Lingkaran
Setan ”Generasi Pendek”
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
|
KOMPAS,
25 April
2018
Kata atau istilah setan
bisa jadi sedang sensitif akhir-akhir ini. Namun, tulisan ini tidak membahas
partai atau politik, tetapi membahas generasi pendek (stunting) di negara
ini.
Stunting baru-baru ini
mendapat perhatian dari Kepala Bappenas dan bahkan Presiden Joko Widodo dalam
rapat di Istana Negara, yang secara khusus membahas masalah ini.
Data kesehatan terakhir
menunjukkan, dari 24,5 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di
Indonesia, sekitar 9 juta atau 37 persen menderita stunting. Populasi
stunting terbesar di Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat.
Kondisi
pemicu
Kalau kita menelaah
stunting, pertama-tama yang harus kita cermati adalah tentang kondisi
kehamilan kaum perempuan Indonesia. Dalam periode sembilan bulan yang sangat
genting, ibu hamil harus mendapat asupan gizi cukup sehingga terhindar dari
anemia ataupun KEK (kurang energi kronis). Tragisnya, ibu hamil penderita
anemia di Indonesia masih cukup tinggi dan ini berpotensi pada rendahnya
kualitas output kelahiran, yaitu berat bayi lahir rendah (<2 akan="" bayi="" berat="" berbagai="" gangguan="" kg="" kurang="" lahir="" memunculkan="" o:p="" pertumbuhan.="">2>
|
Selanjutnya, periode anak
balita yang disebut golden age. Periode ini ternyata menjadi titik rawan
seorang anak karena mudah mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan, yang
mendera 27 juta penduduk Indonesia, akan menekan akses pangan keluarga.
Korban utamanya adalah anak balita. Anak balita termasuk kelompok rawan
(vulnerable group) karena tumbuh kembangnya mudah dipengaruhi lingkungan
sekitar, terutama ketersediaan pangan di tingkat keluarga.
Memasuki periode remaja,
ancaman gizi yang mereka hadapi adalah anemia. Anemia hingga kini masih
menjadi problem gizi yang paling sulit diatasi. Salah satu penyebabnya adalah
kurangnya asupan pangan hewani di Indonesia. Konsumsi ikan, telur, daging,
dan susu yang rendah merupakan cermin daya beli kita. Jadi, kalau saat remaja
mereka sudah anemia, pada periode selanjutnya, yakni dewasa muda hingga
jenjang pernikahan, mereka akan senantiasa dibayangi problem gizi.
Dampak
”stunting”
Generasi stunting akan
terbatas wawasannya karena secara intelektual mereka akan kalah dibandingkan
dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Kemampuan kognitif yang rendah
akan mengancam daya saing generasi mendatang. Oleh sebab itu, memerangi
stunting harus mendapat perhatian serius pemerintah yang konon baru
menggenjot pembangunan SDM pada tahun 2019.
Posyandu sebagai ujung
tombak program gizi di lapangan harus didongkrak kinerjanya. Image bahwa
posyandu hanya sekadar tempat penimbangan anak balita dan pembagian bubur
kacang hijau sudah saatnya diperbaiki.
Berbagai intervensi gizi seperti pemberian makanan pendamping ASI
untuk anak balita, kalau hanya berupa biskuit, daya ungkitnya sungguh tidak
kelihatan.
Anak balita tidak
memerlukan makanan khusus karena mereka umumnya makan seperti anggota
keluarga lainnya. Mereka minum susu, makan telur, makan daging ayam, makan
ikan, dan sebagainya. Jadi, kalau pendekatan food-based akan menjadi strategi
pemberantasan stunting, berikan saja akses pangan bagi keluarga miskin yang
di dalamnya terdapat anak balita, ibu hamil, ataupun ibu menyusui. Salah satu
program yang bisa ditiru adalah bantuan pangan Pemerintah AS.
Metode kupon pangan sudah
lama diterapkan di AS untuk membantu keluarga miskin di sana. Program Food
Stamp atau program WIC (Women, Infants, and Children) adalah program yang
sangat populer di AS.
Untuk program Food Stamp,
orang miskin di AS memperoleh kupon senilai uang tertentu yang dapat
digunakan untuk membeli makanan apa saja di setiap toko swalayan yang ada.
Sementara program WIC
memberikan kupon yang di dalamnya sudah tercantum jenis makanan tertentu
sebatas sereal, susu, telur, orange juice, dan peanut butter karena program
WIC sasarannya adalah anak balita, ibu hamil dan menyusui dari keluarga
miskin. Jenis makanan sengaja ditetapkan supaya dapat memenuhi gizi kelompok
khusus ini.
Serupa
subsidi pangan
Kalau saya perhatikan,
penyelenggaraan program Food Stamp atau program WIC setali tiga uang dengan
program subsidi pangan. Makanan yang dibeli dengan kupon sama persis dengan
makanan yang tersedia sehari-hari di toko swalayan. Jadi, dalam hal ini orang
miskin mendapatkan bantuan pangan gratis, sementara toko swalayan mendapat
penggantian dari pemerintah sesuai harga yang berlaku di pasaran.
Dalam implementasi program
kupon pangan ini sesungguhnya bukan hanya orang miskin yang diuntungkan,
melainkan juga menciptakan pasar sehingga ekonomi atau perdagangan bahan
pangan menggeliat.
Kebijakan raskin (kini
disebut rastra) dulu diberikan kepada masyarakat miskin berupa beras. Mulai
tahun 2017 telah diujicobakan bantuan pangan nontunai (BPNT) langsung kepada
keluarga miskin senilai Rp 120.000 per keluarga per bulan. Komoditas pangan
yang dapat dibeli dengan kartu BPNT masih sangat terbatas, dan belum
sepenuhnya berorientasi pada penanganan masalah gizi atau pengurangan
stunting.
Semoga model ini semakin disempurnakan mendekati bantuan
pangan seperti di Amerika Serikat sehingga problem stunting dapat segera
diatasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar