Drama
Cuci Otak
Inez Nimpuno ; Pengamat Masalah Penerapan Kebijakan Kesehatan;
Bekerja di Kementerian Kesehatan, Negara
Bagian Australian Capital Territory
|
MEDIA
INDONESIA, 13 April 2018
PRAKTIK cuci otak Dr dr Terawan
Agus Putranto SpRad menuai debat, terutama setelah keluarnya pemberhentian
izin praktik selama 12 bulan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
IDI kepada dr Terawan. Tulisan ini mencoba memetakan mengapa IDI perlu
melakukan tindakan itu dan bagaimana agar upaya dr Terawan dapat didukung
tanpa menyalahi aturan kode etik profesi sebagai dokter.
Pihak pendukung menyesalkan sikap
IDI yang seolah tidak cukup nasionalis dan tidak mendukung ’karya anak
bangsa’ sembari menyajikan sejumlah testimoni. Padahal, testimoni bukanlah
alat bukti ilmiah tanpa ada tahapan uji klinis yang sistematis, konsisten,
dan ilmiah.
Dari arah yang berbeda, komunitas
kedokteran mencoba membuka ’mata’ publik bahwa inti persoalan ada pada
profesi, bukan personal. Itu sejalan sikap IDI yang antara lain meminta dr
Terawan patuh pada nilai dan aturan profesi kedokteran yang meminta dilakukan
berlandaskan keilmuan, alias kebenaran, yang diekspresikan sebagai evidence
based medicine (EBM).
Namun, karena larangan IDI
memiliki keterbatasan ruang penjelasan, muncul kecurigaan aneh-aneh terkait
dengan isu kecemburuan profesi.
Polemik itu pada akhirnya menuai
kebingungan di kalangan awam, bahkan di kalangan praktisi kesehatan. Itu
disebabkan munculnya argumen tumpang-tindih antara soal etik, uji ilmiah,
hukum/regulasi, solidaritas dan kolegialitas, nasionalisme, dan bahkan agama.
Terlebih IDI yang tampak menjadi
ragu-ragu memutuskan menangguhkan pelaksanaan sanksi terhadap dr Terawan.
Penangguhan itu mengundang spekulasi publik, bahwa sebagai lembaga tertinggi
profesi kedokteran, IDI kurang ’kuasa’-nya untuk menindak anggotanya yang
semula diyakini menyalahi kode etik profesinya.
Bukti
ilmiah
Tidak hanya sekali ini penulis dan
beberapa pemerhati kesehatan mengangkat perlunya bukti hasil uji ilmiah medis
(EBM) sebagai harga ’mati’ menetapkan dasar pijakan praktik kedokteran.
Dokter dan semua penyedia layanan kesehatan terikat pada etika untuk
menyediakan layanan kesehatan yang ber-EBM dengan sebaik dan serealistis
mungkin. Hal itu diterapkan dalam rangka perlindungan kepada pasien
semaksimal mungkin.
Mendapatkan bukti hasil uji ilmiah
dengan standar baku internasional melibatkan tahapan dan proses panjang.
Dimulai uji praklinis yang bertujuan menguji sebuah konsep obat atau alat
kesehatan dan kelayakan penerapannya kepada manusia pascauji coba. Dilanjutkan
uji klinis yang didesain menguji kemanjuran obat atau cara terapi baru yang
berstatus belum terbukti efektif menyembuhkan. Uji klinis juga bisa dipakai
membandingkan satu jenis terapi dengan jenis terapi lainnya dan menguji yang
paling efektif pada sejumlah pasien dengan tahapan penyakit atau kondisi
individual berbeda.
Dalam proses perpindahan dari uji
coba tanpa manusia dan kemudian maju ke tahap dicobakan ke manusia, uji coba
itu wajib ’lolos kajian etika penelitian’ (ethics approval). Tujuannya
memastikan perlindungan hak mereka yang menjadi objek penelitian sekaligus
melindungi pihak peneliti dari pelanggaran HAM.
Ethics approval juga menjamin
penerbitan hasil penelitian ilmiah di jurnal yang mensyaratkan makalah ilmiah
harus lolos penilaian sejawat (peer review) sebelum makalah terbit di jurnal
itu.
Tanda
kebenaran ilmiah
Di sebuah jurnal medis, dr Terawan
memublikasikan hasil penelitiannya, terapi stroke menggunakan metode
diagnostik digital subtraction angiography (DSA). IDI dalam SK MKEK PB IDI 12
Februari 2018 merespons publikasi itu dengan analisis dan kesimpulan
penelitian dr Terawan belum tuntas. Artinya, belum ada konfirmasi dan persetujuan
akademik, penggunaan DSA sebagai terapi sudah ber-EBM.
Hal yang normal jika sebuah
publikasi melaporkan penelitian ’yang belum selesai’. Namun, yang penting,
bagaimana penelitian selesai demi mendapatkan EBM dan dilaporkan kembali pada
publikasi berikutnya.
Menjadi sebuah persoalan kalau
’yang belum ber-EBM’ lalu dianggap ’sudah ber-EBM’ dan kemudian digunakan
kepada pasien. Apalagi tanpa ada surat keterangan yang menyatakan pasien
menerima ’terapi’ yang berstatus masih dalam uji penelitian. Persoalan bisa
menjadi lebih lebar tatkala pasien membayar tindakan terapi yang pada
dasarnya masih dalam tahap ’uji’ itu.
Peran
negara
Tugas negara melindungi rakyatnya,
termasuk melindungi pasien dan juga peneliti. Dari sudut hukum, negara harus
menciptakan payung hukum, rujukan bagaimana praktik sebuah penelitian dan
layanan kesehatan dilaksanakan dalam koridor perlindungan HAM.
Satu hal lagi yang juga cukup
kompleks ialah bagaimana payung hukum yang ada dapat terus-menerus dimonitor
kemutakhirannya dalam upaya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Negara juga harus mendukung dan
menjamin IDI sebagai lembaga profesi kedokteran yang independen dan bisa
mempunyai kekuasaan yang layak dalam menjalankan perannya. Termasuk peran
menjaga kepentingan dokter sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan dengan standar EBM.
Usaha mereformasi kekuasaan IDI
seyogianya harus dilakukan. Memperbesar kekuasaan IDI bisa dilakukan dengan
meningkatkan sumber daya lembaga sehingga mampu meraih kepercayaan masyarakat
untuk menyelesaikan persoalan. Peningkatan sumber daya ini juga termasuk
peningkatan kemampuan IDI dalam mendukung inovasi karya anak bangsa. IDI
dapat mengupayakan agar negara memberikan bantuan biaya untuk seorang anak
bangsa mampu melewati semua tahap uji ilmiah yang akhirnya bisa di klaim
sebagai ’ber-EBM’.
Harapan
masa depan
Kita sering mendengar slogan
’jadilah pasien yang pintar’. Pasien diharapkan mengerti praktik kedokteran
sehingga paham masalah yang dihadapinya. Memahamkan masyarakat akan proses
praktik kedokteran, termasuk kaidah penelitian dan soal etika di belakang
praktik kedokteran, sangat penting dilakukan.
Misalnya, dengan lebih banyak
debat publik tanpa campur tangan kepentingan politik akan membuat awam lebih mengerti
masalah kedokteran dan pelayanan kesehatan. Pada saat yang sama, peneliti dan
praktisi kedokteran juga akan terbiasa perihal menyediakan transparansi
proses pengobatan yang telah teruji sebagai hak pasien. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar