Matinya
Asas-asas Perpajakan
Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen Hukum Pajak FH-UGM;
Mahasiswa Doktoral di University of
Helsinki, Finlandia
|
KOMPAS,
02 April
2018
Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2018 (PMK 15/2018) pada tanggal 13
Februari 2018. Peraturan itu mengatur delapan cara menghitung peredaran bruto
yang dapat dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam hal Wajib Pajak (WP) tidak
memenuhi kewajiban pembukuan atau pencatatannya sesuai dengan ketentuan yang
terdapat pada Pasal 28 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UUKUP); dan kewajiban untuk memperlihatkan atau meminjamkan
pembukuan atau pencatatan itu pada saat pemeriksaan pajak, sesuai ketentuan
pada Pasal 29 UUKUP.
Walaupun perihal kewajiban
penghitungan pajak, pembukuan, dan pemeriksaan memiliki ranah pengaturan pada
UUKUP, PMK 15/2018 mendasarkan penerbitannya pada Pasal 14 Ayat (5) UU
tentang Pajak Penghasilan (UUPPh). Secara kontekstual, jumlah peredaran bruto
seorang WP yang dihitung berdasarkan PMK 15/2018 akan menjadi dasar
penghitungan penghasilan neto berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, yang selanjutnya menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan (PPh)
yang terutang pada WP tersebut.
Ketidakpastian
Tumpang tindih pengaturan
itu telah menimbulkan ketakpastian bagi WP dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. WP tak dapat lagi memercayai sistem self assessment dalam
menghitung PPh yang terutang padanya, padahal kepercayaan terhadap WP untuk
dapat menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak terutang jadi
salah satu ciri dan corak sistem pemungutan pajak pasca reformasi perpajakan
tahun 1983, yang menempatkan WP sebagai subyek yang harus dibina kepatuhannya
(Penjelasan Umum UUKUP).
Alih-alih bertujuan untuk
memelihara kepercayaan terhadap WP dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP,
penerbitan PMK 15/2018 justru memiliki tujuan pragmatis untuk memberikan
diskresi bagi pemeriksa pajak dalam menghitung PPh yang terutang pada WP
dengan metode-metode yang tak mencerminkan pemenuhan asas-asas pemungutan
pajak. Sekurang-kurangnya terdapat dua asas pemungutan pajak yang tidak
terpenuhi dalam PMK 15/2018, yaitu asas kepastian (certainty) dan asas proporsionalitas
(proportionality).
Pertama, metode
penghitungan peredaran bruto yang diatur pada PMK 15/2018 melanggar asas
kepastian (certainty) dalam pemungutan pajak. Asas itu antara lain
menghendaki adanya rumusan normatif yang jelas mengenai perbuatan, peristiwa,
atau keadaan yang menimbulkan utang pajak, serta cara-cara untuk melunasi
utang pajak tersebut. A contrario, asas ini tidak menghendaki adanya
penghitungan pajak secara sewenang-wenang (arbitrary).
Secara substantif, metode
penghitungan peredaran bruto yang diatur pada PMK 15/2018 merupakan bentuk
kesewenang-wenangan pemerintah dalam menghitung besarnya PPh yang terutang
pada WP. Peredaran bruto dari usaha yang dilakukan oleh WP tidak lagi
didasarkan pada fakta perolehan penghasilan WP, melainkan pada perkiraan
penghasilan (deemed income) yang dihitung secara konstruktif berdasarkan data
atau informasi yang diperoleh oleh pemeriksa pajak.
Penghitungan peredaran
bruto berdasarkan satuan atau volume, misalnya, dapat dilakukan oleh
pemeriksa pajak berdasarkan informasi yang diperoleh secara lisan dari WP
mengenai satuan atau volume usaha yang dihasilkan oleh WP dalam suatu tahun
pajak. Apabila keterangan lisan itu didokumentasikan dalam bentuk pernyataan
tertulis yang ditandatangani oleh WP, maka keterangan lisan ini akan menjadi
bukti formal yang kuat di persidangan di Pengadilan Pajak.
Kedua, PMK 15/2018 juga
tak sejalan dengan asas proporsionalitas (proportionality). Asas ini
menghendaki adanya keseimbangan antara tujuan kebijakan dan cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan (Vanistendael, 1996). Diskresi yang diberikan kepada
pemeriksa pajak untuk menghitung peredaran bruto dari usaha yang dijalankan
WP bukan solusi yang tepat dari permasalahan tak terpenuhinya kewajiban
pembukuan, pencatatan dan peminjaman dokumen dalam rangka pemeriksaan, oleh
WP.
Kesewenang-wenangan
Seharusnya, kegagalan WP
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban itu diganjar dengan suatu hukuman,
misalnya berupa denda. Selain tak memiliki keterkaitan langsung dengan upaya
membina dan mengarahkan WP untuk menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai
ketentuan yang terdapat pada UUKUP, diskresi yang diatur pada PMK 15/2018
juga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power)dari otoritas
pajak, misalnya lewat ancaman dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana pajak.
Akhirnya, kepercayaan
terhadap WP sepatutnya tidak hanya ditunjukkan secara simbolis seperti
penghargaan terhadap WP yang menjadi pembayar pajak terbesar dalam satu tahun
pajak, melainkan terwujud dalam setiap norma yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan, baik yang bersifat substantif maupun prosedural, harus
senantiasa memanifestasikan asas-asas perpajakan, sehingga mampu memelihara
ekspektasi masyarakat terhadap hukum pajak.
Sejalan dengan hal itu,
penghitungan pajak terutang yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan pajak
sebaiknya dilaksanakan sesuai due process yang berlaku, mulai dari
penghimpunan informasi hingga pembuatan laporan akhir; dan bukan dengan
metode-metode yang justru kontraproduktif dengan upaya memenuhi target
penerimaan pajak. Pelaksanaan PMK 15/2018 ini dapat menimbulkan resistensi
dari WP dan meningkatkan jumlah sengketa pajak di tingkat keberatan dan
banding. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus