PR
Ketimpangan
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 16 April 2018
SEMENJAK era reformasi dan
desentralisasi diberlakukan di Indonesia, kita terus-terusan berkutat
mengatasi isu ketimpangan yang dianggap kian melebar. Memang dalam 20 tahun
terakhir (tepat sejak era Reformasi dicetuskan), tren ketimpangan, baik
apakah itu antardaerah maupun antarkelompok pendapatan seperti semakin sulit
dituntaskan.
Indikator yang paling umum
digunakan adalah parameter indeks gini yang menunjukkan seberapa besar
kesenjangan pendapatan kelompok teratas dan terbawah. Di awal-awal masa
Reformasi, posisi indeks gini kita masih di sekitaran angka 0,30. Dan
sekarang situasinya semakin tidak terkendali karena angkanya kian melesat
hingga sempat menembus 0,41.
Kondisi yang sama juga
terjadi berdasarkan parameter ketimpangan yang diperkenalkan Bank Dunia melalui
distribusi pengeluaran per kelompok pendapatan. Metode pengukuran ketimpangan
yang digunakan Bank Dunia ialah dengan melihat distribusi pengeluaran 40%
golongan pengeluaran terendah, 40% golongan menengah, dan 20% golongan
tertinggi terhadap total distribusi pengeluaran. Ukuran ketimpangannya
dilihat berdasarkan andil 40% golongan terendah terhadap total distribusi.
Dan hasilnya jika kita bandingkan antara kondisi di 2002 dan 2017, andil
kelompok masyarakat 40% terendah angkanya semakin mengecil.
Dulu mereka masih berperan
sebanyak 20,92% terhadap total pengeluaran, namun kini hanya berkontribusi
17,22%. Sedangkan 20% anggota kelompok berpengeluaran tertinggi dalam kurun
waktu yang sama justru semakin digdaya. Kontribusi mereka meningkat dari
sebelumnya 42,19% dan sekarang menjadi 46,12% (BPS, 2018). Persoalan akan
semakin terasa berat jika kita sandingkan pula hasil-hasil survei ketimpangan
yang dirilis oleh beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia, Credit
Suisse, dan Oxfam yang menunjukkan betapa elitnya 1% penduduk terkaya di
Indonesia dalam penguasaan total kekayaan di seluruh penjuru negeri.
Ketimpangan antardaerah
pun setelah berlakunya era desentralisasi juga tidak mampu menunjukkan
perbaikan yang progresif. Jika proporsi kue-kue pembangunan berdasarkan
agregat PDRB 34 provinsi di Indonesia kita hitung mulai dari tahun 2000-2016,
daerah-daerah di Pulau Jawa masih tampil dominan dengan menampung lebih dari
setengah agregatnya. Rata-rata daerah di Pulau Jawa jika diagregatkan
memiliki kontribusi di kisaran 58%. Pulau Sumatera yang menempati urutan
kedua pun masih terpaut jauh di bawahnya dengan rata-rata kontribusi 22,2%.
Kondisi yang paling tragis terjadi di gugusan Maluku dan Papua yang hanya
menyumbang rata-rata sekitar 2,14%.
Paradigma pembangunan yang
dianggap amat “Jawa Sentris” lantas membuat daerah-daerah lain merasa
dianaktirikan. Oleh karena itu menjadi sangat wajar ketika isu-isu
separatisme tumbuh subur di daerah-daerah yang menjadi korban ketimpangan.
Atas dalih tersebut, muncul pertanyaan sejauh mana kita terus membiarkan pola
pembangunan yang akan berjalan seperti ini? Desentralisasi kebijakan yang
dalam sejarahnya diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pelayanan
pembangunan, malah justru memberikan karpet merah kepada bahaya meningkatnya
ketimpangan.
Kita perlu mewaspadai
bahwasanya ketimpangan distribusi kekayaan dalam bentuk harta maupun dalam
bentuk aset, karena dapat memicu banyak hal yang cenderung berdampak negatif
terhadap stabilitas/keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah/negara. Oleh
sebab itu, perlu upaya ekstra dan penuh kehati-hatian dalam penanganannya,
karena bisa berpengaruh terhadap eksistensi para orang kaya dan yang non kaya
secara sekaligus.
Sebelumnya, kita perlu
mengidentifikasi terlebih dahulu bagaimana ketimpangan itu bisa terjadi?
Faktor-faktor penyebab yang paling umum biasanya berawal dari kesenjangan
akses untuk penguasaan sumber daya ekonomi, misal kualitas SDM,
agronomis/kualitas lahan, dan juga terkait akses permodalan yang jika
diagregatkan bisa mendorong suatu individu/wilayah tumbuh melesat (lebih
maju) daripada individu/wilayah yang lain. Selain itu juga disebabkan karena
perbedaan kemampuan dalam menghadapi dinamika pasar.
Bagi pelaku ekonomi yang
memiliki segudang talenta dan faktor-faktor pendukung yang lebih baik,
dinamika pasar tidak akan menghambat pertumbuhan ekonominya karena mereka
akan terus mampu bersaing dan menciptakan/menggunakan sumberdaya-sumberdaya
yang menguntungkan. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka bisa sampai turut
mengatur kebijakan politik melalui tangan pemerintah (seringkali disebut
perburuan rente/rent seeking), sehingga eksistensi usahanya tidak sampai
tergerus dinamika atau terus terlindungi.
Sedangkan pada posisi yang
lain, penduduk dengan endowment factor yang terbatas hanya dituntut terus
bersabar menghadapi kenyataan. Misalnya di balik harga-harga produk pertanian
yang seringkali naik-turun secara akrobatis, terdapat kisah pilu dari para
pelaku usahanya (petani) bahwa mereka tidak cukup banyak mendapat keuntungan
atas produksi yang dilakukan. Dalam kurun waktu 2014-2016, nilai tukar petani
(NTP) yang digunakan sebagai proxy kesejahteraan petani angkanya justru terus
di bawah 100 (bahkan terus menurun).
Angka tersebut
menginterpretasikan bahwa siklus ekonomi petani tengah mengalami defisit,
dimana kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan
kenaikan harga barang yang dikonsumsinya. Selain itu juga menjelaskan posisi
pendapatan petani yang turun dan berada di bawah nominal kebutuhan
pengeluarannya (baik untuk konsumsi maupun produksi).
Tanpa intervensi yang
tegas dari stakeholders terkait khusus dari pemerintah, ketimpangan ini
disinyalir akan kian melebar. Secara empiris ketimpangan memang selalu
terjadi, tidak hanya di negara yang menganut mekanisme pasar sebagai ujung
tombak kebijakannya, tetapi juga di negara dimana peran negara sangat besar
dalam mengelola sumber daya yang ada. Beberapa analisis ekonomi bersepakat,
fenomena ini bisa dikarenakan “playing field” yang berbeda antar pelaku
ekonomi.
Salah satu pelaku walaupun
sangat gigih dalam bekerja, tetapi hanya mendapatkan nilai tambah yang kecil.
Di lain pihak, ada pelaku ekonomi yang tidak perlu menguras banyak tenaga,
akan tetapi mereka mampu mendapatkan nilai tambah yang berlimpah ruah. Fakta
ini yang kemudian perlu menjadi perenungan agar tidak ada lagi pihak yang
bebas menari di atas punggung orang lain.
Dan disini penulis juga
melihat adanya kebijakan pemerintah (secara sengaja maupun tidak) yang
sepertinya hanya menguntungkan beberapa area, sektor, atau pihak tertentu,
dan diperparah dengan ketiadaan kebijakan yang bersifat asimetris dan
proporsional. Sehingga kebijakan tersebut manfaatnya cukup terbatas hanya di
beberapa area, sektor, dan pihak tertentu saja. Ketimpangan bisa juga
disebabkan karena kemampuan awal yang berbeda. Nah disinilah wacana
pentingnya peran pemerintah untuk dapat mendistribusikan kesejahteraan secara
lebih proporsional semakin tegas mengemuka.
Review
Kebijakan
Dengan heterogenitas yang
tinggi di negara kita, nyaris sulit mengharapkan akan ada kebijakan yang
cocok untuk semua daerah/wilayah se-Indonesia (one policy fit for all). Dalam
arti lain akan selalu dan perlu adanya koreksi yang komprehensif atas setiap
kebijakan yang diambil, mengingat keberagaman Indonesia baik dari kualitas
dan kuantitas sumber daya yang ada ikut memengaruhi gap hasil yang didapatkan
di setiap daerah.
Era desentralisasi yang
diwujudkan dengan penuh perjuangan seharusnya hasil yang didapat koheren
antara cita-cita dan realita. Oleh karena itu, secara politis perlu ada
tindakan-tindakan yang lebih praktis untuk memangkas kesenjangan sosial yang
ada pada saat ini, baik apakah itu kesenjangan secara individual maupun
antarwilayah.
Yang pertama, perlu ada
kompromi dan keberpihakan untuk merumuskan kebijakan di wilayah-wilayah
tertentu, agar kebijakan tersebut mampu mencapai tujuannya. Kuncinya disini
adalah apakah kebijakan tersebut cocok dan sesuai dengan kondisi riil yang
ada di lapangan. Misalnya saja, meskipun saat ini kebijakan industrialisasi
(barang dan jasa) masih menjadi primadona karena menawarkan nilai tambah yang
menggiurkan, akan tetapi perlu dipertimbangkan pula apakah revolusi ekonomi
melalui industri adalah kebijakan yang feasible di setiap daerah? Penulis meyakini
jawabannya adalah iya. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dalam
prosesnya tidak lantas asal-asalan. Misalnya, industri yang dikembangkan
adalah jenis industri yang faktor-faktor produksinya (bahan baku, SDM, lahan,
modal, serta didukung sarana prasarana infrastruktur) telah tersedia di
daerah tersebut.
Bagi daerah yang basisnya
pertanian, maka industri yang feasible untuk dibangun adalah industri
pertanian (agroindustri). Peran agroindustri akan sangat bermanfaat untuk
menciptakan kepastian pasar bagi petani dan membuka lapangan pekerjaan, serta
menawarkan nilai tambah yang lebih tinggi bagi masyarakat setempat.
Menyesuaikan rumusan kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi riil di
lapangan akan membuat sumber daya lokal mampu dioptimalkan, serta tidak
meninggalkan penduduk setempat hanya sebatas sebagai “penonton” pertunjukan.
Kedua, persoalan
ketimpangan sulit dituntaskan jika tidak diawali dari perencanaan yang
bersifat komprehensif. Kualitas perencanaan pembangunan dan penguatan peran
daerah sangat dibutuhkan terutama untuk mengurangi overlapping program dan
menghambat pencapaian tujuan.
Dan ketiga, dibutuhkan
adanya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Nah,
peluang bagi pemerintah pusat untuk “mengintervensi” kebijakan pemerintah
daerah cukup terbuka melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Penulis berharap
nilai DAK ke depannya dapat lebih besar lagi agar lebih mudah mencapai tujuan
nasional dan tanpa mengabaikan peran pemerintah daerah di dalam
pelaksanaannya.
Selama ini kita seringkali
menjumpai bagaimana adanya tumpang-tindih kebijakan antar pemerintah,
sehingga pelaksanaannya tidak memberikan hasil yang efektif dan efisien.
Justru dengan anggaran yang terbatas, seharusnya mulai dari perencanaannya
sudah dikelola secara terpadu agar pengerjaannya tidak setengah-setengah.
Karena nanti hasilnya juga akan sulit diterima secara optimal.
Peran pemerintah selalu
diharapkan menjadi sosok protagonis karena persoalan ketimpangan akan sulit
diselesaikan melalui mekanisme pasar. Oleh karena itu peran pemerintah akan
senantiasa dibutuhkan, hingga nanti masyarakat kita telah memiliki akses yang
relatif seimbang dan berkeadilan untuk menunjang aktivitas ekonominya.
Dengan bantuan sumber daya
fiskal yang sebagian besar dihasilkan dari penerimaan pajak, maka secara
tidak langsung pemerintah telah “diperintah” oleh masyarakat untuk merawat
hajat hidup pihak-pihak yang harus dilindungi. Semakin banyak masyarakat yang
menjadi kaya berkat kebijakan-kebijakan pemerintah, maka secara tidak
langsung pemerintah juga akan segera “kaya” dengan adanya potensi peningkatan
penerimaan pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar