Pilkada Serentak dan Kualitas Demokrasi
Wawan Sobari ;
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Brawijaya
|
KOMPAS,
28 November 2015
Di luar aspek teknis,
pilkada serentak 2015 mempertaruhkan kredibilitas demokrasi sebagai pilihan konstitusional
pasca Orde Baru. Pilkada serentak di 269 daerah diharapkan mampu meningkatkan
kualitas demokrasi.
Faktanya, masih ada
kekeliruan berpikir terkait pengukuran keberhasilan pilkada. Komisi Pemilihan
Umum dan pemerintah lebih banyak menyoroti kesiapan dan keberhasilan teknis
penyelenggaraan. Misalnya, kesiapan logistik dan daftar pemilih, penghitungan
suara, kerangka hukum pemilu, pengaturan kampanye, dan manajemen kepemiluan.
Keberhasilan pemilu
sebenarnya bisa diukur melalui kontribusi jangka panjang terhadap perbaikan
kualitas demokrasi. Penyelenggaraan pemilu diyakini akan meningkatkan
kualitas partisipasi warga, daya saing antarentitas politik (competitiveness) dan kebebasan publik
dalam menyuarakan kepentingan. Dengan itu, keberhasilan pemilu tak sekadar
memenuhi target-target administratif-proses daripada substantif-hasil.
Perspektif apa yang tepat dalam mengukur kualitas demokrasi setelah pilkada
serentak?
Perspektif utama
Secara garis besar
terdapat sejumlah pendekatan berbasis kawasan dan kategori kemajuan negara
dalam mengukur kualitas demokrasi. Dalam sejumlah literatur dijelaskan bahwa
kualitas demokrasi di Eropa Barat,
Eropa Timur, dan Amerika Utara diukur melalui ketercapaian sejumlah aspek,
seperti kualitas representasi, akuntabilitas elektoral, responsivitas mandat
dan kebijakan, partisipasi, kebebasan efektif, dan derajat kompetisi. Melalui
aspek-aspek tersebut, kualitas demokrasi dinilai secara sekuensial sesuai
perspektif liberal yang mengacu pada tingkat konsolidasi demokrasi.
Di Amerika Latin,
ukuran kualitas demokrasi meliputi kebebasan efektif, daya saing, dan
partisipasi (Altman dan Perez-Linan, 2002). Berikutnya, ukuran kualitas
demokrasi di negara-negara dunia ketiga yang mengedepankan aspek-aspek
prosedural. Kompetisi politik yang adil antarentitas politik menjadi target
utama dalam proses elektoral. Selebihnya, demokrasi terkait upaya pemenuhan
kesetaraan antarwarga dan akuntabilitas pemerintahan terpilih.
Kesamaan dari berbagai
pendekatan itu adalah menilai kemajuan demokrasi melalui perspektif
konsolidasi. Demokrasi dikategorisasi dalam spektrum menuju kemajuan di satu
sisi dan sekadar bertahan (survival) di sisi lain. Salah satu kritik
Schendler (1998) terhadap perspektif tersebut adalah konsolidasi dianggap
paling tepat mengukur negara-negara demokrasi baru.
Reduksi otoriterisme
Dalam konteks
Indonesia, ukuran-ukuran kualitas demokrasi tersebut sebagian tidak relevan.
Penyebabnya, ada beberapa paradoks dalam praktik berdemokrasi yang justru
mengurangi kompatibilitas dengan ukuran-ukuran tersebut.
Pemerintah secara
resmi merujuk pada perspektif konsolidasi yang dominan itu. Kebebasan sipil,
hak-hak politik, dan lembaga demokrasi merupakan tiga aspek utama indeks
demokrasi Indonesia (IDI) yang perkembangannya merepresentasikan arah
konsolidasi. Hanya saja, ada ketidakrelevanan akibat beberapa paradoks
berdemokrasi.
Sejak pilkada pertama
kali digelar tahun 2005, sejumlah kelemahan dan ambivalensi terhadap
prinsip-prinsip demokrasi terus bermunculan. Di banyak pilkada ditemukan
betapa kuatnya peran parpol, ketidakadilan penyelenggara, rendahnya
partisipasi, dan maraknya kekerasan. Praktik-praktik itu semakin diperparah
oleh kuatnya dominasi elite politik lokal patronase terhadap warga dan
birokrasi.
Salah satu praktik
patronase adalah politik uang. Lingkaran Survei Indonesia menemukan
peningkatan skala dan pengaruh politik uang secara nasional dalam dua periode
pilkada. Survei Oktober 2005 menemukan bahwa 27,5 persen publik akan menerima
uang dan memilih calon yang memberi uang. Angka tersebut naik hingga 37,5
persen lima tahun kemudian (Oktober 2010). Pemberian uang memengaruhi pilihan
atas kandidat.
Kenaikan alokasi
Baru-baru ini, Menteri
Dalam Negeri mencium gelagat kenaikan drastis alokasi dana bantuan sosial (bansos)
dalam APBD. Kenaikan alokasi itu dicurigai sebagai bagian dari praktik beli
suara (vote-buying) calon petahana.
Mengutip data Fitra, ICW, dan Direktur Keuangan Kemendagri, terdapat 89
daerah yang menaikkan dana bansos berlipat kali.
Muara dari persoalan
itu adalah masih kuatnya infiltrasi praktik otoriterisme. Dalam studi
perbandingan politik dikenal praktik rezim hibrid atau otoriterisme
kompetitif. Menurut Corrales (2015), rezim hibrid menjalankan demokrasi dan
otoriterisme secara bersamaan. Pemimpin yang dipilih melalui pemilu justru
mempraktikkan kekuasaan otoriter yang menggerus fungsi kontrol dan oposisi.
Maka, ukuran-ukuran
kualitas demokrasi menjadi kurang relevan karena realitas empiris demokrasi
berjalan stagnan. Elite lokal dan para pendukungnya yang intensif menjalankan
politik patronase menjadi penyebabnya. Mengutip studi Case (2009) ukuran yang
relatif tepat justru merujuk pada kemampuan mereduksi otoriterisme (authoritarian durability). Untuk itu
ada tiga indikator utama yang bisa dikembangkan guna mengukur kualitas
demokrasi. Pertama, kemampuan mencegah pemusatan kekuasaan di tangan kepala
daerah. Tepatnya, mencegah intoleransi terhadap kritik dan oposisi kekuatan
pengontrol dan penyeimbang (legislatif, parpol, kelompok kepentingan, dan
bisnis).
Kedua, kapasitas
memperbaiki legitimasi kekuasaan dengan mendorong kepala daerah fokus pada
kinerja demi kemanfaatan publik daripada performa politik. Ketiga, mencegah
praktik partisipasi instrumental atau mobilisasi terhadap warga. Kepala daerah
didorong mempraktikkan partisipasi transformatif yang berorientasi perubahan
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar