Ancaman
Kebebasan Kreatif
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 12 April 2018
MUNGKIN tak ada yang menyangkal
terjadinya semacam kemorosotan atau degradasi moral dalam cara kita
berpolitik di negeri ini. Indikatornya itu muncul di banyak kesempatan dan
tempat, dalam bentuk bukan hanya penjarahan dana/fasilitas rakyat (korupsi),
perkelahian fisik di parlemen, keributan internal partai yang tiada habis,
retorika politik yang kasar, asasinasi karakter, penyebaran hoaks, ‘sembako’
di masa pemilihan, dan banyak perilaku, hingga sikap dan cara berpikir yang
rendah secara etis dan moral.
Sebagian dari kita (yang cukup
paham) tentu juga sepakat degradasi kualitas di atas terjadi lantaran
terbengkalai, dinafikan, hingga dihina bahkan ‘dibunuhnya’ secara sistematis
kebudayaan yang justru menjadi landasan dari cara berpolitik kita. Kebudayaan
dengan nilai, norma, dan etika yang terkandung dalam adat dan istiadatnya,
yang dibangun dan dipelihara selama ratusan bahkan ribuan tahun, merupakan
acuan dan anutan kita dalam hidup bermasyarakat dan menata diri, termasuk
dalam politik.
Penafian bahkan pengingkaran
kebudayaan dalam kehidupan berpolitik membuat dunia politik kehilangan semua hal
di atas (acuan nilai, norma, etika) dan membuatnya tidak berbudaya, tidak
beradab. Penafian itu bukan saja dalam hal tidak diposisikannya kebudayaan
secara semestinya dalam kehidupan bernegara (berpolitik kita). Tidak adanya
kebijakan yang komprehensif, termasuk dalam penganggarannya, tapi juga akses
hingga literasi budaya yang rendah di kalangan para politikus kita.
Jika di masa lalu, sejak awal masa
perjuangan kemerdekaan, hingga katakan akhir tahun 60-an, masih banyak kita
temui para politikus hingga pejabat negara yang mengonsumsi karya-karya
budaya di bidang artistik, sastra terutama. Konsumsi bahkan hingga tingkatan
addict itu bukan hanya menciptakan literasi kultural yang tinggi, tapi juga
memberi bobot atau kedalaman pada diskursus hingga retorika. Baik dalam
pidato maupun perdebatan misalnya, dari para politikus kita.
Bukan hal yang langka, bila dalam
orasi atau pernyataannya, para politikus mengutip kata-kata pujangga yang
kontemplatif sehingga political messages dapat menembus lapis makna kemanusiaan
yang lebih dalam.
Namun, semua itu kini tak lagi
terjadi. Langka sekali para politikus atau pejabat negara bahkan mendatangi
atau menyaksikan pertunjukan puisi (membeli buku puisi), cerita pendek,
teater, art performance, pameran seni rupa atau panggung tari, bila ia tidak
mengandung selebrasi (dengan selebritas) di dalamnya.
Yang terjadi, sebagian dari mereka
menggunakan peralatan artistik hanya untuk menggelembungkan popularitas atau
social power mereka. Lebih parah lagi, ketika mereka merusak puisi, dengan
menggunakannya sebagai political weapon untuk menyerang, menghina, bahkan
mengasasinasi karakter lawan-lawan politiknya.
Situasi semacam ini tentu saja
sangat merugikan. Bukan hanya bagi para pekerja dan pejuang seni dan budaya,
melainkan juga untuk perkembangan seni dan budaya itu sendiri. Pendangkalan
yang berkelanjutan berlangsung untuk menciptakan kerendahan adab dan
budayanya sendiri.
Tidak mengherankan dalam situasi
seperti ini terjadi, berulangkali, pemahaman yang bias bahkan keliru dalam
membaca karya seni/budaya. Lebih menggiriskan lagi ketika pemahaman yang bias
dan keliru itu didiseminasi, bahkan dengan cara represif agar orang lain
memiliki pemahaman dan apresiasi yang sama (dengan yang bias) itu.
Kasus
mutakhir
Sungguh tak terpuji, apalagi, jika
tafsir keliru tersebut malah dijadikan dalih yang dipelintir untuk sekali
menjadi arsenal politik untuk menaklukkan pihak lain (lawan). Sebuah gerak
manipulatif-represif yang dahulu terjadi secara vertikal atau struktural,
sebagaimana kejaksaan dan kepolisian di masa Orde Baru melakukannya pada
beberapa karya seni di masa itu.
Apa yang terjadi belakangan ini
tampaknya memberikan gejala yang mengarah pada situasi serupa di atas. Ketika
beberapa karya sastra ditafsir secara sepihak dan didiseminasi bahkan dengan
tekanan, pada pihak lain, bahwa tafsir itu ialah kebenaran makna sebenarnya.
Bahkan juga ada karya akademik,
yang juga menjadi bagian dari produk kreatif, diadili secara semena-mena
tanpa memedulikan bukan hanya ‘kebebasan mimbar’, yang mereka sendiri seolah
memperjuangkannya, tetapi juga poetica licentia yang merupakan ruang
kebebasan kreatif, artistik, dan akademik.
Bahwa tafsir sesungguhnya tidak
dapat dimonopoli sudah sejak lama harusnya kita sepakati, sebagai pelajaran dari
masa rezim Soeharto yang semena-mena melakukan monopoli tafsir. Sebuah karya,
apalagi seni, yang pada dasarnya ambigu seperti pasemon dalam kultur Jawa,
memiliki kodrat sejak awal purba ia diciptakan untuk multitafsir.
Di situlah seni memiliki makna dan
hikmah yang secara personal berbeda, tergantung pada latar belakang
penafsirnya. Di situlah seni menjadi sangat kaya, bahkan abadi, karena mampu
ditafsir ulang dan diberi konteks dalam ruang dan waktu yang berbeda. Kita
sama mafhum, dalam kedudukan itulah, kesenian menjadi produk utama yang
memperkaya dan memperdalam kebudayaan sebuah kaum (bangsa).
Dalam kasus mutakhir, misalnya,
sebuah puisi dari KH Mustofa Bisri yang dibacakan kembali oleh Ganjar
Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang kebetulan kandidat petahana, dipersoalkan
oleh sebagian kalangan karena dianggap ‘menyinggung’ kaidah satu agama. Agama
yang justru dibela oleh penciptanya dalam tingkatan yang tinggi.
Puisi yang sudah lama diciptakan,
juga berulangkali dibacakan itu sesungguhnya-–kita tak bisa berpura-pura tak
paham—-adalah sebuah refleksi kritis pada sikap keberagamaan kita. Sikap
manusia yang memang tidak akan sempurna, yang tentu membutuhkan
perbaikan-perbaikan sepanjang hidupnya, termasuk dengan cara refleksi kritis.
Refleksi kritis itu menjadi dalam
maknanya karena ia dihasilkan oleh seorang ulama besar. Tokoh yang justru
seumur hidupnya, juga dalam sejarah keturunannya membela dan memperjuangkan
Islam agar menjadi maslahat semua manusia, menjadi rahmatan lil alamin.
Apabila refleksi itu justru menimbulkan reaksi yang negatif, karena mungkin
tidak mampu menerima kritik itu sebagai bagian dari dirinya, justru itu kian
menunjukkan bahwa kritik-reflektif itu benar adanya.
Begitu pun refleksi puitik yang
disampaikan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam puisi gubahannya yang
diributkan belakangan ini. Ada sebagian tafsir yang secara kurang arif
menganggap itu sebagai penghinaan terhadap agama tertentu dengan cara
sebagaimana terurai di atas. Kalimat atau frasa dalam puisi itu diartikan secara
material dan diposisikan sebagai makna yang tunggal/benar, mengingkari kodrat
multitafsir dari karya seni.
Menjaga
kebudayaan kita
Tafsir kurang arif itu misalnya
memahami frasa ‘cadar dirimu’ secara material atau denotatif sebagai ‘cadar’
yang dipahami umum selalu penutup wajah. Padahal, frasa itu, sebagaimana
sebuah puisi, memiliki makna ganda karena kata ‘dirimu’ itu bisa mewakili
pikiran, hati, perasaan, perilaku, dan sebagainya.
Sebagai metafor ia tidak terlalu
autentik atau puitik karena sesungguhnya bentuk semacam banyak digunakan
dalam pelbagai jenis tulisan. Semacam katakanlah, ‘kesalehan sosial’ atau
‘imam politik’ atau ‘puasa kekuasaan’.
Sejenis ungkapan yang memadukan
kata/istilah yang dianggap sakral dengan yang bersifat profan untuk memberi
bobot (kedalaman) dari pesan yang hendak disampaikan. Maknanya pun tidak lagi
berdimensi sakral/spiritual, tapi lebih pada makna profan/sosial, mengikuti
kata kedua yang menjadi isi utama atau subjek dari frasa itu.
Begitu pun katakanlah perbandingan
antara sebuah nyanyian profan dan irama pembacaan kalimat suci. Yang
diperbandingkan jelas unsur estetis dan artistiknya, bukan kontennya. Melulu
mutu atau kualitas artistik dari bacaan yang penuh irama itu. Bukan sama
sekali perbandingan isi atau konten dari bacaan itu. Untuk hal yang pertama
jelas perbandingannya bersifat material (kualitas melodi) bukan perbandingan
makna (arti dari kontennya).
Mungkin hal itu sama bila kita
mendengar penyanyi Arab melagukan salawat di internet atau panggung pertunjukan,
dengan langgam penyanyi macam Celine Dion. Secara kualitatif dan rasional,
yang kita bandingkan ialah mutu lagu dan suaranya, bukan isi dari syairnya.
Maka kita akan jujur, kalau ternyata suara dan lagu Celine Dion lebih indah,
kita akan lebih kesengsem dengan alunan penyanyi asal Kanada itu.
Hal yang lebih penting dari
pemahaman sederhana di atas ialah apresiasi dan penghayatan kita pada produk
budaya sebagai elemen pemerkaya kehidupan dan kesejatian diri kita. Lebih
jauh sebagai acuan integritas dan modal kita dalam menjawab persoalan
mutakhir.
Jangan sampai apresiasi yang
keliru membuat kebudayaan malah jadi terpasung dan terdangkalkan. Apalagi
menjadi ancaman bagi para seniman dan produsen kebudayaan dalam
mengekspresikan gagasan atau karya-karyanya.
Represi, baik vertikal maupun
horizontal terhadap produktif kreatif, kita mafhum bersama akan segera
menjadi ancaman bagi eksistensi kita sebagai bangsa. Tentu saja tidak ada
pihak mana pun yang menghendaki kehancuran kolektif, kehancuran sejarah dan
kebesaran yang telah dirintis, dibangun dan dipelihara oleh nenek moyang kita
semua ini. Saya sungguh percaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar