Membaca
Tren Kelompok Sempalan
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2018
INDONESIA seolah menjadi
lahan subur untuk lahirnya kelompok sempalan. Istilah ‘Kelompok Sempalan’
sesungguhnya pertama kali dipopulerkan almarhum Gus Dur dalam era tahun
1980-an. Kelompok sempalan ditujukan kepada kelompok masyarakat yang
memisahkan diri dari ajaran agama mainstream.
Kelompok sempalan
ketika itu digunakan untuk kelompok
masyarakat yang memisahkan diri atau melakukan praktik sinkretisme dengan
agama atau aliran kepercayaan tertentu. Kita tidak tahu, kenapa Gus Dur
memilih menggunakan istilah ini, bukannya menggunakan istilah aliran sesat
atau aliran menyimpang. Gus Dur sendiri tidak pernah menggunakan istilah
kelompok atau aliran sesat karena bagi GusDur itu wilayahnya Tuhan.
Istilah Kelompok Sempalan
akan selalu muncul seiring dengan maraknya kelompok sosial keagamaan memperkenalkan keunikan
paham kelompoknya. Contoh, lahirnya kelompok yang menamakan diri Gafatar yang
kemudian menimbulkan kontroversi dan menyebabkan dibubarkannya kelompok ini
dan tokohnya di jebloskan ke dalam penjara.
Sebelumnya ada dua kasus
kasus sempalan yang juga menghebohkan masyarakat, yaitu kelompok Ahmadiyah
Qadiyan dan kelompok Lia Aminuddin, dan nabi palsu Mushaddeq. Fenomena
sempalan juga muncul setiap kali penentuan awal bulan puasa dan Hari Raya
Idul Fitri. Selalu ada sejumlah kelompok tarekat yang menjalankan ibadah puasa
dan Idul Fitri lebih awal mendahului kelompok mainstream muslim lainnya,
seperti kelompok tarekat yang ada di Padang, Sumatra Barat dan di Gowa,
Sulawesi Selatan, dan sejumlah kelompok tarekat di daerah lain.
Kalau yang dimaksud
kelompok yang menyempal dari ajaran mainstream, sesungguhnya kelompok
sempalan bukan wacara baru dalam dunia Islam. Perjalanan sejarah dunia Islam
sepertinya tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Tidak lama setelah
Rasulullah wafat sudah muncul kelompok- kelompok Islam yang menyempal seperti
kelompok Khawarij, kelompok Murji’ah, dan kelompok Syiah di samping kelompok
Sunni.
Antara satu sama lain
saling mengafirkan, bahkan saling bunuh satu sama lain. Masa pemerintahan
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga tidak pernah sepi dari kelompok sempalan.
Bahkan pernah menjadi tren ketika kelompok penguasa melakukan praktik tahkim,
yaitu semacam litsus yang harus dilakukan kepadacalon-calon pejabat agar
pemerintahan bersih dari aliran yang dianggap ‘sesat’ ketika itu.
Tema penyempalan juga
sangat bervariasi. Mulai dari penyempalan bertema mazhab (fikih), aliran
(teologi), sampai kepada intrik gaya dan dukungan politik. Isu kudeta
terhadap sebuah rezim sering dihubungkan dengan hadirnya kelompok sempalan.
Di dalam lintasan sejarah Indonesia sendiri juga tidak pernah sepi dari
kelompok sempalan. Di masa dulu sebenarnya kelompok sempalan lebih ramai
daripada sekarang.
Dulu komunitas media
sangat terbatas sehingga banyak kelompok sempalan yang luput dari perhatian
publik. Sekarang, perkembangan komunitas media begitu besar dan dengan
peralatan yang begitu canggih sehingga seolah tidak ada sejengkal tanah di
Indonesia luput dari intaiaan media.
Jadi sekarang belum tentu
jumlah kelompok sempalan semakin berkembang, mungkin medianya sudah terlalu
banyak sehingga semuanya terungkap.
Data-data statistik menunjukkan dekade terakhir ini, dari tahun ke
tahun populasi dan kuantitas mainstream muslim cenderung meningkat, sementara
kelompok agama lain cenderung konstan.
Diduga peningkatan populasi
muslim mainstrem itu bukan semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan populasi
penduduk tetapi juga karena kelompok-kelompok masyarakat lokal yang belum
memiliki agama atau mereka yang tergabung di dalam kelompok aliran
kepercayaan atau kelompok sempalan lainnya yang muncul di dalam masyarakat.
Sebetulnya bukan hanya
istilah kelompok sempalan, tetapi ada juga istilah lain yang sering
digunakan, antara lain kelompok aliran menyimpang dan atau kelompok aliran
sesat. Istilah terakhir ini sering di gunakan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), seperti dalam fatwanya tentang Jemaat Ahmadiyah yang dianggap sebagai
kelompok aliran sesat dan menyesatkan.
Sebagai aliran sesat dan
menyesatkan maka MUI merekomendasikan kepada pemerintah untuk dilakukan
tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Klaim
sesat-menyesatkan adalah hak setiap komunitas. Tetapi apakah klaim itu
berdasar hukum?
Melalui proses apa klaim
itu diambil? Atas mandat siapa tugas itu dilakukan? Untuk tujuan apa klaim
itu dikeluarkan? Siapa yang menjadi korban di balik klaim itu? Apa target
klaim itu? Kesemuanya ini perlu jelas. Kita perlu berhati-hati di dalam
mengklaim suatu kelompok menjadi aliran sempalan apalagi kelompok aliran
sesat. Jika klaim itu sembrono maka dampaknya sama dengan fitnah, bisa
berpengaruh pada nama baik dan hak asasi manusia (HAM). Mungkin bukan hanya
yang bersangkutan, tetapi juga keluarga dan relasi orang itu.
Sebaliknya, klaim juga
bisa memiliki arti penting kalau memang benar-benar terjadi dan menjadi
ancaman nyata bagi orang atau kelompok lain, misalnya laporan investigasi
sejumlah media menemukan adanya unsur penyimpangan agama dan cacat ideologis,
maka kelompok mayoritas juga punya hak untuk mempertahankan diri dengan
segala hak dan kewajibannya.
Kebebasan beragama yang
dianut dalam sistem konstitusi kita bukan membebaskan setiap orang menghujat
agama dan keyakinan orang lain. Tidak bisa atas nama kebebasan beragama
lantas digunakan untuk mengacak-acak agama orang lain. Tidak bisa juga atas
nama aliran atau mazhab lantas seseorang bebas meluncurkan tuduhan aliran
sesat atau sempalan terhadap orangorang yang menyimpang dari mazhab atau
alirannya. Negara sudah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan organisasi
atau kelompok terlarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar