Polemik
Perintah Penetapan Tersangka
Marcus Priyo Gunarto ; Guru Besar Hukum Pidana
|
MEDIA
INDONESIA, 18 April 2018
UNTUK kesekian kalinya masyarakat
pemerhati peradilan pidana di Indonesia terhenyak. Ketika hakim Effendi
Mukhtar selaku hakim tunggal dalam perkara praperadilan nomor
24/Pid.Pra/2018/PN JKT.SEL menjatuhkan putusan 'Memerintahkan termohon untuk
melakukan proses hukum selanjutnya, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank
Century dalam bentuk melakukan penyidikan, dan menetapkan tersangka terhadap
Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan. Sebagaimana
tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya atau
melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di
Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat'.
Putusan itu dipandang tidak biasa
karena perintah untuk menetapkan tersangka tidak termasuk kompetensi
praperadilan yang selama ini berlaku dan dipandang melampaui wewenang karena
penetapan tersangka merupakan wewenang penyidik setelah terpenuhinya minimum
alat bukti, serta kecocokan antara perbuatan yang dilakukan dan unsur delik
yang dipersangkakan.
Menurut Pasal 77 KUHAP, kompetensi
praperadilan ialah tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, tuntutan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selanjutnya berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LN RI Tahun 1981, Nomor 76, TLNRI No
3209) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Artinya, putusan
hakim Effendi Mukhtar memerintahkan menetapkan tersangka dipandang melampaui
kewenangannya.
Putusan hakim telah dijatuhkan dan
putusan itu harus dianggap benar sampai dengan putusan itu dianulir hakim
lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, res judicata proveritate habetur.
Berbagai pendapat di masyarakat kemudian muncul mengingat hukum acara pidana
itu bersifat formil atau resmi. Apakah kemudian KPK, atau Polri harus
mengajukan tersangka ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat? Bagaimana jika
hasil penyidikan tidak cukup bukti untuk menetapkan tersangka? Tulisan dalam
segenggam ini akan mencoba mengulas dari perspektif hukum pidana.
Tidak linier
Dari sisi isi putusan '...melakukan penyidikan, dan menetapkan tersangka
terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan
sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya atau
melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan...' terdapat logika yang tidak linier
menurut tahapan pemeriksaan perkara pidana.
Sesuai dengan KUHAP, penetapan
tersangka baru akan dilaksanakan setelah penyidik berhasil mengumpulkan
sekurang-kurangnya dua alat bakti, dan telah berhasil membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi. Putusan hakim praperadilan tersebut di atas
jelas-jelas sudah memerintahkan untuk menetapkan tersangka terhadap Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan. Artinya tersangka
ditetapkan lebih dahulu, kemudian baru dilakukan proses penyelidikan,
penyidikan. Tahapan yang demikian tidak sesuai dengan tahapan dalam KUHAP dan
akan membawa ke praktik penegakan hukum masa lalu yang tidak sehat.
Ditetapkan sebagai tersangka dulu, baru kemudian dicari alat buktinya.
Bahwa hukum acara pidana sebagai
hukum pidana formil dipandang sebagai bidang hukum yang bersifat tertutup
dalam pengertian bahwa hanya badan-badan yang ditunjuk beserta kewenangan
yang disebut dalam undang-undang saja yang boleh dilaksanakan untuk
menegakkan hukum pidana materiil.
Hal itu tecermin di dalam Pasal 3
UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan 'Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini'. Meskipun rumusan
ini tidak sepenuhnya tepat, karena UU No 8 Tahun 1981 hanya berlaku bagi
peradilan pidana, sedangkan peradilan di luar itu masih ada peradilan
perdata, peradilan tata usaha negara, peradilan niaga, dan lain sebagainya,
dengan adanya frasa 'menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini'
pembentuk UU menghendaki bahwa segala kewenangan yang dilakukan aparat
penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana seperti penyidik, penuntut umum,
hakim, dan penasihat hukum terikat dan tidak boleh menyimpang dari UU No 8
Tahun 1981.
Bahwa dalam perjalanan waktu,
hukum acara pidana yang pada awal pembentukan disebut sebagai karya agung
bangsa Indonesia telah menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan tuntutan
rasa keadilan. Beberapa kelemahan itu kemudian memunculkan uji materi dan
praktik yang menyimpang dari ketentuan KUHAP.
Hal yang masih melekat dalam
ingatan kita ialah soal pembatalan penetapan tersangka melalui putusan hakim
Sarpin dalam kasus Komjen Budi Gunawan. Pada awalnya pembatalan tersangka
juga mengundang polemik, tetapi polemik itu kemudian terjawab melalui putusan
MK No 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menetapkan sah-tidaknya
penetapan tersangka menjadi salah satu kompetensi praperadilan.
Selanjutnya kompetensi
praperadilan untuk menguji sah-tidaknya penetapan tersangka telah banyak
digunakan beberapa pihak. Semisal Dahlan Iskan, Mattalitti, dan Setya
Novanto. Apakah perintah menetapkan seseorang sebagai tersangka termasuk
dalam frasa 'penetapan tersangka' sebagaimana dimaksud putusan MK No
21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang karenanya menjadi bagian dari
kompetensi praperadilan?
Jika dikembalikan pada maksud dan
tujuan lembaga praperadilan untuk mengontrol upaya paksa yang dilakukan
penyidik atau penuntut umum, tampaknya perintah untuk menetapkan seseorang
sebagai tersangka tidak termasuk dalam kompetensi praperadilan.
Namun, mengingat rasa keadilan masyarakat itu terus berkembang, bisa saja
perintah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka juga menjadi kompetensi
praperadilan. Mengingat adanya kepentingan korban, sehubungan terdapat
orang-orang 'tertentu' yang tidak/belum ditetapkan sebagai tersangka. Untuk
kepentingan ini perlu dilakukan uji materi, apakah perintah untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka merupakan bagian kompetensi praperadilan.
Memperhatikan isi dari putusan
praperadilan tersebut di atas, ada dua alternatif yang dapat dilakukan
termohon, yaitu melakukan proses hukum sendiri atau melimpahkannya kepada
kepolisian atau kejaksaan. Dari dua alternatif itu, termohon dapat memilih
salah satu yang masing-masing mempunyai membawa dampak risiko.
Apabila termohon (KPK) memilih
melakukan proses hukum sendiri, tentunya KPK akan memulai lagi mengumpulkan
alat bukti dan membuat terang tindak pidana terjadi guna menentukan
orang-orang yang disebut dalam putusan sebagai tersangka. Dalam keadaan
wajar, mengingat penanganan kasus Bank Century ini sudah berlangsung cukup
lama (sejak 2013), kecil kemungkinannya ditemukan alat bukti lain yang dapat
meyakinkan kesalahan tersangka.
Apabila alat bukti yang dapat
meyakinkan kesalahan para tersangka/terdakwa masih tetap minim atau tidak
cukup, apakah KPK akan tetap membawa perkara itu ke persidangan demi melaksanakan
perintah hakim praperadilan? Apabila KPK memaksakan perkara yang sebenarnya
belum cukup bukti itu ke persidangan, tentu ini adalah pilihan yang tidak
tepat. Pemaksaan itu akan membawa risiko terdakwa diputus bebas, karena tidak
adanya dukungan alat bukti yang cukup untuk meyakinkan hakim.
Selama ini KPK dipandang sebagai
penegak hukum yang nirsalah dalam penetapan tersangka maupun dalam
penuntutan. Adanya larangan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian
penyidikan) mendorong KPK sangat berhati-hati dalam penetapan tersangka dan
keakuratan dalam penuntutan.
Pilihan yang rasional
Pilihannya haruslah tetap pada pilihan yang rasional, KPK baru akan
mengajukan para tersangka sebagaimana disebut dalam putusan praperadilan
setelah KPK yakin bahwa alat bukti yang tersedia mampu membuktikan
keseluruhan unsur delik yang dipersangkakan.
Sebaliknya apabila termohon (KPK) memilih melimpahkannya kepada kepolisian
atau kejaksaan, tentu akan menimbulkan pertanyaan spekulasi dan pasti akan
menggerus kepercayaan publik kepada KPK. Karena berdasarkan UU KPK, justru
KPK-lah yang seharusnya mengambil alih penanganan perkara yang ditangani
Polri atau jaksa atas kasus korupsi yang penanganannya dipandang
berlarut-larut. Pihak Polri atau kejaksaan juga belum tentu mau menerima
pelimpahan dari KPK karena selama ini perkara telah ditangani KPK, dan salah
satu terdakwa telah dijatuhi pidana.
Peradilan pidana dapat diibaratkan
sebagai model pertempuran (battle model). Ketika seseorang ditetapkan sebagai
tersangka, sementara orang yang ditetapkan sebagai tersangka merasa tidak
bersalah, tentulah ia akan melakukan perlawanan. Hukum acara pidana
menyediakan sarana untuk itu. Ketika tersangka mengetahui bahwa dasar
penetapan tersangka didasarkan pada alat bukti yang lemah, tentulah tersangka
akan menggunakan haknya untuk melakukan perlawanan melalui praperadilan.
Di sini nanti akan terjadi putusan
praperadilan dilawan melalu praperadilan. Memang aneh, tetapi itulah praktik
hukum. Preseden tentang hal ini pernah terjadi pada kasus praperadilan yang
diajukan Ningsih Suciati mantan Dirut Bank of India di Denpasar, Bali.
Ningsih Suciati mengajukan gugatan
praperadilan atas penetapan dirinya selaku tersangka oleh Polda Bali. Polda
Bali menetapkan tersangka kepada Ningsih Suciati mantan Dirut Bank of India
atas dasar putusan praperadilan yang diajukan Kishore Kumar Tahilram di PN
Denpasar terhadap Polda Bali yang tidak melanjutkan penyidikan terhadap
terlapor (Ningsih Suciati).
Pada saat itu Polda Bali telah
mengeluarkan SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan) dan
menghentikan penyidikan terhadap Ningsih Suciati karena dianggap bukan
merupakan tindak pidana,
melainkan perbuatan malaadministrasi.
Di sini terjadi praperadilan atas penetapan tersangka berdasarkan putusan
praperadilan meskipun akhir dari putusan itu menolak gugatan atas keabsahan
penetapan tersangka dan tetap menetapkan Ningsih Suciati mantan Dirut Bank of
India sebagai tersangka. Berdasarkan preseden yang sudah ada, terbuka
kemungkinan para pihak mengajukan perlawanan melalui praperadilan atas
penetapan mereka sebagai tersangka.
Mungkin tidak akan menjadi polemik
apabila putusan praperadilan yang dijatuhkan tidak menyebut nama-nama untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka, tetapi cukup memerintahkan termohon
untuk tetap melanjutkan penyidikan karena akhir dari penyidikan ialah
penetapan tersangka. ●
|
sekarang kalian bisa memainkan permainan seru
BalasHapusMainkan Poker Online di agens128
dengan minimal deposit hanya 10rb untuk Poker Online
dengan pelayanan cepat dan ramah dari cs kami :)
tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami sekarang !!
Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / AGENS128
Line id : agens1288
WhatsApp : 085222555128