Ekonomi
Pasar Pancasila
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika
Usaha (LSPEU INDONESIA)
|
KOMPAS,
17 April
2018
Tekanan tambahan saya dari
tulisan Guru Besar Ekonomi IPB Didin S Damanhuri, ”Ekonomi Pasar Pancasila”
(Kompas, 15/2/2018), adalah: siapa pelaku riil ekonomi Pancasila? Kesan saya, Didin memberi rambu-rambu
”ekonomi pasar Pancasila” dengan, bersama negara yang aktif, memasukkan unsur
agama dan nilai-nilai budaya ke dalam praktik ekonomi. ”Ekonomi Pasar
Pancasila”, dengan demikian, adalah sebuah struktur atau sistem kontestasi
”tenggang rasa”, dibimbing negara, agama, dan sistem nilai yang berkembang
dalam masyarakat.
Pelaku
ekonomi pasar Pancasila
Jika kesimpulan ini
mendekati ”benar”, maka pelaku konkretnya ada pada lapisan ”ekonomi akar
rumput”. Andi (bukan nama sebenarnya), penggosok batu akik di Pasar Cibubur,
Jakarta Timur, misalnya, melihat seekor kucing pasar kelaparan (27/1/2015).
Seperti diceritakan Bunyamin (Abun), reparator jam dan salah satu aktor
”ekonomi akar rumput”, kepada saya (1/10/2015), Andi lalu mengambil nasi dan
ikan bandeng, diaduk sampai lumat dan diberikan kepada kucing itu. ”Kucing
itu sangat lahap makannya,” kata Andi.
Beberapa saat setelah itu,
Andi kedatangan seorang pelanggan yang meminta bukan hanya satu, melainkan
enam batu akik sekaligus, untuk digosok. Karena harga jasa gosok Rp 25.000
per batu, Andi membawa pulang Rp 150.000 hari itu. Suatu perolehan tinggi dalam
”ekonomi batu akik” yang sedang menurun itu. ”Kalau kita bersikap kasih,”
kata Andi kepada Abun, ”Allah akan memberi rezeki yang tak disangka-sangka.”
Surya, pedagang asongan
rokok di Cibubur, salah satu tokoh dalam tulisan saya ”Aktor Ekonomi Akar Rumput”
(Kompas, 17/4/2015), merasa gundah pada 2 Desember 2015. Pasalnya, ”bos”
warung gudeg mengambil rokok seharga Rp 96.000 dari kotak asongan yang
dititipkan di kios Abun. Warung yang hanya terpisah dinding dengan kios
mempermudah si ”bos” menerobos ruang itu. Karena si ”bos” tak melunasinya
selama tiga hari, Surya tak bisa memutar modalnya yang minim itu. Jalan
keluarnya: Abun menalangi Surya Rp 100.000 dan memindahkan beban
pembayarannya ke si ”bos” gudeg dengan cara makan di warungnya selama beberapa
hari sampai dana talangan kepada Surya Rp 100.000 habis.
Hubungan ”ekonomi” Abun,
si ”bos” dan Surya rumit. Untuk menambah pendapatan, sambil mereparasi jam,
Abun juga menjual pulsa telepon genggam. Sampai Desember 2015, si ”bos” dan
keluarganya berutang pulsa Rp 65.000. Utang itu tak dibayar tunai, tetapi
dengan membiarkan Abun makan selama lima hari, rata-rata Rp 25.000. Sebagai
akibatnya, Abun justru terutang Rp 40.000. Utang ini bertambah karena si
”bos” menalangi lima hari pembayaran tabungan Lebaran Abun di koperasi pasar
masing-masing Rp 10.000.
Pada 4 Desember 2015, Abun
menalangi belanja sayur si ”bos” Rp 100.000. Toh, sampai 6 Desember, Abun
masih terutang Rp 10.000. Namun, si ”bos” tidak bisa melenggang. Pada hari
yang sama ia berutang rokok Rp 36.000 kepada Surya.
Pada 25 Desember 2015
malam, Abun pulang ke Tasikmalaya. Di sana, Abun mendapat pesan dari Asgar
(nama samaran), tukang kue pancong asal Garut di Pasar Cibubur, di telepon
genggamnya. Isinya: ”Paman Abun mohon maaf. Sakit saya kambuh lagi. Mohon
doanya agar saya cepat sembuh.”
Asgar menderita sakit
ginjal hingga harus memakai selang—pun setelah keluar dari rumah sakit di
Garut—ketika buang air kecil. Abun, seperti diceritakannya pada Kamis, 31
Desember tahun itu, menelepon dan menasihatinya untuk sabar. ”Tidak ada
penyakit yang tak disembuhkan Allah,” ujarnya. Akan tetapi, mengapa Asgar
harus minta maaf? Ternyata Asgar berutang pulsa kepada Abun Rp 48.000. Utang
ini baru dilunasi pada Jumat, 29 Januari 2016, setelah Asgar sembuh.
Hubungan ”ekonomi” keempat
tokoh ”ekonomi akar rumput” ini akhirnya terhenti. Usaha si ”bos” kian
menurun. Akhir Desember 2015 ia terpaksa menjual ”paket Lebaran”-nya ke
tukang sayur seharga Rp 5 juta—ditabung secara harian pada koperasi
pasar—untuk membayar setoran kepada Salamun, pemilik gedung tempat warung
gudeg dan kios Abun berada. Berjaya selama lima tahun, kemampuan setoran si
”bos” kian menurun. Ini membuat hubungannya dengan Salamun menurun. Pada14
Maret 2016, Salamun menyatakan kepada Abun nasib si ”bos” ditentukan hari
itu: jika tak ada setoran, warung itu akan digembok. Ini luput terjadi karena
si ”bos” bisa mencicil setorannya.
Namun, ini tak berlanjut.
Salamun sempat tak bisa melakukan penggembokan karena si ”bos” lebih dulu
memasang gembok di rolling door. Tetapi akhirnya, 11 Mei 2016, si ”bos” dan
keluarganya benar-benar ”hengkang” dari situ—lebih cepat tiga hari dari
ultimatum Salamun.
Asgar, di lain pihak,
masih bisa bertahan. Setelah sembuh dan berdagang lagi, 6 Agustus 2017 ia
pulang cepat. Kepulangan awalnya hari itu karena ada pesanan 100 kue pancong.
Dengan harga Rp 2.000 per kue, ia akan mendapatkan Rp 200.000. Meski kembali
ke Garut pada 19 Agustus 2017 untuk acara kehamilan 7 bulan putrinya, pada 11
September 2017, ia sudah ada di Cibubur lagi. Pada 25 September, ia minta
tolong Abun mengirim uang Rp 1,6 juta kepada istrinya. Pada Oktober 2017,
Asgar pulang ke Garut untuk menemani putrinya melahirkan. Menurut rencana, ia
kembali 17 November 2017. Niat ini tak sampai karena menunggu 40 hari usia
cucu pertamanya dan ia kembali jatuh sakit hingga 31 Desember 2017.
Pada 28 Januari 2018, ia
muncul di Cibubur, mengosongkan barang-barang di kamar kontrakan dan membawa
pulang semuanya ke Garut. Sehari setelah itu, ia mengirim pesan: ”Aduh, lupa,
ada utang pulsa kepada Mang Abun.” Abun menjawab: ”Enggak apa-apa, ’kan
sekarang sudah di kampung lagi. Saya minta maaf tidak bisa membantu.”
Transaksi tanpa tetapkan
harga
Abun justru minta maaf tak
bisa membantu kepulangan Asgar ke Garut meski Asgar sebenarnya yang berutang.
Ini juga dilakukan Abun ketika Asgar, pada 31 Desember 2016, meminta doa agar
cepat sembuh dari sakit—sebagai cara minta maaf karena masih berutang—dengan
menganjurkan tetap tegar. Dan ketika Surya kalang kabut karena modal asongan
rokoknya tak bisa diputar lantaran si ”bos” belum bayar rokok yang
diambilnya, Abun berinisiatif menalangi dan memindahkan transaksi dari Surya
kepada si ”bos” warung gudeg. Sikap ”tenggang rasa” ini juga dipraktikkan
Surya yang menahan diri ”berekspansi” ke wilayah ”saingan”-nya, Amat, dalam
mengasong rokok. Amat absen mengasong 1,5 bulan karena sakit.
Catatan rekaman lebih dari
tiga tahun ini memperlihatkan berlakunya unsur ”non-pasar” dalam aktivitas
dagang tokoh-tokoh ”ekonomi akar rumput” ini. Kecuali sikap impersonal
pemilik gedung Salamun, keempat aktor ini menggambarkan semangat tentrem,
lukisan Patrick Guinness dalam Harmony and Hierarchy in Javanese Kampung
(1986), untuk komunitas Kampung Legok, Yogyakarta, pada 1980-an: mengajukan
sikap damai bersama agar bisa mereduksi kekecewaan dari kehidupan yang
berubah-ubah. Dan, melihat corak perlakuan mereka atas materi, keempatnya
menggambarkan shared poverty (kemiskinan terbagi), seperti dilukiskan
antropolog Clifford Geertz dalam Agricultural
Involution (1963).
Akan tetapi, esensi
aktivitas itu adalah proses ”transaksi tanpa menetapkan harga”. Saya
terinspirasi membuat frasa ini dari penjelasan filsuf Perancis, Marcel Mauss
(1872-1959), tentang gift (pemberian atau hadiah) berdasarkan konsep hau
milik suku Maori, Selandia Baru. Melalui karya antropolog Marshal Sahlins, Stone Age Economics (1974), dapat
diketahui hau adalah the spirit of things (jiwa benda-benda). Bagaimana
menemukan hau?
Dalam kutipan Sahlins,
Mauss menjelaskan: orang pertama memberi hadiah kepada orang kedua tanpa
harga (without price), tanpa tawar-menawar. Lalu, orang kedua
menghadiahkannya kepada orang ketiga. Selang beberapa waktu, orang ketiga
memberikan hadiah kepada orang kedua. Pemberian terakhir inilah yang
mengandung hau—yang berasal dari pemberian orang pertama. Maka, orang kedua
harus mengembalikannya kepada orang pertama. Mengapa? Karena, kendatipun
sangat dikehendaki, hadiah orang ketiga itu adalah hau hadiah orang pertama.
Jika orang kedua menyimpannya sendiri, ia akan celaka! Sebagaimana akan
disinggung, transaksi berdasarkan hau ini berpotensi memiliki visi struktural
atas konsep ”ekonomi pasar Pancasila”.
Praktik dagang keempat
tokoh ”ekonomi akar rumput” di ataslah yang secara simbolik saya sebut proses
”transaksi tanpa menetapkan harga”. Secara konvensional, ”harga” adalah
produk kalkulasi untung rugi impersonal menetapkan nilai sebuah komoditas
dalam transaksi berdasarkan permintaan dan penawaran, kata Thomas Sowell
dalam Basic Economics: A Common Sense
Guide to the Economy (2017).
Namun, keempat tokoh itu justru menghilangkan ”harga”, dalam arti kalkulasi
material, di dalam proses transaksi mereka. Apa perlunya bagi Andi memberi
makan kucing pasar yang kelaparan?
Apa untungnya Abun
menalangi utang rokok si ”bos” warung gudeg kepada Surya, padahal itu
bukanlah transaksinya? Mengapa pula si ”bos” menalangi simpanan Lebaran Abun,
dan mengapa yang terakhir bersedia membayar lebih dahulu sayur mentah yang
dibeli si ”bos” untuk dimasak dan dijual? Mengapa Surya merasa tak tega
bersaing dengan Amat—kendati itu akan menguntungkannya? Bukankah Surya justru
merasa prihatin ketika Amat kembali jatuh sakit gejala ginjal?
Rentetan pertanyaan ini
tak bisa dijawab dengan rasio ekonomi konvensional. Yang sedikit bisa
menjelaskan ini adalah kalimat Max Weber dalam Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1958). Dengan
menggunakan frasa eudaemonistic—nilai tindakan moral terletak pada
kemampuannya melahirkan kebahagiaan—Weber menekankan, kegairahan ekonomi tak
lagi bisa ditundukkan manusia sebagai pemuas nafsu material. Di sini, keempat
tokoh memiliki insentif tersendiri dalam perdagangan. Dengan premis ajaran
Islam yang terefleksi pada ”nasihat” Abun dan kecenderungannya meminta maaf
kepada Asgar, saya condong melihat etik eudaemonistic Weber lebih berlaku
sebagai dasar tingkah laku dagang tokoh-tokoh ”ekonomi akar rumput” ini.
Lalu apa hubungannya
dengan hau? Melalui buku Stone Age
Economics Sahlins, kita mengetahui dasar pandangan Mauss tentang sistem
ekonomi hau, yaitu la circulation
obligatoire des richesses, tributs et dons (kewajiban perputaran
kekayaan, hadiah dan sumbangan). Di sini, hau adalah kekuatan pencegah
konsentrasi kekayaan. Walau tanpa disadari, melalui insting ajaran Islam,
aktor-aktor ”ekonomi akar rumput” itu mendemonstrasikan praktik ekonomi hau.
Betul, hampir tak ada yang bisa dibagi di antara mereka, tetapi, melalui
pengaruh ajaran Islam yang ”identik” dengan hau dan etik eudaemonistic, ada
kecenderungan sikap antikonsentrasi kekayaan dalam sikap ekonomi mereka.
Inilah mungkin dimaksud Didin Damanhuri tentang keharusan adanya pengaruh
agama dan sistem nilai dalam ”ekonomi pasar Pancasila”.
Persoalannya adalah hingga
kini tak ada model konkret sistem ”ekonomi pasar Pancasila”—yang menekankan
la circulation obligatoire itu. Namun, melalui tesis Alavi Ali, ”On Brexit: Comparing Britain and German
Varieties of Capitalism” (Freie
Universität, Berlin, 2017), kita menemukan frasa coordinated market
economies (CMEs). Sementara tujuan Alavi menjelaskan keniscayaan terjadinya
British Exit (Brexit) karena absennya CMEs di negara itu, kita menemukan
konsep operasional ”ekonomi pasar Pancasila” yang, karena dipengaruhi agama
dan sistem nilai, secara struktural mencegah konsentrasi kekayaan pada
segelintir kalangan.
Maka, jika pelaku liberal
market economies (LMEs), seperti berlaku terutama di Inggris dan AS, bergerak
melalui sinyal harga atas dasar penawaran dan permintaan, CMEs menekankan
semangat ”gotong royong”, non-market forces, ujar Alavi Ali, untuk menavigasikan
kinerja berbagai aktor di dalam ekonomi pasar. Tujuannya tidak hanya
menggairahkan pasar dengan memproduksi barang dan jasa dalam kuantitas dan
kualitas terukur, tetapi juga menekan ketidakpastian terkait perilaku para
pelaku pasar dan memungkinkan peningkatan kepercayaan atas komitmen —yang
telah disusun secara kolektif. CMEs, dengan demikian, adalah usaha kemakmuran
bersama melalui mekanisme pasar.
Kita tahu, dalam
realitasnya, CMEs ini terbukti manjur di Eropa, terutama di Jerman. Akan
tetapi, di dalam konteks ini, CMEs kita menemukan model bagaimana merumuskan
”ekonomi pasar Pancasila” yang bukan saja operasional, melainkan juga secara
struktural mencegah konsentrasi kekayaan. Para tokoh ”ekonomi akar rumput”
yang kita bicarakan telah mempraktikkannya.
Baru 12 Februari 2018,
Amat aktif kembali. Kepada Abun, Surya berkata tentang Amat: ”Karunya karak
datang. Tas gering di lembur (Kasihan, baru datang. Di kampung dia sakit).” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar