Nasib KPK
Bambang Kesowo ; Ketua Dewan Penasihat
Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas
(IKAL)
|
KOMPAS,
07 Desember 2015
Tetap saja riuh berita
mengenai lembaga yang satu ini. Putus sambung bagai tiada habisnya. Berita
tentang wacana mereka yang marah, apalagi di media sosial, seakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dimatikan. Warta yang agak bernada lunak
menyebutkan, banyak pihak yang ingin membuat KPK lemah. Benarkah ada
keinginan agar pemberantasan korupsi dikendurkan, KPK dilemahkan atau
dimatikan? Rasanya KPK tak perlu dilemahkan, apalagi dibubarkan, setidaknya
untuk satu kurun waktu ke depan. Yang diperlukan, sekali lagi, penataan ulang
konsepsi, khususnya fungsi dan kewenangannya.
Sudah menjadi
pengetahuan umum, selama ini sangkaan yang paling keras ditujukan kepada DPR.
DPR-lah yang diejek paling menginginkan KPK lemah, dan malah mematok masa
keberadaannya. Selama ini banyak anggota DPR menjadi tersangka dan dijatuhi
pidana penjara karena korupsi. Dugaan lain yang juga disertakan pada sangkaan
tadi adalah bahwa KPK dibentuk dalam kondisi dan suasana tertentu sebagai
terobosan, dan karena itu sifat keberadaannya memang sementara. Istilah
menterengnya, bersifat ad hoc.
Mungkin saja sangkaan
seperti itu sedikit berlebihan. Bukankah DPR, yang di awal abad ke-21
mengemban amanah dan semangat reformasi, justru melahirkan KPK melalui sebuah
undang-undang? Karena itu, walau banyak anggota DPR terlibat urusan dengan
KPK, atau karena adanya keinginan untuk merevisi UU KPK, tetap saja kurang pas
kalau hal itu serta-merta dijadikan dasar pembenar sangkaan bahwa DPR-lah
yang menghendaki diperlonggarnya kegiatan pemberantasan korupsi, memperlemah
KPK, apalagi membubarkannya. Kecil nalarnya kalau DPR divonis demikian.
Kalaupun RUU
(perubahan UU) KPK merupakan inisiatif anggota dan menjadi usulan Dewan, dan
sekalipun kuasa membuat UU pada dasarnya merupakan bagian dari fungsi Dewan,
mungkinkah DPR menyusun dan menjadwalkannya sesuka sendiri tanpa kesepakatan
dengan pemerintah? Sebaliknya, kalau RUU itu merupakan prakarsa pemerintah,
katakanlah demikian, mungkinkah dijabar pandangan bahwa pemerintahlah yang
sebenarnya ingin memperlemah atau membubarkan KPK? Bukankah pemerintah
sekarang ini justru ingin menegakkan hukum dengan selurus-lurusnya, konsisten,
dan memberantas korupsi secara tanpa pandang bulu?
Karena itu, kalau
sekiranya benar ada RUU (perubahan UU) KPK-sejak sebulan lalu dijelaskan
bahwa pembahasannya hanya ditunda-sebaiknya tidaklah perlu hal itu
diperdebatkan atau apalagi saling lempar tanggung jawab. Lebih penting adalah
mengenali apa latar belakang pemikirannya, apa atau bagian mana yang akan
diubah atau diperbaiki, mengapa dan apa arah yang ingin dituju dengan
perubahan itu. Minggu lalu, tersiar DPR dan pemerintah "telah sepakat"
untuk membahas RUU tadi sebagai program legislasi 2015, dan memperbaiki
pengaturan empat soal: status penyidik, kemungkinan penghentian penyidikan,
pelaksanaan penyadapan, dan aspek pengawasan.
Pertanyaan yang
menggoda: akankah jadwal penyelesaian itu terpenuhi? Kalaupun keempat soal
tadi diperbaiki, apakah itu memberi jaminan tak ada lagi kegaduhan serupa di
masa depan? Pertanyaan pertama mungkin langsung dapat dijawab, bahwa jadwal
tadi pasti akan sulit dipenuhi. Untuk pertanyaan kedua, rasanya tak seorang pun
dapat memastikan.
Memperkuat KPK
Jika dirunut,
kegaduhan soal KPK anehnya bukan menyangkut masalah sekitar kinerja KPK atau
rendahnya kompetensi KPK terhadap fungsinya. Yang banyak terdengar, KPK malah
diberi apresiasi dan tepuk riuh setiap kali menangkap, menyatakan sebagai
tersangka, dan memidanakan koruptor. Persoalan justru berpangkal pada atau
timbul kalau menyangkut persinggungan dalam pelaksanaan fungsi KPK dengan
lembaga lain. Setidaknya ketika menyangkut reaksi terhadap gesekan dalam
pelaksanaan fungsi KPK. Entah berkaitan dengan kewenangan, posisi yang
dianggap berlebihan, kehormatan atau kebanggaan korps lain, ataupun karena
gesekan lain.
Tanpa keberanian
melihat soal-soal dan musabab tadi, revisi UU KPK jangan-jangan tak akan
menjamah inti persoalan. Katakanlah, sudah gaduh sekarang ini, nanti pun akan
tetap usrek. Keinginan Presiden
untuk memperkuat KPK memang tidak harus selalu dimaknai memberi lebih dari
apa yang sekarang dimiliki. Sebaliknya menghilangkan sumber masalah yang
selama ini menyebabkan "kegaduhan" juga mesti diartikan sebagai
memperkuat. Penegasan status termasuk soal perekrutan tenaga penyidik, walau
itu soal "cabang", sudah pasti dapat saja dibahas dan diatur.
Begitu pula soal lingkup kewenangan penyidikan (hingga boleh mengeluarkan
surat penghentian penyidikan atau tidak). Namun, soal penyadapan dan
pengawasan memang bagian dari persoalan inti yang sebaiknya dipikir ulang.
Rasanya semua masih
ingat, kelahiran KPK tahun 2002 dilatari kehendak kuat untuk lebih efektif
memberantas korupsi. Itulah kondisi obyektif waktu itu. Walau pahit,
kenyataan menunjukkan betapa waktu itu bergelayut penilaian tentang kurang
memuaskannya gereget, kinerja, dan capaian Polri dan Kejaksaan dalam
pemberantasan korupsi. Pembentukan KPK sebagai lembaga khusus dalam
pemberantasan korupsi di samping Polri dan Kejaksaan dapat dikatakan kehendak
keadaan. Perumusan fungsi dan kewenangan yang baru belakangan dikatakan hebat
dan luar biasa tampaknya seiring cita waktu itu untuk memiliki lembaga yang mrantasi, yang once and for all, nggegirisi.
Karena itu, kalaupun
baru sekarang muncul pengakuan bahwa semua itu cenderung berlebihan,
ujung-ujungnya itu juga cuma dianggap mengamini sinisme bahwa KPK lahir
ketika pikiran sedang panas dan perasaan geregetan melingkupi kejiwaan dalam
perpolitikan nasional semasa awal reformasi. Setidaknya, sekarang baru
dirasakan, betapa makhluk baru yang diciptakan secara hebat, luar biasa, dan
nggegirisi, ternyata dapat pula "memangsa penciptanya". Beberapa
kekuatan politik bahkan mulai mengkhawatirkan kondisi yang akan kian kurang
menguntungkan apabila dalam posisi seperti saat ini, KPK berada di tangan
kekuatan politik kelompok tertentu, atau jadi kekuatan politik yang kian tak
mudah dikendalikan.
Koordinasi penanganan kasus
Dalam tulisan penulis
sebelumnya (Kompas, 15/12/2012) telah diurai perlunya keberanian untuk
memikirkan ulang perumusan desain tentang fungsi dan kewenangan lembaga itu.
Setidaknya, dengan melupakan segala "kekeliruan langkah" di masa
lalu, jangka waktu dan pengalaman 12 tahun terakhir merupakan waktu yang
cukup untuk mengkaji kembali dan memperbaiki konsepsi dan langkah yang selama
ini dinilai kurang pas.
Dengan pertimbangan
urgensi ataupun kebutuhan khusus, dulu atau kini, keberadaan KPK sebagai lembaga
khusus di samping Polri dan Kejaksaan, dengan kewenangan yang
"bulat": menyelidik, menyidik, menuntut, hingga mencegah, semuanya
sudah bukan masalah lagi. Dalam konsep pikir itu, KPK melakukan koordinasi
dengan kedua instansi tadi. Perumusan hal itu sebagai tugas KPK sudah bagus,
tetapi masih perlukah hal itu disertai kewenangan "mengoordinasi"
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, meminta
informasi dan laporan dari instansi terkait (Pasal 7 UU KPK)? Dalam ketiadaan
kejelasan, bukankah pengertian pasal tersebut meliputi pengoordinasian
kepolisian dan kejaksaan? Masih perlukah fungsi dan kewenangan
"mengawasi" serta bahkan "mengambil alih" penyidikan dan
penuntutan yang sedang dilakukan kepolisian dan kejaksaan (Pasal 8 UU KPK)?
Lahir dengan
kewenangan pencegahan, menyelidik, menyidik, dan menuntut saja sebenarnya
sudah sama dengan kewenangan kepolisian dan kejaksaan jika digabung
sekaligus. Itu saja sudah hebat bukan? Lantas untuk apa sesungguhnya
pemberian tugas, fungsi, dan kewenangan seperti yang ada dalam Pasal 7 dan 8
tadi? Jauh dari sekadar perumusan atau alasan kepraktisan, tetapi rasanya
perlu dicermati adanya soal-soal yang lebih "makan hati" di balik
rumusan kedua pasal. Faktor psikologis yang melekat pada darah dan jiwa korps
kepolisian dan kejaksaan, instansi yang berusia setua republik ini, mungkin
bergejolak ketika tiba-tiba harus menerima keputusan politik yang degrading
dan bahkan disgracing martabat dan
kebanggaan. Berdasar Pasal 7 dan 8 UU KPK, mereka harus tunduk pada
koordinasi KPK. Mereka bahkan harus menyerahkan penanganan kasus korupsi yang
sedang mereka proses saat KPK menghendaki.
Beranikah kita membuka
mata hati bahwa kondisi itu yang bukan tak mungkin menimbulkan ekses dalam
sikap dan cara pandang warga korps kedua instansi tadi? Sekam ketidaksenangan
serasa ditumbuhkan. Masyarakat kita menyimpan memori kolektif bagaimana
gesekan atau benturan antarinstansi telah terjadi, dan jangan-jangan, atau
sesungguhnya, berpangkal karena ketersinggungan kehormatan dan kebanggaan
profesi. Sebaliknya, kalaupun ditaruh tes yang dibalik, di manakah ruginya
kalau rumusan tugas, fungsi, dan kewenangan yang rasanya tidak perlu tadi
ditiadakan saja? KPK pun tidak menjadi lemah karena itu. Biarkan ketiganya
berkompetisi dalam memberantas korupsi. Mana yang kurang, mana yang lemah,
akhirnya masyarakat dengan dukungan media yang kini sudah demikian bebas akan
mengetahui dan menilainya.
Kewenangan untuk
melakukan penyadapan, sekalipun dalam bingkai fungsi penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan, juga memerlukan penambahan aturan main yang baik. Bukan
menghapus, melainkan memperbaiki. Banyak argumentasi yang mengkhawatirkan
pembatasan atas kewenangan di bidang itu akan menyebabkan lambatnya
penanganan korupsi. Mestinya soal ini juga ditimbang dalam spektrum lebih
luas dan imbang. Secara konseptual, tindak penyadapan bertaut dengan hak
dasar manusia yang dijamin UUD. Karena itu, sungguh bagus apabila untuk isu
yang penting dan sangat mendasar ini, Komnas HAM dapat diminta menyampaikan
pandangannya. Pagar untuk kewenangan ini sebaiknya ada, dan tak baik kalau
terus dibiarkan open ended. Izin pengadilan jelas perlu, dan untuk itu
mestinya KPK dapat memberi bukti yang mendukung kebutuhannya, dan
memperolehnya dengan cepat dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bukankah
"jarak" di antara keduanya juga tak jauh?
Seluruh bangun tugas,
fungsi, dan kewenangan KPK sebagaimana dirumuskan dalam UU Nomor 30 Tahun
2002 memang luar biasa. Namun, baik juga jika sejenak disimak dengan tenang.
KPK praktis dibiarkan bekerja sendiri dalam koridor asas-asas yang diberikan
dalam Pasal 6 UU KPK, di antaranya disebut akuntabilitas dan kepentingan
umum, yang harus diartikannya sendiri. Sementara itu, ketika bicara tentang
tanggung jawab, Pasal 20 UU KPK hanya menyatakan bahwa KPK bertanggung jawab
kepada "publik". Tidak ada penjelasan siapa "publik"
tersebut, kecuali tuntunan bahwa pertanggungjawaban tadi dilaksanakan dengan
antara lain audit, menerbitkan laporan tahunan, dan membuka akses informasi.
Mungkin saja
ketidakjelasan ini yang membuat KPK seakan tak dapat tersentuh, dan tidak
dapat "dikendalikan". Pengawasan memang perlu ada. Tidak baik
sebuah sistem dengan kelembagaan yang dibentuk di dalamnya bergerak tanpa
pengawasan. KPK memang lembaga negara, yang dibentuk khusus dengan UU.
Betapapun, KPK bukanlah lembaga negara sebagaimana dikenali dalam UUD. DPR
dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya dapat dan berhak melakukan
pengawasan terhadap KPK, terlepas dari seberapa pun problem moral yang
ditanggungnya ketika banyak anggotanya yang terlibat urusan dengan KPK.
Yang paling utama,
ketika pemberantasan korupsi menjadi komitmen Presiden, dan penegakan hukum
juga menjadi program utamanya, serta menjalankan UU juga menjadi sumpah
sebelum memangku jabatan, maka Presiden jelas memiliki kewenangan pengawasan,
baik institusional maupun fungsional, seperti halnya terhadap Polri dan
Kejaksaan. Sebagai kepalanya negara, sebagai pemimpinnya pemerintahan,
presidenlah yang memegang tanggung jawab akhir. Presiden mesti punya
kewenangan untuk minta pertanggungjawaban tersebut, tanpa harus tercebur
dalam isu "campur tangan". Kita masih butuh KPK. Kita mesti
mendukungnya. Yang kita perlukan, KPK yang mantap, pemberantasan korupsi yang
makin efektif dan tuntas, tetapi tanpa kegaduhan yang melelahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar