SEWAKTU saya mengikuti seminar
ilmu pengetahuan di Seoul, Korea Selatan, saya membaca artikel dari majalah
lokal dengan judul Korea tidak Mau
lagi Menjadi Agen Penjualan Jepang!. Negeri itu memang pernah dijajah
Jepang selama 3,5 tahun.
Timbul pertanyaan dalam hati saya, kapan
Indonesia berhenti menjadi agen penjualan? Kenyataan menunjukkan Indonesia
bukan hanya menjadi agen penjualan barang-barang Jepang, melainkan juga
menjadi agen Taiwan, China, Korea, Thailand, Amerika, Jerman, Inggris,
Prancis, dan negara Eropa lainnya.
Korea berani sesumbar tidak mau lagi
menjadi agen Jepang karena mereka sudah menguasai teknologi, mampu
memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi seperti mobil, televisi,
komputer, telepon seluler, dan alat untuk mendeteksi jenis penyakit. Korea
sebagai produsen memiliki barang. Indonesia sebagai penjual dan sekaligus
sebagai pengguna barang karena belum menguasai teknologi. Indonesia juga
belum mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi berdasarkan bahan
mentah asal negeri sendiri.
Mengapa dan bagaimana agar bisa cepat
berhenti menjadi agen penjualan? Selama Indonesia tidak menguasai teknologi
dan tidak segera berusaha menguasainya, selamanya akan menjadi agen
penjualan, menjadi suruhan bangsa lain. Ini ironis sekali. Setelah mampu
menguasai teknologi dan sekaligus mampu memproduksi barang bernilai ekonomi
tinggi, pada saat itulah Indonesia baru bisa berhenti menjadi agen
penjualan. Lalu kapan? Eksperimen yang menghasilkan produk bernilai ekonomi
tinggi harus dilakukan!
Penelitian melalui eksperimen untuk
menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi merupakan proses yang lama dan memerlukan
biaya tinggi. Hanya pemerintah dan perusahaan swasta besar yang mampu
melakukannya. Menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi yang bisa
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri melalui ekspor
memerlukan eksperimen atau percobaan-percobaan yang belum tentu berhasil.
Artinya barang jadi yang dihasilkan belum pasti bisa diterima pasar/laku
dijual. Itu merupakan risiko.
Dalam era globalisasi dengan persaingan
bisnis sangat ketat, kiat agar produsen bisa memenangi persaingan harus
mampu menghasilkan produk yang mutunya lebih baik, harganya lebih murah,
penyerahan lebih cepat, dan pelayanan lebih baik jika dibandingkan dengan
pesaing. Untuk melakukan perbandingan itu diperlukan data/statistik guna
mengetahui d secara kuantitatif, berapa lebih s murah harganya, berapa
lebih cepat penyerahannya, secara rata-rata.
Semua itu dilakukan agar pembeli
mendapatkan kepuasan secara menyeluruh (total
satisfaction) kemudian menjadi loyal dengan ciri bersedia membeli
berkali-kali (repeat order)
sehingga penjualan meningkat dan pada gilirannya laba juga akan meningkat. Produsen
barang apa saja yang bernilai ekonomi tinggi harus mampu memproduksi barang
yang bisa dijual karena memang dibutuhkan pembeli (seperti obat mujarab
yang bisa menyembuhkan sakit jantung atau sakit kanker, atau barang lainnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup). Jadi, bukan sekadar menjual barang yang
bisa diproduksi.
Perbanyak
Penelitian
Seperti telah disebutkan, penelitian
bersifat eksperimen memerlukan waktu lama, biaya mahal, dan mengandung
risiko, artinya bisa saja gagal. Namun, tanpa melakukan eksperimen yang
bisa mengubah bahan mentah (raw
material) menjadi barang bernilai ekonomi tinggi, jangan harap bangsa
Indonesia mampu menghasilkan barang bermutu yang mampu bersaing di pasar
internasional.
Misalnya dengan banyaknya jenis tanaman
obat di Indonesia, dan melalui eksperimen, bisa ditemukan obat kanker,
penyakit jantung, hingga jenis penyakit lainnya. Pengo batan penyakit
tersebut amatlah mahal. Lebih hebat lagi kalau obat ter sebut bisa diekspor,
setidaknya ke ne gara-negara tropis.
Di konferensi Colombo Plan di Rangoon (kini
Yangon), Myamar, salah satu keputusan nya yang menyangkut kesehatan ialah
obat penyakit orang tropis harus dihasilkan di daerah tropis melalui
penelitian di daerah tropis pula. Obat yang cocok untuk orang Eropa belum
tentu cocok untuk orang yang tinggal di daerah tropis karena daya tahan
tubuh nya berbeda. Usahakan melalui eksperimen agar dapat dihasilkan produk
yang dibutuhkan tidak saja oleh pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri
yang dapat menghasilkan devisa.
Devisa itu dibutuhkan untuk mengimpor bahan
mentah atau bahan baku yang masih sangat dibutuhkan tetapi Indonesia belum
mampu memproduksinya sendiri. Produk yang dihasilkan melalui eksperimen
seharusnya mampu bersaing di pasar internasional atau mampu bersaing dengan
produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, bukan produk sembarangan.
Bayangkan kalau Indonesia bisa menghasilkan
durian yang manis, tanpa biji atau bijinya kecil/tipis, jeruk manis yang
kulitnya kelihatan bersih dan segar/tidak kusam apalagi tanpa biji (seedless). Kita bisa menyaksikan
durian monthong dari Thailand di pasar London, Inggris. Kapan Indonesia
bisa mengekspor buah-buahan seperti Thailand?
Memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang berlimpah, salah satu
kuncinya. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia menempati urutan
keempat setelah China, India, dan Amerika. Itu berarti sumber daya manusia
berlimpah. Indonesia juga terkenal akan kekayaan alamnya, yaitu laut yang
luas dengan berbagai jenis ikan dan tanah yang luas dan subur, penuh dengan
berbagai jenis tanaman dan berbagai jenis bahan tambang.
Apakah bangsa Indonesia sudah menikmati
semua itu?
Ternyata belum karena masih banyak orang miskin. Kita masih membutuhkan
orang-orang bermutu yang melalui eksperimen yang dilakukan bisa mengubah
kekayaan alam menjadi barang bernilai ekonomi tinggi.
Serahkan
ke Asing
Menurut Michael Porter, penulis buku The Competitive Advantage of Nation,
faktor anugerah Tuhan (endowment
factors) memang penting. Akan tetapi, lebih penting lagi faktor buatan
manusia (man made factors).
Sebagai contoh ikan di laut ditangkap dijadikan makanan dalam kaleng (bisa
diekspor). Atau emas dibuat perhiasan, minyak bisa diolah untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar pesawat, mobil, kapal laut, hingga industri. Namun,
semua itu harus dilakukan anak bangsa, untuk kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh bangsa Indonesia. Bukan malah menyerahkan pengelolaannya kepada
bangsa asing seperti sekarang ini. Bangsa ini harus mempunyai tenaga
peneliti melalui eksperimen yang mampu mengubah sumber daya alam sebagai
bahan mentah ke barang bernilai ekonomi tinggi, untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Bangsa Jepang sangat menyadari bahwa tidak
semua orang senang meneliti, apalagi melakukan eksperimen/percobaan. Itu
sebabnya peneliti haruslah dihargai, kebutuhan hidupnya dipenuhi sehingga
bisa konsentrasi penuh dengan tugasnya.
Pemerintah Singapura menawarkan kepada para
peneliti agar mendatangkan ahli peneliti dari luar negeri. Berapa pun gaji
yang diminta ahli tersebut akan dibayar pemerintah. Jangka waktunya hanya
lima tahun dan pemerintah memberi syarat agar dalam waktu tersebut para
peneliti Singapura sudah mampu menyerap (know how) ilmu. Cara itu sebenarnya bisa diterapkan di
Indonesia asalkan pemerintah punya keinginan. Dengan demikian, Indonesia
akan menjual barang produksi sendiri, bukan menjual barang bangsa lain,
alias menjadi agen penjualan.
Harga
Diri Bangsa
Menjadi agen penjualan bangsa lain memang
tidak salah dan bisa dianggap sebagai proses pembelajaran, bagaimana cara
memasarkan agar barang laku dijual. Sebagai proses pembelajaran tentu
waktunya terbatas. Kalau terus-menerus menjadi agen penjualan milik bangsa
lain, pasti harga diri sebagai suatu bangsa akan jatuh karena menjadi
pesuruh saja.
Kita sebagai bangsa memerlukan pimpinan
yang mampu meningkatkan harga diri bangsa. Jangan membiarkan bangsa ini
menjadi pesuruh bangsa lain untuk menjualkan barangnya. Kalau Korea bisa,
mengapa Indonesia tidak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar