratifikasi di atas Rp 10 juta.
Tentu kita berharap kombinasi
penerapan UU Anti Korupsi dan UU Pencucian Uang dapat menjadi standar
yang berlaku untuk semua kasus yang ditangani KPK. Demikian juga upaya
membongkar skandal ”rekening
gendut” 23 perwira Polri ataupun 2.000 transaksi keuangan
mencurigakan di Badan Anggaran DPR. Sudah saatnya KPK membidik kekayaan
haram para koruptor dan memiskinkan mereka melalui proses hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar