Larangan
Senjata Kimia
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 18 April 2018
SENJATA kimia menjadi
alasan Trio Koalisi serangan satu malam ke Suriah––Amerika Serikat, Inggris,
dan Prancis, menyerang Suriah. Penggunaan senjata kimia dianggap tidak
berperikemanusiaan karena menyebabkan penderitaan yang amat sangat
dibandingkan dengan penggunaan senjata konvensional.
Senjata kimia juga
menimbulkan dampak kematian yang tak terukur karena racun yang dilepaskan
menyasar ke semua orang terutama warga sipil yang tidak bersalah. Meski
demikian, kita juga perlu bertanya sejauh mana larangan ini efektif
dijalankan dan apakah larangan itu berlaku hanya kepada negara-negara
tertentu dan tidak kepada yang lain?
Larangan penggunaan
senjata kimia bukanlah alasan yang baru. Presiden Barack Obama yang
memerintah Amerika Serikat (AS) sebelum Donald Trump pernah mengatakan pada
2012 bahwa ada garis batas atau red line, yang membatasi keterlibatan militer
AS turun ke lapangan di Suriah. Garis itu adalah ada atau tidaknya penggunaan
senjata kimia dalam perang di Suriah. Apabila pemerintah Suriah melanggar
batas itu, Obama akan menurunkan pasukan militernya.
Pemerintah Prancis di bawah
Emmanuel Macron juga menegaskan batas itu kepada Rusia ketika Vladimir Putin
berkunjung ke Paris pada 2017. Ia berkata langsung kepada media saat berdiri
bersama Putin bahwa setiap penggunaan senjata kimia akan menghasilkan
pembalasan dan balasan langsung, setidaknya di mana Prancis prihatin.
Pernyataan yang diucapkan langsung di depan Putin dapat dimaknai sebagai
tekanan terbuka kepada Rusia.
Inggris juga menyuarakan
hal yang sama ketika PM David Cameron berkuasa. Ia menegaskan akan berdiri
bersama AS dalam hal penolakan penggunaan senjata kimia. Apabila mereka
menemukan Suriah menggunakan senjata tersebut maka Suriah akan berhadapan
dengan konsekuensinya.
Sejarah
Pelarangan
Negara yang memproduksi
massal kimia yang mematikan sebagai senjata adalah negara-negara yang sudah
sangat maju teknologi dan pengetahuan tentang kimia. Memproduksi senjata
kimia tidak hanya mengoplos beberapa bahan kimia menjadi satu, tetapi juga
menghitung daya kerusakannya, efisiensi, dan efektivitas termasuk murah atau
mahalnya produksi senjata tersebut.
Negara-negara yang belum
maju ilmu kedokteran dan kimianya tentu tidak dapat memproduksi senjata
kimia. Oleh sebab itu, pembatasan senjata kimia dalam sejarah dilakukan
pertama kali bersama antara Inggris dan Jerman, 343 tahun yang lalu, atau
tepatnya pada 1675.
Pada masa itu, kedua
negara sama-sama menggunakan peluru beracun untuk saling membunuh. Pembatasan
itu tidak menghentikan penggunaan senjata kimia hingga negara-negara maju
pada masa itu harus mengadakan kesepakatan lagi untuk pelarangan senjata
kimia.
Beberapa kesepakatan
antara lain the Brussels Convention on
the Law and Customs of War (1874) dan The
Hague Convention (1899).
Ambisi untuk menjadi
pemenang dalam perang menyebabkan larangan itu tidak berarti lagi, terutama
dalam Perang Dunia I. Serangan senjata kimia dalam skala besar terjadi di
Belgia, 22 April 1915. Angkatan Darat Jerman melepaskan 168 ton gas klorin
sepanjang 6,5 km.
Penggunaan senjata terus
dilakukan hingga usai Perang Dunia II seperti ketika Spanyol dan Prancis
menggunakan bom mustard terhadap rakyat Maroko (1921–1927), Italia terhadap
rakyat Libya (1928) dan rakyat Etiopia (1935), dan Jepang terhadap rakyat
China (1938). Beberapa kejadian seperti ledakan fasilitas riset senjata kimia
Inggris di Porto Down, juga mengakibatkan racun tersebut menyebar dan
menimbulkan korban.
Uni Soviet juga
menggunakan kimia dalam perang di Afganistan, dan Amerika Serikat menggunakan
Agen Oranye yaitu bahan kimia herbisida dan defoliant dalam operasi Rainbow
Herbicides selama Perang Vietnam 1961–1971. Zat kimia ini walau tidak
ditujukan untuk membunuh, tetapi memiliki efek lingkungan yang merusak dan
menyebabkan masalah kesehatan utama bagi 4 juta orang yang terkena, di mana
akhirnya 1 juta menjadi cacat.
Beberapa kali penggunaan
senjata kimia juga terjadi dalam konflik seperti di Yaman Utara (1963),
Rhodesian Bush War (1970), Perang Irak-Iran, perang perbatasan
Kambodia-Thailand-Vietnam (1984–1985), Halabya Irak (1988), Angola (1985),
dan Suriah.
Penghancuran
Senjata Kimia
Mempertimbangkan dampak
merusak dari penggunaan senjata kimia, PBB mulai merancang konvensi
pelarangan pada 1992, yang kemudian disepakati pada 1993 dan berlaku efektif
pada 1997. Negara yang ikut menandatangani konvensi ini berjumlah 192 negara
pada 2016, termasuk Suriah yang mengikuti konvensi ini pada 2013 sebagai
bagian dari hasil kesepakatan Rusia dan AS.
Israel ikut
menandatangani, tetapi tidak meratifikasinya ke dalam hukum nasional sehingga
belum berjalan secara efektif; dan negara-negara yang tidak menandatangani
dan tidak meratifikasi adalah Korea Utara, Mesir, dan Sudan Selatan.
Organisasi Pemantau
Senjata Kimia (OPCW) menyatakan hampir 96% dari senjata kimia yang pernah
dideklarasikan telah dimusnahkan pada 2018. Delapan negara yang mengakui
memiliki senjata kimia (Albania, India, Irak, Libya, Rusia, Suriah, Amerika
Serikat, dan kelompok/negara lain) telah menyelesaikan target untuk
menghancurkan atau mengubah senjata kimia untuk tujuan yang lebih damai.
Suriah yang mengakui
memiliki senjata kimia pada Juli 2012, menandatangani konvensi pada 12
September 2013. OPCW segera melakukan penghancuran keseluruhan persediaan
Suriah sebanyak 1.308 metrik ton zat mustard belerang dan bahan kimia pada
Januari 2016. Proses penghancuran dilakukan di atas kapal AS Merchant Marine,
Cape Ray dan di empat negara, yakni Finlandia, Jerman, Inggris, dan Amerika
Serikat.
Rusia adalah pemilik
senjata kimia terbesar dunia di urutan pertama dan AS di urutan kedua. Target
penghancuran untuk Rusia dan AS sebetulnya ditetapkan pada 2012, namun keduanya
gagal memenuhi dan meminta perpanjangan.
Rusia meminta perpanjangan
hingga 2020, sementara AS pada 2023. Pada 2010, posisi senjata kimia yang
belum dimusnahkan oleh Rusia adalah 52% dan AS 15%. Secara mengejutkan, meski
dengan ekonomi yang morat-marit, Rusia ternyata berhasil memenuhi targetnya
tiga tahun lebih cepat yaitu 2017, sementara AS masih menyimpan 15% senjata
kimianya. Masih belum jelas apakah AS akan memenuhi targetnya atau tidak pada
2023.
Larangan
sebagai Senjata
Mempertimbangkan bahwa AS
adalah pemilik senjata kimia terbesar saat ini di dunia, maka timbul
pertanyaan apakah serangan satu malam ke Suriah yang dipimpin oleh AS pekan
lalu memiliki landasan etik dan moral yang kuat. Dunia tidak pernah akan tahu
secara pasti apakah Suriah memang memiliki senjata kimia yang dituduhkan,
karena tim investigasi OPWC baru akan tiba di Suriah malam ketika serangan
itu terjadi.
Secara teknis, wilayah
yang akan diinvestigasi oleh OPWC telah terkontaminasi oleh bom-bom koalisi
dan kesimpulannya menjadi akan bias. Mengapa AS, Prancis, dan Inggris tidak
menunda 1–2 hari penyerangan agar tim itu dapat bekerja dan memberikan
kesimpulan?
Beberapa tuduhan yang
pernah dilontarkan dan kemudian ditindaklanjuti oleh investigasi, juga tidak
pernah dapat menyimpulkan siapa secara pasti dan bagaimana senjata kimia itu
digunakan.
Laporan PBB untuk
menyelidiki kasus penggunaan senjata kimia di wilayah Ghouta di sekitar
Damaskus (wilayah yang dikuasai pemberontak) memang menemukan bukti, sampel,
dan amunisi terkait senjata kimia, namun tidak menjelaskan siapa yang
melakukan. PBB hanya menyatakan bahwa senjata kimia digunakan di medan
pertempuran di Suriah. Oleh sebab itu, sangat penting investigasi dilakukan
pihak netral sebelum keputusan menyerang diperintahkan. ●
|
sekarang kalian bisa memainkan permainan seru
BalasHapusMainkan Poker Online di agens128
dengan minimal deposit hanya 10rb untuk Poker Online
dengan pelayanan cepat dan ramah dari cs kami :)
tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami sekarang !!
Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / AGENS128
Line id : agens1288
WhatsApp : 085222555128