Memperkuat
Demokrasi, Memajukan Bangsa
Abdul Mu’ti ; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 16 April 2018
Judul artikel ini diambil
dari tema Halaqah Kebangsaan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(12/4). Acara tersebut dihadiri oleh
pimpinan teras seluruh partai politik kontestan Pemilu 2019. Secara bahasa,
halaqah berarti lingkaran ilmiah di mana para peserta melakukan curah pikir
membahas suatu masalah. Dalam sejarah pendidikan Islam, halaqah merupakan
cikal bakal lembaga pendidikan. Para sahabat Nabi Muhammad SAW membentuk
halaqah untuk membahas wahyu Alquran dan mendiskusikan masalah-masalah keagamaan,
sosial, politik, dan sebagainya. Sesuai dengan makna dan landasan historisnya,
Halaqah Kebangsaan dimak sudkan sebagai ajang silaturahmi dan silatulfikri
(curah pendapat) tentang problematika demokrasi di Indonesia, khususnya yang
terkait dengan kemajuan bangsa.
Involusi
Demokrasi
Setelah Reformasi 1998,
Indonesia berkembang menjadi negara yang demokratis. In donesia mendapatkan
apresiasi internasional dan model demokrasi yang damai. Perkembangan
demokrasi di Indonesia mematahkan “mitos” bahwa agama (Islam) tidak
kompatibel dengan demokrasi. Banyak negara dunia ketiga berbondong-bon - dong
belajar berdemokrasi. Walaupun demikian per ja - lanan demokrasi setelah 20
ta - hun Reformasi belum ber kem - bang sebagaimana yang di ha - rap kan.
Sohibul Iman, Presiden Par tai Keadilan Sejahtera (PKS), memaparkan beberapa
masalah demokrasi antara lain mahalnya biaya politik, oligarki ke kuasaan,
saling menyandera di antara elite politik, dan po li - tik yang involutif.
Hal senada ju - ga
disampaikan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Ke - bangkitan Bangsa (PKB),
dan Ro mahurmuzi, Ketua Umum Par tai Persatuan Pembangunan (PPP) yang melihat
gejala defi s it demo k ra si . Ada beberapa indikator in vo lusi dan defisit
demo - krasi. Per tama, politik yang anar kis tis. Praktik politik penuh de
ngan keculasan, ke - curangan, dan kekerasan. Terjadi mutual distrust di
antara dan di dalam tu buh partai serta para elite dan ma syarakat. Sebagian
elite bah kan dengan sengaja menebar kebencian dengan pernyataan yang memicu
perpecahan.
De mokrasi bisa menjadi
salah satu sumber perpecahan dan me ru sak persatuan bangsa. Wa lau pun tidak
terbukti, an - cam an bah wa Indonesia akan meng alami Balkanisme dan ter -
pe cah-belah mungkin saja ter - jadi. Prabowo Subianto meng - ingat kan
kemungkinan Indo - ne sia bubar pada 2030. Banyak yang menampik pernyataan
Pra bo wo. Tapi, harus diakui, fondasi sosial-budaya Indo ne - sia masih
rapuh untuk berdiri te gak se ba gai negara de mo - kratis. Kedua,
partisipasi politik masyarakat yang rendah. Apa - tisme dan pragmatisme
politik terlihat jelas dalam perhelatan po litik seperti pilkada dan pe - mi
lu legislatif. Sikap negatif ma - syarakat terhadap demokrasi disebabkan oleh
realitas di ma - na demokrasi hanya mengun - tungkan elite partai politik. Na
- sib kaum alit tidak jauh ber - ubah.
Mereka hanya menjadi
komoditas politik. Kesen jang - an kawasan dan golongan ma - sih menganga.
Kemakmuran masih jauh bagi s e b a g ian besar rakyat. Rasio gini Indonesia
te tap tinggi walau menghirup uda ra demokrasi. Di tengah eko nomi yang ter
pu - ruk, demokrasi menumbuhkan prag ma tisme di mana ma sya - rakat m e
milih karena alasan ekonomi, bukan idealisme. Ketiga, adanya fenomena arus
balik demokrasi di mana sebagian masyarakat mempersoal kan sistem demokrasi.
Di ka langan muslim terdapat ke - lom pok yang berpendapat bah - wa demokrasi
adalah sistem kafir dan taghut. Mereka menolak demokrasi dan menawarkan
sistem khilafah sebagai peng - gan ti demokrasi.
Selain mereka yang menolak
dengan argumen teologis-ideologis, terdapat ke - lompok yang menentang kare -
na alasan pragmatis-empiris. Kelompok kedua sangat kritis dan pesimistis
dengan demo - krasi. Sistem demokrasi tidak hanya menjauhkan mereka dari
mimpi kesejahteraan, tetapi le - bih serius lagi memalingkan bangsa dari
moralitas dan ke - hidupan yang menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Per
ban dingan yang sering dikemukakan adalah Singapura dan Tiong kok. Delusi dan
dele gi ti masi demo - krasi dilakukan oleh ber - ba gai kelompok antara lain
de - ngan mendorong kebangkitan militerisme dan amen - demen total UUD 1945.
Memajukan
Demokrasi
Tidak hanya di Indonesia,
di negara-negara yang maju se kalipun seperti Jerman, Ame ri ka Serikat, dan
Inggris, de mo krasi tetaplah merupakan sis tem yang tak sempurna. Walau
demikian, jika dilaksanakan dengan benar sesuai dengan nilai, norma, dan
spirit pembentukannya, demokrasi me ru pakan sistem yang paling mung kin.
Dalam kaidah usul fikih, mala yudraku kulluhu la yut raku kulluhu , sesuatu
yang tidak bisa diterima semuanya janganlah dibuang seluruhnya. Karena itu
yang niscaya dila kukan adalah memperkuat dan menyempurnakan demokrasi. We
are at the point of no return .
Tidak ada alasan untuk
surut. Ide dan gerakan menolak de mo - krasi adalah utopia yang lebih
berpotensi membawa Indonesia pada kemunduran dan per - pecahan. Ada beberapa
langkah yang perlu dilakukan untuk mem - per kuat demokrasi. Pertama,
memperkuat partai politik se - ba gai institusi demokrasi. Re - gu lasi
kepartaian perlu diubah. Sebagian mengusulkan agar anggaran negara untuk
partai politik ditingkatkan sehingga bisa mengurangi politik uang.
Fisibilitas ide ini memang kecil karena korupsi lebih banyak disebabkan
faktor kultur. Ga - gas an mengubah sistem pemilu legislatif dan pemilukada
ke arah koalisi yang relatif per ma - nen tampaknya perlu lebih se - rius
dipertimbangkan.
Kedua, mendorong penguat -
an masyarakat sipil dan ke kuat - an kelas menengah. Seiring de - ngan
pertumbuhan ekonomi, jumlah middle income group te - rus meningkat. Sayangnya
ke - lom pok tersebut belum tum - buh menjadi kekuatan kelas menengah. Bahkan
di kalangan kelas menengah sendiri ter da - pat kontestasi antara kelompok
kelas menengah yang mapan (rulis/established middle), kelas menengah yang
terjerembab akibat demokrasi (falling middle class ), dan kelas menengah yang
tengah bangkit (rising middle class ). Kelompok pertama dan kedua cenderung
kurang su portif terhadap demokrasi. Agenda besarnya adalah bagaimana
mendorong kelompok middle income menjadi kekuatan rising middle class .
Ketiga, menegakkan hukum
dan memperkuat bangunan multikulturalisme. Demokrasi dan multikulturalisme
adalah sepasang pranata yang saling menyempurnakan. Nilai-nilai toleransi,
egalitarianisme, me - ri tokrasi, dan transparansi mele kat dalam demokrasi
dan multikulturalisme. Pada tahap awal, hukum dan perundangan yang ditegakkan
dengan adil bisa menjadi peranti hard pluralism yang membentuk ma syarakat
multikultural secara eksternal. Untuk jangka panjang, perlu terus-menerus
dipupuk budaya pluralisme melalui pe - nguatan Pancasila sebagai dasar
negara. Agama dan ormas ke - agamaan dapat diperkuat se bagai lembaga yang
meman du agar demokrasi tetap berada pa da jalan yang lurus di atas akhlak
yang utama.
Demokrasi meniscayakan
ruang terbuka di mana semua warga dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi
tanpa adanya ancaman. Selain itu diperlukan jiwa besar untuk saling berbagi
kekuasaan (sharing power), akomodasi kebinekaan, dan komitmen kebangsaan
bahwa kepen ting - an bangsa harus lebih dinomorsatukan di atas ambisi
perseorangan dan golongan.
Dalam konteks inilah
Halaqah Kebangsaan seperti yang telah dimulai oleh Muhammadiyah dapat
diselenggarakan oleh organisasi yang lainnya. Demokrasi yang kuat adalah
prasyarat utama kemajuan bangsa. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar