Senin, 02 April 2018

Matinya Asas-asas Perpajakan

Matinya Asas-asas Perpajakan
Adrianto Dwi Nugroho  ;   Dosen Hukum Pajak FH-UGM;
Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
                                                         KOMPAS, 02 April 2018



                                                           
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2018 (PMK 15/2018) pada tanggal 13 Februari 2018. Peraturan itu mengatur delapan cara menghitung peredaran bruto yang dapat dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam hal Wajib Pajak (WP) tidak memenuhi kewajiban pembukuan atau pencatatannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 28 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP); dan kewajiban untuk memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan atau pencatatan itu pada saat pemeriksaan pajak, sesuai ketentuan pada Pasal 29 UUKUP.

Walaupun perihal kewajiban penghitungan pajak, pembukuan, dan pemeriksaan memiliki ranah pengaturan pada UUKUP, PMK 15/2018 mendasarkan penerbitannya pada Pasal 14 Ayat (5) UU tentang Pajak Penghasilan (UUPPh). Secara kontekstual, jumlah peredaran bruto seorang WP yang dihitung berdasarkan PMK 15/2018 akan menjadi dasar penghitungan penghasilan neto berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, yang selanjutnya menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang pada WP tersebut.

Ketidakpastian

Tumpang tindih pengaturan itu telah menimbulkan ketakpastian bagi WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. WP tak dapat lagi memercayai sistem self assessment dalam menghitung PPh yang terutang padanya, padahal kepercayaan terhadap WP untuk dapat menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak terutang jadi salah satu ciri dan corak sistem pemungutan pajak pasca reformasi perpajakan tahun 1983, yang menempatkan WP sebagai subyek yang harus dibina kepatuhannya (Penjelasan Umum UUKUP).

Alih-alih bertujuan untuk memelihara kepercayaan terhadap WP dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP, penerbitan PMK 15/2018 justru memiliki tujuan pragmatis untuk memberikan diskresi bagi pemeriksa pajak dalam menghitung PPh yang terutang pada WP dengan metode-metode yang tak mencerminkan pemenuhan asas-asas pemungutan pajak. Sekurang-kurangnya terdapat dua asas pemungutan pajak yang tidak terpenuhi dalam PMK 15/2018, yaitu asas kepastian (certainty) dan asas proporsionalitas (proportionality).

Pertama, metode penghitungan peredaran bruto yang diatur pada PMK 15/2018 melanggar asas kepastian (certainty) dalam pemungutan pajak. Asas itu antara lain menghendaki adanya rumusan normatif yang jelas mengenai perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang menimbulkan utang pajak, serta cara-cara untuk melunasi utang pajak tersebut. A contrario, asas ini tidak menghendaki adanya penghitungan pajak secara sewenang-wenang (arbitrary).

Secara substantif, metode penghitungan peredaran bruto yang diatur pada PMK 15/2018 merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah dalam menghitung besarnya PPh yang terutang pada WP. Peredaran bruto dari usaha yang dilakukan oleh WP tidak lagi didasarkan pada fakta perolehan penghasilan WP, melainkan pada perkiraan penghasilan (deemed income) yang dihitung secara konstruktif berdasarkan data atau informasi yang diperoleh oleh pemeriksa pajak.

Penghitungan peredaran bruto berdasarkan satuan atau volume, misalnya, dapat dilakukan oleh pemeriksa pajak berdasarkan informasi yang diperoleh secara lisan dari WP mengenai satuan atau volume usaha yang dihasilkan oleh WP dalam suatu tahun pajak. Apabila keterangan lisan itu didokumentasikan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh WP, maka keterangan lisan ini akan menjadi bukti formal yang kuat di persidangan di Pengadilan Pajak.

Kedua, PMK 15/2018 juga tak sejalan dengan asas proporsionalitas (proportionality). Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara tujuan kebijakan dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan (Vanistendael, 1996). Diskresi yang diberikan kepada pemeriksa pajak untuk menghitung peredaran bruto dari usaha yang dijalankan WP bukan solusi yang tepat dari permasalahan tak terpenuhinya kewajiban pembukuan, pencatatan dan peminjaman dokumen dalam rangka pemeriksaan, oleh WP.

Kesewenang-wenangan

Seharusnya, kegagalan WP untuk memenuhi kewajiban-kewajiban itu diganjar dengan suatu hukuman, misalnya berupa denda. Selain tak memiliki keterkaitan langsung dengan upaya membina dan mengarahkan WP untuk menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan yang terdapat pada UUKUP, diskresi yang diatur pada PMK 15/2018 juga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power)dari otoritas pajak, misalnya lewat ancaman dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana pajak.

Akhirnya, kepercayaan terhadap WP sepatutnya tidak hanya ditunjukkan secara simbolis seperti penghargaan terhadap WP yang menjadi pembayar pajak terbesar dalam satu tahun pajak, melainkan terwujud dalam setiap norma yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, baik yang bersifat substantif maupun prosedural, harus senantiasa memanifestasikan asas-asas perpajakan, sehingga mampu memelihara ekspektasi masyarakat terhadap hukum pajak.

Sejalan dengan hal itu, penghitungan pajak terutang yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan pajak sebaiknya dilaksanakan sesuai due process yang berlaku, mulai dari penghimpunan informasi hingga pembuatan laporan akhir; dan bukan dengan metode-metode yang justru kontraproduktif dengan upaya memenuhi target penerimaan pajak. Pelaksanaan PMK 15/2018 ini dapat menimbulkan resistensi dari WP dan meningkatkan jumlah sengketa pajak di tingkat keberatan dan banding. ●

1 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp

    BalasHapus