Cakupan
Kesehatan Semesta
Timboel Siregar ; Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI
|
KOMPAS,
12 April
2018
Setiap tanggal 7 April diperingati
sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang
dimulai sejak 1950 ini diselenggarakan untuk memperingati lahirnya Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), dan sebagai kesempatan menarik perhatian dunia untuk
menyadari masalah-masalah besar kesehatan global. WHO didirikan dengan
prinsip semua orang harus dapat mewujudkan hak mereka untuk tingkat kesehatan
setinggi mungkin.
Tema Hari Kesehatan Sedunia selalu
berbeda-beda. Jika 2015 tentang keamanan pangan, 2016 mengampanyekan
diabetes, dan 2017 fokus tentang depresi, tahun ini tema yang diangkat
“Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC): Semua Orang, Di
Mana Saja”.
Tiga dimensi
Dengan tema ini WHO meyakini bahwa
negara-negara yang berinvestasi di UHC telah membuat investasi yang baik di
sumber daya manusia mereka. UHC telah muncul sebagai strategi utama untuk
menciptakan kemajuan menuju tujuan pembangunan kesehatan dan kemajuan yang
lebih luas lainnya. Akses ke pelayanan kesehatan yang esensial dan
perlindungan pembiayaan kesehatan tak hanya meningkatkan kualitas kesehatan
dan angka harapan hidup manusia, tetapi juga melindungi negara dari epidemi,
mengurangi kemiskinan dan risiko kelaparan, menciptakan pekerjaan, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesetaraan jender.
Dalam konsepnya, WHO merumuskan
tiga dimensi dalam pencapaian UHC: (1) seberapa besar persentase penduduk
yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin; dan (3) seberapa
besar biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Dengan tema ini WHO
bertekad untuk menginspirasi, memotivasi dan memandu para pemangku
kepentingan UHC di seluruh negara anggota untuk membuat komitmen terhadap
UHC. Berdasarkan pengalaman, UHC tercapai ketika ada kemauan politik yang
kuat untuk mendukungnya.
Sebagai salah satu anggota WHO, tentu
Pemerintah Indonesia terus berusaha mencapai ketiga dimensi tersebut sehingga
seluruh rakyat Indonesia mendapat akses kesehatan yang lebih baik. Dalam
dokumen “Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012–2019”, pemerintah
berkonsentrasi untuk mencapai UHC dimensi pertama pada 2019, yaitu semua
penduduk terjamin sehingga setiap penduduk yang sakit tidak jadi miskin
karena beban biaya yang tinggi.
Terkait dimensi kedua, program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) relatif telah menjamin seluruh jenis pelayanan
kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No 19/2016 tentang
Jaminan Kesehatan, yaitu pelayanan promotif dan preventif (Pasal 21),
pelayanan kesehatan tingkat pertama (Pasal 22 ayat 1a), pelayanan kesehatan
rujukan tingkat lanjutan (Pasal 22 ayat 1b), serta manfaat akomodasi rawat
inap di RS (Pasal 23).
Hingga tahun keempat, BPJS
Kesehatan masih didera defisit pembiayaan. Jumlah iuran yang diperoleh tidak
mampu mengimbangi beban pembiayaan yang terjadi. Dari proses perencanaannya
saja pengelolaan JKN di 2017 sudah ditetapkan mengalami defisit. Pos
pendapatan sampai 31 Desember 2017 ditargetkan Rp 86,04 triliun, sementara
pos pembiayaan ditargetkan Rp 94,94 triliun.
Iuran yang belum sesuai hitungan
aktuaria dan ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan kendali mutu dan kendali
biaya menyebabkan defisit terjadi tiap tahun. Persoalan defisit pembiayaan
berdampak langsung pada pelayanan kesehatan bagi peserta dan pembiayaan
langsung dari peserta.
Butuh kemauan politik
Pencapaian UHC kepesertaan pada
2019 tidak bisa dilepaskan dari kinerja Direksi BPJS Kesehatan. Direksi yang
menetapkan target pencapaian kepesertaan di akhir 2017 lalu sebanyak
201.714.911 orang ternyata baru mampu mencapai jumlah peserta sebanyak
193.535.881 orang per 1 Maret 2018 (https://bpjs-kesehatan.go.id). Kinerja
Direksi turut menentukan pencapaian UHC kepesertaan.
Masih adanya pemerintah daerah
(pemda) yang belum mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)-nya
ke program JKN, pemda yang keluar dari program JKN, dan adanya pemda yang
mengelola sendiri jaminan kesehatannya dengan hanya mendaftarkan sebagian
kecil rakyat miskinnya ke program JKN, merupakan salah satu penghalang
pencapaian UHC. Masih banyaknya Ppkerja penerima upah (PPU), khususnya
pekerja alih daya yang belum didaftarkan, dan PPU dari usaha kecil-mikro yang
belum terdaftar di program JKN karena upahnya di bawah ketentuan upah minimum
juga melengkapi kesulitan pencapain UHC kepesertaan di tahun 2019.
Oleh karena itu, perlu kemauan
politik kuat dari pemerintah untuk mendukung UHC kepesertaan. Pemerintah
seharusnya menyupervisi dan mengawasi langsung kinerja direksi dengan
memberikan penilaian atas kinerja mereka. Kementerian Dalam Negeri harus
memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tak mengintegrasikan Jamkesda-nya
ke BPJS Kesehatan, sesuai UU No 23/2014. BPJS Kesehatan, pengawas
ketenagakerjaan dan kejaksaan lebih meningkatkan kinerja penegakan hukumnya
terhadap badan usaha yang belum mengikutsertakan pekerjanya ke BPJS
Kesehatan.
Saya mendorong pemerintah
mengakomodasi kepesertaan PPU swasta yang memiliki upah di bawah ketentuan
upah minimum dengan mendapatkan pelayanan kesehatan di kelas III, dalam
revisi Perpres No 19/2016. Dengan ketentuan ini maka PPU di sektor usaha
kecil-mikro akan mendongkrak jumlah kepesertaan PPU swasta. Walaupun program
JKN relatif telah menjamin seluruh jenis pelayanan kesehatan, tetapi dalam
implementasinya masih banyak permasalahan di rumah sakit (RS).
Kebutuhan
ruang perawatan khusus seperti PICU, NICU, ICU, dan ruang isolasi kerap kali
menyebabkan peserta JKN mengalami masalah.
Dari 2.792 RS, yang sudah bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.249 RS (per 30 November 2017). Untuk
menambah jumlah ruang perawatan khusus tersebut maka seharusnya pemerintah
mewajibkan seluruh RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, khususnya untuk
memenuhi amanat Pasal 29 ayat (1e) UU No 44/2009 tentang RS.
Kini hampir
seluruh rakyat miskin sudah menjadi peserta JKN, dan RS wajib menyediakan
sarana dan pelayanan bagi masyarakat miskin. Irisan kedua fakta ini yang
harus diatur dalam revisi Perpres No 19/2016.
Untuk mengatasi defisit
pembiayaan, dibutuhkan juga kemauan baik pemerintah untuk melaksanakan isi
Pasal 16I Perpres No 111/2013, yaitu menaikkan iuran peserta program JKN.
Bila pemerintah khawatir terjadi kegaduhan dengan kenaikan iuran, laksanakan
saja Pasal 16I secara terbatas, yaitu menaikkan iuran PBI (penerima bantuan
iuran) menjadi Rp 27.000 per orang per bulan dan menaikkan batas atas upah
PPU menjadi Rp 12 juta serta menaikkan batas upah kelas I dan kelas II bagi
PPU.
Kemauan politik yang kuat dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin
keberlangsungan program JKN dan perbaikan pelayanan kesehatan. ●
|
poker idn uang asli
BalasHapusagen poker idn
situs idn poker uang asli
agen poker idn
situs idn poker terpercaya
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus