Moratorium
Hukuman Mati
Usman Hamid ; Direktur Amnesty International Indonesia;
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera
|
KOMPAS,
12 April
2018
Sulit membayangkan Indonesia akan
berhasil menyelamatkan 188 WNI yang kini masih terancam vonis mati di luar
negeri jika Indonesia masih menerapkan hukuman yang disebut Albert Camus
”pembunuhan paling terencana”.
Langkah awal yang bisa dilakukan
Indonesia adalah moratorium hukuman mati, yakni tidak mempraktikkan hukuman
mati di negerinya sendiri. Dengan moratorium sebagai kebijakan dalam negeri,
dasar kebijakan luar negeri Indonesia lebih kokoh ketika meminta negara lain
tidak mengeksekusi mati WNI. Selain terhindar dari tuduhan menerapkan standar
ganda, Indonesia akan mendapat dukungan meraih tujuan diplomasi anti-hukuman
mati tersebut.
Bagaimana memulainya? Moratorium
mesti didasarkan pada kesadaran para pemimpin bahwa hukuman mati adalah
hukuman yang tidak berperikemanusiaan, tidak adil, tidak beradab, dan kini
juga mengancam jiwa warganya di negeri lain.
Moratorium bukan berarti menghapus
hukuman mati dari peraturan perundang-undangan. Ia lebih bersifat menunda
penerapan aturan dalam praktik. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah
memulainya pada 17 November 2015 ketika ”meninjau ulang” hukuman mati atas
warga Nias bernama Yusman Telaumbanua melalui pendapat ahli radiologi
forensik.
Kepolisian menilai Yusman berusia
19 tahun ketika pembunuhan itu terjadi, tetapi pengacara dari Kontras
menemukan fakta bahwa dia masih berusia 16 tahun kala itu. Ia dibebaskan dari
tahanan pada 17 Agustus 2017.
Jika Menkumham bisa memulai,
petinggi pemerintah lain pun demikian. Jaksa Agung dapat memulai dengan tidak
memasukkan tuntutan hukuman mati. Hakim bisa dengan tak memenuhi tuntutan
hukuman mati. Jika keduanya bersikeras, presiden dan wakil presiden dapat
menimbang amnesti, abolisi, atau grasi sesuai UUD 1945.
Moratorium merupakan pilihan
realistis yang Pemerintah Indonesia bisa lakukan saat ini karena hukuman mati
masih menjadi metode penghukuman populer. Penghapusan langsung hukuman mati
mungkin bisa dinilai kontraproduktif.
Moratorium adalah pintu masuk bagi
penghapusan hukuman mati karena presiden dan wakil presiden dapat mendayagunakan
kepemimpinannya dan meyakinkan bahwa moratorium berdasarkan kepemimpinan
presidensial adalah pilihan realistis.
Sejarah penghapusan hukuman mati
lebih sering datang dari kesadaran dan keberanian pemimpin suatu negara
menyadari kekeliruan masa lalu yang memberlakukan hukuman mati bukan untuk
keadilan, melainkan demi melanggengkan kekuasaan.
Sejarah
hukuman mati
Secara historis, baik kekuasaan
prakolonial maupun kolonial menerapkan hukuman mati untuk melanggengkan
kekuasaan. Mereka menghukum orang-orang yang dianggap ”melawan penguasa
kolonial” atau sekadar ”salah menafsirkan perintah raja”.
Di Aceh, dukungan terhadap hukuman
mati tampaknya merujuk fakta historis kerajaan-kerajaan Islam, seperti
Kerajaan Sultan Iskandar Muda yang mempraktikkan hukuman mati jauh sebelum
kolonialis Belanda melakukan hal yang sama.
Praktik hukuman mati terus
berlanjut di zaman pasca-kemerdekaan, termasuk era Orde Baru, dan diterapkan
juga kepada orang-orang yang dianggap ”anti-penguasa” atau demi menjaga
”stabilitas nasional”.
Jadi, jelas tujuan hukuman mati
adalah menciptakan ketakutan agar orang-orang tunduk pada kekuasaan. Dalam
zaman apa pun, prakolonial, kolonial, hingga pascakolonial, metode eksekusi
mati dilakukan dengan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, tidak adil,
dan merendahkan martabat hidup manusia: mulai dari tembak mati, diadu dengan
harimau, hingga digantung di hadapan massa.
Di era Reformasi kebijakan
pro-hukuman mati digencarkan dengan titik berat ”perang melawan narkoba”.
Secara filosofis terjadi perubahan tujuan, bukan untuk melanggengkan
kekuasaan, melainkan menyelamatkan generasi korban narkoba. Namun, tujuannya
tak banyak berbeda, yaitu untuk menciptakan ”ketakutan” atau ”efek jera” bagi
pengedar narkoba.
Ini adalah kampanye salah alamat
karena kenyataannya tidak menimbulkan efek ketakutan dan efek jera. Biarkan
angka yang berbicara. Kasus narkoba meningkat dari tahun ke tahun. Padahal,
Juli 2016, Kejaksaan Agung mengeksekusi empat terpidana mati. Semuanya
terkait kasus narkoba.
Lima bulan berselang, pada
Desember, Badan Narkotika Nasional mengumumkan bahwa jumlah kasus narkoba
meningkat dari total 638 kasus pada 2015 menjadi 807 pada 2016. Padahal,
pemerintah mengeksekusi total 14 orang pada 2015.
Tahun 2016, Kejaksaan Agung
mengeksekusi empat terpidana mati dan keputusan tersebut jelas gagal
memberikan efek jera. Pada tahun berikutnya, 2017, angka kasus narkoba malah
naik menjadi 46.573 dari total 807 pada 2016.
Artinya, terjadi peningkatan 57
kali lipat kasus narkoba tahun 2017. Di mana efek jeranya? Tidak ada. Hal ini
yang harus dilihat semua pemimpin negara dalam mempertimbangkan langkah
moratorium.
Selain kegagalan ”kampanye efek
jera”, ada tren global penurunan hukuman mati pada tahun 2017. Hal ini juga
membuka peluang bagi Indonesia untuk mulai moratorium 2018 ini.
Laporan tahunan Amnesty
International ”Death Sentences and Executions in 2017” menunjukkan bahwa
tahun 2017 dunia turun menerapkan hukuman mati.
Amnesty International mencatat
penurunan eksekusi mati global dari 1.032 pada 2016 menjadi 993 pada 2017.
Jumlah hukuman mati yang dijatuhkan untuk terpidana juga turun pada 2017,
dari 3.117 pada 2016 menjadi 2.591.
Indonesia juga menjadi bagian dari
tren global tersebut yang ditandai dengan menurunnya jumlah vonis mati di
Indonesia dari 60 pada 2016 menjadi 47 pada 2017. Per Desember 2017, ada
total 262 orang yang telah divonis mati di Indonesia.
Indonesia menambah perkembangan
global yang positif tersebut dengan tidak mengeksekusi mati dan menurunkan
jumlah hukuman mati yang dijatuhkan bagi terpidana 2017.
Meski kontribusi ini terbilang
belum signifikan, tetap harus diapresiasi. Indonesia dapat melakukan sesuatu
yang lebih nyata dan bukan dengan menunda eksekusi mati. Jaksa Agung HM
Prasetyo mengatakan, Kejaksaan Agung hanya menunggu ”waktu yang tepat” untuk
mengeksekusi mati gelombang keempat.
Langkah
tegas
Pemimpin Indonesia harus berani
mengambil langkah tegas meninjau ulang efektivitas pelaksanaan hukuman mati.
Indonesia dapat mengikuti langkah Guinea dan Mongolia yang menghapus hukuman
mati untuk seluruh kejahatan pada 2017.
Paling tidak Indonesia bisa
mengambil langkah moratorium hukuman mati tahun 2018. Dalam moratorium
tersebut, Indonesia bisa melakukan refleksi terhadap efektivitas hukuman mati
dan relasinya terhadap keberulangan kejahatan di Indonesia, khususnya kasus
narkoba.
Selain kegagalan kampanye efek
jera dan sudah bergesernya tujuan filosofis hukuman mati dari zaman
prakolonial, kolonial, dan pra-kemerdekaan serta tren global mutakhir yang
menunjukkan penurunan penggunaan hukuman mati, otoritas Indonesia juga harus
mempertimbangkan sistem peradilan yang masih banyak bermasalah.
Kasus bebasnya Yusman Telaumbanua
dari hukuman mati lewat proses peninjauan kembali (PK) pada Agustus 2017
merupakan pembelajaran yang berharga. Polisi menyiksa Yusman untuk mengakui
pembunuhan yang tidak dilakukannya. Polisi juga merekayasa umur Yusman yang
masih di bawah umur, 16 tahun saat pembunuhan tersebut terjadi, menjadi 19
tahun.
Moratorium bisa membantu diplomasi
internasional Indonesia untuk membebaskan 188 WNI yang terjerat vonis mati di
luar negeri.
Bagaimana mungkin Pemerintah
Indonesia bisa meyakinkan negara lain untuk mengampuni warga negaranya jika
pemimpinnya menolak permohonan grasi terpidana mati dan masih mempraktikkan
hukuman tersebut di dalam negeri sendiri?
Jadi, sangat jelas bahwa
moratorium adalah solusi jangka pendek yang bisa dilakukan Indonesia untuk
menuju langkah yang lebih besar sesuai perkembangan zaman, yakni menghapuskan
hukuman mati untuk semua kejahatan. ●
|
Prediksi Bola RB Leipzig vs Paris SG 19 Agustus 2020 yang akan diselenggarakan langsung tanpa penonton di Estadio Da Luz.
BalasHapusDalam pertemuan kedua tim di Liga Champion kali ini akan di Jadwal Bola Malam Ini pada hari Rabu akan sangat seru untuk melihat siaran Live Gratisan hanya di Streaming Bola Gratis