Keutamaan
Isra Mikraj
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 13 April 2018
"MAHA Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al
Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra’/17:1)
Dalam kaidah Ulumul Quran
dijelaskan apabila satu surah atau ayat diawali kata Subhana berarti Maha
Suci Tuhan. Maka pasti ada sesuatu yang diungkapkan di dalamnya tidak bisa
dianalisis secara rasio, tetapi dibutuhkan keyakinan dan perenungan mendalam.
Mungkin Isra, perjalanan
horizontal dari Masjid Haram di Mekah ke Masjid Aqsha di Palestina bisa
dianalisis secara rasional. Namun, Mikraj, perjalanan vertikal dari Masjid
Aqsha ke Sidratulmuntaha harus dengan pendekatan keyakinan.
Ayat ini menggunakan kalimat
pasif: Asra berarti memperjalankan. Nabi Muhammad SAW pasif dan yang proaktif
ialah Allah SWT. Dengan demikian, kita tidak perlu mempertanyakan jenis
kendaraan dan jaket apa yang digunakan Nabi Muhammad SAW saat mikraj. Jika
Allah SWT yang proaktif mengundang hamba-Nya kepada martabat lebih tinggi
tidak perlu mempertanyakan tekniknya bagaimana, termasuk tidak perlu
mempertanyakan kecilnya amal dan besarnya dosa. Sesungguhnya perintah-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,
"Jadilah!" maka terjadilah ia/Q.S. Yasin/36:82).
Ayat itu menggunakan kata ba’id,
bukannya menggunakan kata bi nabiyyihi wa bi Rasulihi. Ini menunjukkan bahwa
bukan hanya Nabi Muhammad SAW yang bisa mikraj, tetapi hamba-Nya yang lain
juga berhak mikraj. Rasulullah SAW juga pernah membenarkan hal ini. Ashshlau
mi’raj al-mu’minin (Salat adalah mikrajnya orang-orang beriman). Tentu tidak
semua hamba berhak mikraj karena Allah SWT menggunakan huruf bi (bi'abdihi).
Huruf ba di sini berfungsi tanda kedekatan (li al-tab’id), yakni hamba yang
betul-betul dekat atau menempel dengan Tuhannya.
Hamba yang jauh atau berjarak
dengan Tuhannya sulit dibayangkan untuk mikraj. Salah satu hikmah
memperingati Isra Mikraj agar kita bisa lebih dekat dengan Allah SWT dan pada
saatnya kita pun diundang ke hadirat-Nya mengikuti junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Allah SWT memperjalankan hamba-Nya
di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Dalam bahasa Arab kata
lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari
siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, atau kejahatan,
kesunyian, keheningan, dan kesyahduan. Ada makna anagogis (spiritual) seperti
kekhusyukan (khusyuk), kepasrahan (tawakal), kedekatan (taqarrub) kepada
Ilahi.
Kisah Nabi, para sahabat, dan para
auliya menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan.
Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian
mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali
(barang siapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu
malam). Kata al-layali di sini mengisyaratkan keakraban dan kerinduan antara
hamba dan Tuhannya.
Kekuatan malam yang dipicu dengan
kepergian untuk selamanya sang istri Khadijah, yang bukan hanya sebagai bangsawan
yang yang disegani, tetapi juga pelindung dan pendukung terkuat misi Nabi.
Tahun itu betul-betul sebagai tahun kesedihan (’am al-khzn) bagi Rasulullah.
Namun demikian, Rasulullah menjadikan suasana duka di malam hari sebagai
kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Kesedihan dan kepasrahan yang
begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu,
bahkan sampai pada jenjang puncak bernama Sidratulmuntaha. Di sanalah
Rasulullah diinstal dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai
panglima para malaikat tidak sanggup lagi menembus puncak batas spiritual itu
karena energinya hanya terbatas sampai batas yang ditentukan.
Kedahsyatan malam hari juga
digambarkan Tuhan di dalam Alquran: "Dan pada sebahagian malam hari
salat tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian:
mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji. (QS
al-Isra'/17:79). Dalam ayat lain juga disebutkan: Mereka sedikit sekali tidur
di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).
(QS al-Dzariyat/51:17-18). Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu
bulan.(QS al-Qadr/97:3).
Malam hari memang menampilkan
kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan,
kesenduan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, kepasrahan, ketenangan, dan
kekhusyukan? Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari.
Seolah-olah yang lebih aktif di siang hari ialah unsur rasionalitas dan
maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai
khalifah di muka bumi, sedangkan di malam hari yang lebih aktif ialah unsur
emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung kapasitas kita
sebagai hamba (’abid).
Dua kapasitas manusia ini menjadi
penentu keberhasilan hidup seseorang. Sehebat apa pun prestasi kekhalifahan
seseorang, tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang taat maka itu
sia-sia. Sebaliknya, sehebat apa pun seorang hamba, tetapi gagal menjadi
khalifah di bumi, itu juga tidak banyak artinya.
Isyarat
penting
Tuhan sebenarnya sudah memberikan
isyarat penting, mengapa umumnya salat ditempatkan di malam hari? Hanya salat
zuhur dan asar di siang hari, selebihnya di malam hari seperti salat magrib,
isya, tahajud, witir, tarwih, fajar, dan subuh. Ini isyarat bahwa pendekatan
pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam hari atau sebaiknya
menggunakan kekuatan feminin atau the power of night.
Selain diawali dengan kata
subhana, ayat itu juga dipilih menjadi nama surah, yakni Surah Al-Isra’ atau
perjalanan spiritual. Surah ini diapit dua surah yang serasi, yaitu Surah
al-Nahl dan Surah al-Kahfi. Surah al-Nahl sering diangkat sebagai simbol
kecerdasan rasional. Karena di dalamnya diungkapkan cerita lebah yang sangat
menantang dunia keilmuan. Lebah yang menghasilkan madu sebagai obat mujarab
untuk berbagai penyakit menyimpan berbagai misteri di dalamnya.
Sementara itu, Surah al-Kahfi,
yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual. Karena di dalamnya digambarkan
berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya
kisah sekelompok wali yang tidur selama 309 tahun di Gua Kahfi dan kisah Nabi
Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan.
Sementara Surah Al-Isra sering
dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional-spiritual karena di dalamnya
diceritakan pengaruh kematangan emosional-spiritual dalam pencapaian prestasi
seorang hamba. Surah al-Isra sering dianggap sebagai jembatan
(wasilah/briging) yang menjembatani antara kecerdasan rasional dan kecerdasan
spiritual.
Peristiwa Isra adalah perjalanan
horizontal dari Baitullah, Mekah ke Masjid Aqsha, Palestina, sedangkan Mikraj
adalah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratulmuntaha. Perjalanan
Isra mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika, menghubungkannya dengan
pesawat supersonik berkecepatan tinggi, tetapi Mikraj hanya bisa didekati
dengan iman.
Pelajaran penting dapat diambil
dari peristiwa Isra Mikraj ialah pertama setiap orang tidak perlu larut di
dalam kesedihan manakala ditimpa musibah. Karena musibah dan kekecewaan itu
tidak lain ialah ujian untuk kenaikan kelas spiritualitas kita.
Kedua, tantangan hidup tidak mesti
dijawab dengan kekuatan dan kekerasan. Karena ternyata yang paling banyak
berhasil menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan ialah dengan kekuatan
kelembutan.
Ketiga, puncak kenikmatan bukan
pada saat mencapai puncak keberhasilan, tetapi ketika berbagi keberhasilan
dengan orang lain. Nabi sudah mencapai puncak pejuangan seorang hamba, tetapi
ia tetap turun ke berbagi dengan umatnya.
Isra Mikraj selama ini lebih
diperkenalkan sebagai peristiwa makrokosmos berupa perjalanan Nabi dari
Masjid Haram ke Masjid Aqsha, Palestina, sampai ke Sidratulmuntaha, kemudian
Rasulullah pulang membawa oleh-oleh berupa salat lima waktu.
Peristiwa Isra Mikraj juga dapat
dipahami sebagai peristiwa mikrokosmos, perjalanan batin seorang hamba menuju
ke maqam spiritual lebih tinggi dan lebih dekat sedekat-dekatnya kepada Allah
SWT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar