Kongres Kesenian Indonesia III
Taufik Ikram Jamil ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
02 Desember 2015
Kongres Kesenian
Indonesia III mulai berlangsung di Bandung, 1-5 Desember pekan ini. Dihadiri
sekitar 700 seniman dan aktivis seni, Kongres Kesenian Indonesia (KKI) ini
diperkirakan lebih besar dibandingkan kegiatan serupa sebelumnya. Tahun 1995
dan 2005, misalnya, dengan peserta tidak lebih dari 400 orang pada
masing-masing KKI. Pemerintah menggelontorkan dana Rp 8 miliar pada KKI III,
bandingkan dengan biaya KKI II tahun 2005 yang menelan biaya Rp 2 miliar.
Mengusung tema
”Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan”, KKI III terkesan ingin membumikan
kesenian sebagai suatu aktivitas kerja. Oleh karena itu, KKI III harus
menghasilkan agenda operasional yang mampu digerakkan secara berpatutan,
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan dari mana kesenian tersebut wujud.
Tema KKI III memang
tidak terlepas dari tema KKI sebelumnya, katakanlah KKI II, yang berlangsung
saat negara memasuki era Reformasi. Adapun KKI I tahun 1995 saat negara
betul-betul sedang tenggelam dalam dominasi Orde Baru. Pada KKI II
dibicarakan tentang realitas, dinamisasi, dan kesadaran nasional dalam
kesenian, yang memperlihatkan kenyataan bahwa kesenian merupakan subkoordinat
dari negara. Kesenian diseret untuk menjawab pertanyaan sejauh mana perannya
didistribusikan untuk negara.
Dengan demikian, tidak
mengherankan jika kesenian harus ”patuh” pada negara. Praktiknya, perhatian
negara terhadap kesenian seragam dengan perhatian terhadap bidang lainnya.
Masih untung kalau perhatian tersebut berada pada kelompok humaniora yang
kesenian berada di dalamnya, tetapi nyatanya tidak demikian. Sebagaimana
halnya yang menjadi acuan pembangunan, kesenian di mata negara adalah elemen
dengan alat-alat ukur tertentu secara massal. Rumusnya apa yang didapat
secara material setelah disediakan stimulus tertentu.
Begitulah yang selalu
terdengar bahwa kesenian masih dianggap anak tiri oleh negara. Hal ini
terlihat dari kebijakan anggaran, bahkan di antara direktorat jenderal dalam
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Koalisi Seni Indonesia mencatat, pada
2013, dari Rp 73 triliun anggaran di Kemendikbud, hanya Rp 1,25 triliun untuk
dirjen kebudayaan. Nilai rupiah yang sampai ke Direktorat Kesenian dan Perfilman
yang dinaungi dirjen kebudayaan ini tentu jauh lebih kecil lagi, hanya Rp 225
miliar.
Otonomi daerah
Hal-hal yang tertera
pada dua paragraf di atas terjadi karena negara hanya dipandang sebagai
aktivitas geopolitik. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan bernegara
yang berorientasi sebagai pengembang kebudayaan sebagaimana terpatri dalam
UUD 1945, selain tersimpan dalam Pancasila. Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebenarnya adalah wadah kebudayaan di kawasan bekas Hindia Belanda.
Dalam kebudayaan, kesenian merupakan elemen utama selain beberapa sistem
lainnya, seperti religius, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan bahasa.
Ketika KKI II
dilaksanakan tahun 2005, usaha untuk memosisikan negara sebagai wadah
kebudayaan sebenarnya telah mulai dilaksanakan. Ini antara lain terlihat
dengan mengonkretkan konsep negara kesatuan yang di dalamnya mengandung unsur
adanya bagian-bagian, dijelmakan dengan istilah otonomi daerah. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan antara lain bahwa
pemerintah pusat menyerahkan urusan kebudayaan kepada pemerintah daerah dalam
kategori urusan wajib.
Dengan demikian,
adalah layak sejak pra-KKI III di Bandung, Desember 2014, disuarakan
bagaimana KKI III memperjuangkan secara konkret kesenian dalam konteks
otonomi daerah sebagai bentuk negara kesatuan. Setidak-tidaknya tangan
pemerintah pusat diperlukan untuk menggairahkan pemerintah daerah agar
memberdayakan kesenian yang ada di daerahnya sendiri, termasuk menggandeng
Kemendagri. Tidak seperti selama ini, kesenian justru memusat yang lebih
mengedepankan dominasi pendukung kesenian tertentu baik ditinjau dari segi
populasi maupun jarak.
Dalam pra-KKI III itu
terungkap bagaimana sebagian besar daerah masih berkutat dengan masalah
klasik, seperti ketiadaan fasilitas, dana, bahkan jaringan. Lalu lintas
aktivitas kesenian terbatas pada alur birokrasi yang menjadikan seniman
sebagai obyek, bukan subyek.
Kalaupun ada program
kesenian, hal itu sebagian besar tidak muncul dari tuntutan kreativitas
seniman, tetapi pendekatan birokrasi pemerintahan yang memusat pula, seperti
sistem penganggaran dengan kebekuan standarnya.
Dinamika
Kenyataan negara
dengan alas otonomi daerah dalam paham kebudayaan adalah sesuatu yang
bergerak. Dengan otonomi daerah, misalnya, Provinsi Kepulauan Riau dapat
mengembangkan kemaritiman dengan keberadaan lebih dari 3.000 pulau—berbatasan
langsung dengan Singapura dan Malaysia—menuntut pola pembinaan kesenian yang
berbeda dari provinsi lain, misalnya dengan Jawa Tengah. Di sisi lain, setiap
daerah tidak mungkin mengabaikan perkembangan sesamanya termasuk dengan apa
yang terjadi di belahan negara lain atau kesejagatan (globalisasi).
Seiring teknologi informasi
Hal di atas semakin
”terasa” karena arus teknologi komunikasi dan informasi yang mengiringi
sistem bernegara demikian dahsyat. Dalam 15 tahun terakhir, persis pada
rentang waktu penyelenggaraan KKI II dan III, pertumbuhan televisi melonjak
sampai 300 stasiun, dari hanya bilangan yang tak habis dihitung dengan jari
kedua belah tangan pada awal Reformasi. Dalam 15 tahun, jumlah sambungan
internet mencapai 60 juta, diiringi pemakaian telepon seluler sekitar 270
juta.
Informasi dari
berbagai sudut begitu deras masuk dalam kehidupan warga negara akibat
perkembangan teknologi komunikasi. Namun, berapa banyak informasi yang
bersumber dari komunitas warga negara patutlah membuat orang menggeleng.
Survei Nielsen 2012 menunjukkan, 95 persen sumber informasi berasal dari
televisi dengan isi siaran yang sebagian besar berupa hiburan dan asing pula.
Padahal, televisi memiliki kemampuan luar biasa untuk mengaduk-aduk pandangan
seseorang, sekelompok orang, termasuk bagi kreativitas kesenian.
Suatu keniscayaan jika
dipandang dari sudut perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memang.
Membendungnya tidak mungkin, tetapi membiarkannya pun bukanlah suatu
kebijakan. Dari sisi ini pulalah, ada suatu tugas kesenian dalam konteks
bernegara dengan alas otonomi daerah, untuk menyediakan informasi tempatan
yang sepadan dengan serbuan informasi dari luar tersebut. Jalinan keduanya
dapat menyalurkan napas tersendiri dalam kesenian, bahkan dalam perspektif
lebih luas, yakni budaya.
Dari kenyataan itu
pula, bukankah daerah kembali menjadi taruhan bagi kesenian Indonesia? Bagi
kesenian Indonesia yang pada hakikatnya adalah jejaring kesenian di daerah,
kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar