Peyorasi
Pencitraan Politik
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
17 April
2018
Menjelang perhelatan Pilkada
(serentak) 2018 dan Pemilu 2019, mulai berhamburan serangan-serangan agresif
yang ditujukan dari dan kepada elite politik.
Aktivitas elite dipantau
dan diperiksa secara detail sehingga tiap gestur politik tak akan mampu lolos
dari pembahasan dan kritik, meski kadang lebih mirip tuduhan membuta. Salah
satu tuduhan yang hampir bersifat tematik karena frekuensi kemunculannya yang
amat sering adalah pencitraan politik.
Semua aktivitas positif
akan segera disergap oleh tuduhan motif pencitraan. Pemberian bantuan seorang
pejabat negara atau sumbangan sukarela elite politik kepada konstituennya
dapat dengan mudah disebut pencitraan. Tak ada yang kebal dari agresivitas
semacam ini. Entah bagaimana citra tiba-tiba terdegradasi maknanya jadi
demikian buruk, seolah-olah segala tindakan tidak boleh diapresiasi.
Celakanya, pembelahan
kekuatan di sekitar kekuasaan membuat atmosfer makin keruh dan merembes
sampai pada level akar rumput. Perkelahian dan saling serang di tataran elite
menular ke tataran publik.
Memang diperlukan kehati-hatian dalam tiap penilaian atas kinerja elite. Segala pujian tidak boleh
dilempar secara prematur sebelum memastikannya dengan data yang cermat dan
komparasi terhadap variabel yang relevan. Namun, situasi ini tidak boleh
menimbulkan paranoia dan menyakiti psikis kita untuk tetap rasional dan
mempertahankan nalar, mencoba menjaga jarak agar tidak jatuh pada kebencian.
Paranoia seperti ini akan
menutup pandangan kita dan membuat penglihatan kita satu dimensi terhadap
semua peristiwa. Refleksi dan kontemplasi mendadak tak lagi diperlukan. Kita
dikuasai begitu dalam oleh asumsi-asumsi purba: tak mungkin ada kebaikan sama
sekali dalam perpolitikan, kecuali barangkali pada idola kita sendiri.
Investasi
kebencian
Pada beberapa tingkat hal
semacam ini mengkhawatirkan. Sebab, elemen partisipatoris—sebuah manifestasi
dari demokrasi yang sekarang sedang kita imani —perlahan berubah jadi
fundamentalisme berbasis kebencian. Alih-alih mampu mengurai dan membuat
situasi lebih rileks dalam iklim politik setajam ini, yang terjadi kini
justru kebalikannya sama sekali: ketidakpercayaan pada kebaikan apa pun yang
mungkin ada dan mewujud dalam wilayah politik.
Tidakkah pesimisme akut
ini bisa mendorong siapa pun untuk berpikir lebih jauh bahwa tak lagi diperlukan
negara? Bukankah menumpulnya empati adalah bahan bakar paling pas untuk
mempersiapkan kekacauan dan mempertajam fragmentasi sosial?
Pencitraan mungkin pernah
mengirim kita pada kekecewaan atau perasaan dikhianati secara politik pada
masa kini atau lampau. Adalah sikap yang manusiawi untuk berhati-hati dalam
mengawalnya agar tidak terulang kondisi yang sama. Meski demikian, citra
adalah elemen yang vital, bukan ditujukan untuk menipu atau membelokkan
substansi, melainkan untuk mengabarkan aktivitas positif dan menumbuhkan
harapan. Berita dan kabar baik dibutuhkan untuk menyambung simpati publik,
membangun kebersamaan, menjaga ekspektasi publik tetap ada.
Pencitraan tak boleh
dipersepsi sebagai sesuatu yang buruk sama sekali. Ia tetap diperlukan untuk
mempertahankan momentumnya, untuk pula meyakinkan signifikansi perannya.
Kita boleh mengkritisi,
dan itu sangat alamiah, agar tak pernah ada kepalsuan atau motivasi yang
mencederai kepercayaan publik. Tapi, paranoia atasnya tak akan pernah bisa
menolong siapa pun dari kehancuran perasaan kita oleh kebencian kita sendiri.
Kewajaran dalam mengkritik
perlu kedewasaan. Fanatisme bukan saja bahan bakar untuk menggempur kohesi
sosial dan mendesain hawa konfliktual, juga musuh utama demokrasi. Ketakutan
untuk memberi apresiasi hanya mungkin hadir karena pengondisian kebencian
yang demikian mengakar, yang ditancapkan dalam-dalam oleh elite politik
sendiri dalam membantu kepentingannya. Tak pernah diperkirakan jika pada
gilirannya investasi kebencian ini dapat berujung serunyam sekarang.
Teladan elite memang
diperlukan, tetapi media juga berperan dalam menyeleksi nada-nada pemberitaan
agar berimbang. Keberimbangan ini memang belakangan makin minim, berganti
fanatisme atas idola politik tertentu dan antipati kepada rivalnya. Peyorasi
pencitraan saat ini adalah konsekuensi dari bagaimana media dan elite politik
telah menciptakan kombinasi berbisa yang membunuh pandangan alternatif dan
memaksa publik menggunakan kacamata kuda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar