Jalan
Terang Pernikahan Dini
Reza Indragiri Amriel ; Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak,
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
(LPAI)
|
MEDIA
INDONESIA, 19 April 2018
"TOO
young to be married
Too
young to be free
But
what could they do, they were going to have a baby" (The Hollies)
Di pengujung 2017, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut Indonesia berada di
peringkat 10 besar dunia dalam masalah pernikahan dini, yakni sekitar 340
ribu anak menikah per tahunnya. Pernikahan dini bisa berupa dua bentuk.
Pertama, pernikahan yang dilakukan dua orang yang masih berumur anak-anak.
Contoh mutakhir, yang ramai menjadi pemberitaan hari-hari belakangan ini,
ialah pernikahan dua remaja berumur 15 dan 14 tahun di Sulawesi Selatan.
Kedua, pernikahan antara anak dan
orang dewasa. Salah satu contoh yang mengemuka ialah ketika seorang perjaka,
berumur 16 tahun, mempersunting perempuan berumur 71 tahun di Sumatra Selatan.
Selama ini kepada masyarakat sudah
dikampanyekan pencegahan pernikahan umur dini. Salah satu isu perlindungan
anak di tataran global juga mengenai tema itu. Dasar pemikirannya, pernikahan
mengharuskan adanya kesiapan berbagai aspek.
Pengantin yang secara fisik telah
siap tidak serta-merta juga memiliki kematangan psikis. Demikian pula dengan
kesiapan-kesiapan lainnya, misalnya sosial dan finansial, yang realitasnya
masih dijadikan sebagai kriteria bagi orang-orang yang ingin mengikatkan diri
dalam pernikahan.
Saya mendukung penuh langkah
pencegahan pernikahan dini perlu digencarkan. Persoalannya, bagaimana sikap
masyarakat terhadap anak-anak yang telanjur mengucap janji dalam ikatan
suami-istri? Pemerintah tampaknya telah menunjukkan atensinya untuk menangkal
pernikahan dini. Akan tetapi, terhadap pertanyaan di atas, pemerintah masih
perlu memperlihatkan sikap definitifnya.
Kadung
menikah, lantas?
Lazimnya, diskursus tentang
pernikahan umur dini memosisikan anak perempuan sebagai subjeknya. Unicef dan
banyak organisasi anak lainnya memiliki data melimpah tentang itu. Atas dasar
kelaziman itu, dalam rangka menghambat pernikahan umur belia, sekelompok
aktivis beberapa waktu silam mengajukan judicial review dengan berfokus hanya
pada penaikan umur perempuan boleh menikah, yakni dari 16 tahun ke 18 tahun.
Wacana lain yang juga berhubungan
dengan pernikahan dini ialah anak-anak dinikahkan tanpa mereka kehendaki.
Keluarga, utamanya orangtua, diyakini sebagai pihak yang memaksa dilangsungkannya
pernikahan.
Namun, pernikahan belia di Sumatra
Selatan dan Sulawesi Selatan seperti diilustrasikan di atas justru mengandung
dua kekontrasan dengan kejamakan itu semua. Pertama, berdasarkan warta media,
pengantin kanak-kanak itu tidak dipaksa untuk berumah tangga. Mereka sendiri
yang memutuskan mengikat diri sehidup semati.
Dalam sejumlah peristiwa
pernikahan dini, pasutri belia mengaku pernikahan mereka sebagai manifestasi
cinta platonis alias cinta batiniah. Bukan eros alias cinta badaniah. Kedua,
anak lelaki pun ternyata berinisiatif untuk melangsungkan pernikahan.
Di samping masih berumur
kanak-kanak dengan mengacu UU Perlindungan Anak, umur si mempelai lelaki
memang juga berada di bawah ketentuan UU Perkawinan. UU ini mencantumkan umur
19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi perempuan sebagai batas umur minimal
boleh menikah. Kendati demikian, karena pengantin lelaki sudah memperoleh
izin atau dispensasi dari negara, pernikahannya pun menjadi sah.
Walaupun pernikahan dini sudah
dicatat resmi oleh negara, sesungguhnya masih tersisa satu masalah. Yakni,
meski mempelai belia secara administrasi kependudukan sudah keluar dari
kelompok umur anak, mengacu pada UU Perlindungan Anak mereka tetap tergolong
anak-anak. Adapun anak-anak, merujuk pada UU yang sama, tidak boleh melakukan
kontak seksual. 'Gesekan' antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak ini
menciptakan situasi pelik yang perlu dicari titik temunya.
Inti persoalannya ialah legislasi
manakah yang menjadi lex specialis untuk dipedomani: UU Perkawinan ataukah UU
Perlindungan Anak? Para aktivis perlindungan anak punya perspektif terbelah.
Sebagian memosisikan UU Perkawinan sebagai hukum yang harus diutamakan,
sementara lainnya mendahulukan UU Perlindungan Anak. Untuk mengatasi
ketidakharmonisan antar-UU itu, saya menghindari sikap antipati dan mencoba
lebih berempati terhadap masalah pernikahan dini.
Saya meyakini anak-anak tidak
sepantasnya melangsungkan pernikahan. Masyarakat perlu terus-menerus
diedukasi akan risiko-risiko negatif yang bisa dihadapi mempelai usia
ingusan. Akan tetapi, ketika pernikahan sudah telanjur terjadi, sepahit apa
pun, pilihan itu seharusnya disikapi sebagai keputusan hidup yang jauh lebih
beradab dan bertanggung jawab daripada mereka melakukan hubungan seks di luar
pernikahan ataupun menyalurkan berahi ke pekerja seks komersial.
Konsekuensi sikap menghormati itu
berhadapan dengan keadaan di saat pernikahan dini kadung dilangsungkan,
negara mesti mendukung keputusan pasutri belia. Para pasutri itu tetap perlu
didoakan serta dikuatkan agar bisa saling mendewasakan secara jasmani dan
rohani. Secara fundamental, sangat tidak etis dan tidak realistis memaksa
pernikahan dini batal demi hukum karena salah satu ataupun kedua mempelai
masih berumur anak-anak dan terlarang melakukan kontak seksual. Juga tidak
arif menuntut diadakannya perceraian ketika kedua insan bau kencur yang
menikah itu sama sekali tidak memperlihatkan jalan keluar saat ada masalah
kecuali lewat perceraian.
Terhadap anak-anak yang telanjur
menikah dini, mereka patut tetap disikapi sebagai warga negara berumur
kanak-kanak. Tinggal lagi agenda berikutnya ialah memastikan negara gigih
berupaya maksimal memenuhi hak-hak pasutri yang, sekali lagi, dari sisi umur
biologis dan merujuk pada UU Perlindungan Anak masih tergolong anak-anak.
Hak-hak anak seperti yang
tercantum pada klaster Konvensi Hak Anak, semisal hak pendidikan, hidup
sehat, dan hak atas standar kesejahteraan merupakan sejumlah hak yang sudah
sepatutnya tetap melekat dan tidak ternihilkan betapa pun anak-anak telanjur
menikah dini. Berbagai kebijakan dan anggaran negara untuk urusan
perlindungan anak harus tetap teralokasikan bagi para pasutri belia sampai
mereka masuk ke umur dewasa.
Ketika hak-hak mereka terpenuhi,
masuk akal untuk berharap bahwa para pasutri baru gede itu akan bisa berperan
sebagai suami-istri secara optimal. Lebih krusial lagi, sekaligus inilah
esensi kepedulian atas fenomena pernikahan dini, ketika negara menjamin
pemenuhan hak-hak anak-anak yang menikah dini serta membekali mereka dengan
program-program edukasi keterampilan pengasuhan. Semoga para pasutri belia
itu akan mampu menjadi ayah-bunda yang efektif bagi anak-anak mereka. Melalui
pendekatan itu pula tersedia solusi bagi gesekan antara UU Perkawinan dan UU
Perlindungan Anak. Allahu a'lam. ●
|
sekarang kalian bisa memainkan permainan seru
BalasHapusMainkan Poker Online di agens128
dengan minimal deposit hanya 10rb untuk Poker Online
dengan pelayanan cepat dan ramah dari cs kami :)
tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami sekarang !!
Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / AGENS128
Line id : agens1288
WhatsApp : 085222555128
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapusIngin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusHarga Kaos Dakwah
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya