Ketika kawannya, Sultan Muhammad Ibnu Malik, menjadi penguasa dinasti
Saljuk, seorang ulama asketik, Imam Al-Ghazali, mengirimkan ucapan selamat
dalam bentuk risalah berisi sejumlah petuah sekaligus harapan agar
kekuasaan yang telah ada di genggaman karibnya itu mendatangkan berkah dan
menjadi saluran yang mewariskan faedah bagi semua.
Al-Ghazali merasa mumpung kekuasaan itu baru saja berada di pangkuan,
kecendekiaannya merasa terpanggil untuk turun gunung, lekas mengingatkan
bahaya kekuasaan apabila tidak dikontrol dengan nasihat.
Petuah itu ditulis dalam sebuah kitab terkenal dan sampai kepada kita
hari ini: At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk ”Senarai Mutiara Nasihat
untuk Para Penguasa”. Ada baiknya juga di tahun 2013 menjelang Pemilu 2014
buku ini menjadi bahan renungan bagi politikus. Toh, pada akhirnya karakter
kekuasaan itu dari dulu sampai hari ini tidak jauh berbeda. Kekuasaan
selalu cenderung korup kecuali sejak awal pemegang kekuasaan itu dengan
ikhlas bersedia menjaga kebeningan hati dan menyimak setiap nasihat
kebaikan dari mana pun datangnya.
Nasihat Al-Ghazali laiknya zaman skolastik, tentu berpusat pada
pusaran nilai-nilai religiusitas dan pedoman etik moralitas yang
diyakininya dan saat itu semakin lamat terdengar, bahkan nyaris absen dari
ruang publik. Nasihat yang dijangkarkan pada pentingnya kesadaran metafisik
sebagai haluan utama menata kekuasaan yang sudah semakin kehilangan nalar.
Nasihat yang disampaikannya betul-betul tanpa pamrih, nyaris di
belakangnya tak ada motif meraih kuasa seperti yang dilakukan Sengkuni
dalam dunia pewayangan. Sejak awal, seperti dapat juga dibaca dalam kitab
Al-Ihya, dia sudah meneguhkan simpulan bahwa kerusakan penguasa itu
sebermula ketika bersekongkol dengan ulama dan partai berjubahkan dakwah
yang kerjanya membajak ayat-ayat Tuhan, memperjualbelikan fatwa dan
kharismanya.
Ketika terjadi persekongkolan jahat antara kuasa dan jaringan
simbolis keagamaan yang ditafsirkan secara salah kaprah, mesin kekuasaan
akan mewajahkan raut mengerikan.
Karena itu, menjadi sangat dapat dipahami bahwa hal pertama yang
diterakan Al-Ghazali dalam risalahnya itu adalah keniscayaan menancapkan
rasaning daif dalam diri penguasa. Bahwa kursi yang ada di tangan kawannya
harus dijadikan sarana untuk berkhidmat kepada Yang Mahakuasa sebagai
pemilik absolut seluruh kekuasaan dengan cara menjadi pelayan makhluk
Tuhan.
Bahwa kekuasaan yang kita genggam hanyalah fragmen-fragmen kecil
amanat dari kuasa Tuhan, dari bayangan kodrat dan iradat-Nya. Karena
amanat, maka imperatif moral susulannya adalah bagaimana kekuasaan itu
kemudian dikelola dengan saksama. Amanat menjadi sebuah panggilan dari
kedalaman iman karena hanya pemimpin amanah yang dapat menjadi garansi
terdistribusikannya rasa aman kepada seluruh warganya tanpa pandang bulu.
Penguasa harus bisa mengerangkeng watak tiranik, hubbul istila’; bisa
meredam keinginan primitif hegemonik, hubbul isti’la’'; nafsu untuk selalu
diprioritaskan dalam hal ihwal, takhshish; dan menghindari kecenderungan
menganggap diri yang paling benar, hubbul istibdad.
Dalam pasal selanjutnya, Al-Ghazali mengaitkan kekuasaan dengan
kesadaran-kesadaran eskatologis. Bahwa kekuasaan itu bukanlah cek kosong,
tetapi seluruhnya akan dimintai pertanggungjawaban. Justru
pertanggungjawaban yang hakiki dan tidak mungkin dimanipulasi adalah ketika
tubuh terpisah dari raga, saat menggetarkan berhadap-hadapan dengan pemilik
sah daulat kekuasaan hakiki.
Terakhir, Al-Ghazali menyuntikkan ”politik profetis” sebagai landasan
kekuasaan agar kuasa ini menemukan ”kebenaran”. Bahwa ”jalan kenabian”
merupakan teladan yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ritual, tetapi
juga tarekat sosial yang dapat mengantarkan kehidupan menemukan harkatnya
yang luhur, ruang sosial tidak kemudian kehilangan adab.
Nasihat Machiavelli
Berbeda dengan Al-Ghazali adalah Niccolo Machiavelli. Ia se- orang
politikus ulung yang telah malang melintang di panggung politik praktis.
Pernah bertemu dengan Raja Perancis Louis XII, Paus Julius II, Kaisar
Romawi Suci Maximilian (1459-1519), Raja Ferdinand (1452-1516) dari
Spanyol, hingga para penguasa Turki. Adalah Cesare Borgia (1476-1507),
putra Paus Alexander VI, yang paling dikagumi Machiavelli.
Halnya Al-Ghazali, dia juga memberikan nasihat kepada penguasa
Firenze, Lorenzo de’ Medici, yang sedang berkuasa saat itu dalam surat
panjang yang kemudian menjadi kitab terkenal, Il Principe ”Sang Penguasa”.
Nasihat Machiavelli berbeda dengan Al-Ghazali. Justru sebaliknya,
Niccolo Machiavelli menasihati sang penguasa agar menjauhi moral seandainya
kekuasaannya itu ingin abadi. Karena itu, ia kerap dituduh sebagai biang
penyebar asas tujuan menghalalkan cara, the end justifies the means.
Berangkat dari pengalamannya sebagai praktisi politik, Machiavelli
menyimpulkan bahwa agar kekuasaan tersebut abadi, haluan moral harus
disingkirkan. Bagi dia, penguasa tidak ada urusan dengan aspirasi rakyat
sehingga ditakuti rakyat jauh lebih penting daripada sekadar dicintai,
apalagi kecintaan itu hanya sekadar keterpesonaan pada politik pencitraan
yang serba artifisial.
Di samping itu, menurut Machiavelli, untuk melangsungkan
pemerintahan yang efektif, sang penguasa harus menciptakan sebanyak mungkin
”laskar berani mati” yang memiliki kesediaan membela kekuasaannya, cakap
mendirikan ”ormas-ormas” yang dapat pasang badan untuk menghalau setiap
serangan lawan, baik fisik maupun opini.
Atas nama mempertahankan kekuasaan, seluruh muslihat dibenarkan; yang
dikedepankan bukan logika, melainkan retorika; bukan kecakapan menyusun
argumen yang koheren dan sistematis, melainkan kecerdikan mencuci otak
warga agar kemudian mendapatkan kepatuhan mutlak.
Kekuasaan yang ”benar”
harus melampaui hukum, bukan bersujud pada pasal-pasal undang-undang.
Hari-hari seperti sekarang, ketika setiap partai sedang menyusun
calon anggota badan legislatif, tentu saya sebagai warga berharap semoga
penguasa dan kerumunan calon penguasa dapat menjadi politikus otentik dan
merambah asketisme politik, di antaranya kesediaan menyimak nilai-nilai
inklusif nasihat Al-Ghazali sehingga kekuasaan itu mendatangkan keberkahan
bagi semua.
Kita tetap berharap, walaupun tetap dengan rasa cemas, seluruh janji
yang disampaikan dapat direalisasikan. Kata seorang arif, ”Tidak ada yang
lebih mulia kecuali ketika janji itu menjadi fakta. Dan tidak ada yang
lebih hina kecuali janji-janji yang telah disampaikan terus dipercakapkan
warga karena tidak pernah direalisasikan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar