Minggu, 06 Juni 2021

 

BRIN, Sebuah Sisi Pandang

Bambang Kesowo ; Ketua Pokja Regulasi dan Insentif, Komite Inovasi Nasional 2010-2014

KOMPAS, 04 Juni 2021

 

 

                                                           

Sisi pandang kali ini bukan ihwal dan seluk-beluk riset itu sendiri. Bukan tentang substansi dan bagaimana melaksanakan riset. Itu urusan para cerdik pandai di dunia tersebut.

 

Di perguruan tinggi, jumlah mereka banyak. Di lembaga-lembaga pemerintahan juga banyak dan asalnya pun sebagian besar dari perguruan tinggi pula. Perdebatan tentang rasio tenaga periset yang rendah terhadap jumlah penduduk, sudah sering terdengar. Sama halnya dengan standardisasi dan kualifikasi tenaga riset atau kriteria dan mana yang layak disebut periset.

 

Begitu pula debat tentang dana riset yang jauh dari cukup dan dalil sekitar rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih jauh dari ideal, juga telah bertahun-tahun didengar. Pokoknya bukan soal menu dapur riset ataupun para chef berikut cara kerja mereka. Tulisan ini lebih ke aspek pengelolaan kebijakan dan kebutuhan lingkungan yang diperlukan.

 

Riset apa?

 

Setelah bolak-balik berganti dalam kelembagaan, mungkin pertanyaan yang relevan dan terpenting: mau riset apa? Jelasnya strategi riset apa dan mana yang diperlukan. Mengapa demikian? Sekian lama ibarat silih berganti kapal riset dan nakhoda, ujungnya juga tidak ke mana-mana dan tidak ada apa-apa.

 

Sekarang ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Dari sisi kelembagaan, akankah BRIN menjadi otoritas penentu arah, pilihan, dan prioritas riset sehingga kegiatan riset berjalan secara konkret dan efektif? Ataukah sekadar seperti Dewan Riset atau kementerian di masa sebelumnya sebagai penghimpun usulan rencana dan program, yang ujung-ujungnya hanya berkutat dalam birokrasi dan kertas, tetapi tidak jalan ke mana pun?

 

Menyimak dasar pemikiran pada Bab Menimbang Huruf b dan Pasal 1 Angka 1 Perpres Nomor 33 Tahun 2021, kesannya BRIN sekadar ”baju baru” lembaga dan mekanisme lama. Ketentuan Pasal 3 perpres tersebut menampilkan BRIN sebagai lembaga pelaksana, pengawas, pengendali, dan juga koordinator kegiatan penelitian. Rumusan tugas Pengarah pada Pasal 6 juga mengacu tugas BRIN sebagai perumus kebijakan penelitian dan lain-lain.

 

Baru ketika menyimak struktur organisasi pelaksana dalam Pasal 9, lingkup fungsi dan tugas BRIN menjangkau riset hampir di semua bidang, bahkan humaniora. Dengan setting ini, pertanyaan tadi belum terjawab. Selain ”baju baru”, alih-alih berpikir tentang ”reformasi” riset, pembentukan BRIN lebih tampil sebagai upaya perampingan kelembagaan riset dan mungkin birokrasinya.

 

Kecuali BPPT, pengintegrasian beberapa lembaga riset, seperti LIPI, Lapan, Batan ke dalam BRIN (Pasal 62 jo 69 Perpres) juga hanya membuat jawab pertanyaan tadi kian kabur. Selain itu, melebur kelembagaan tadi ke dalam BRIN, jangan-jangan hanya membuat persoalan lebih kompleks. Belum lagi banyak aspek lain lagi yang membuat perlunya Presiden waspada terhadap ekses yang timbul dari pemikiran dan langkah peleburan itu.

 

Lantas, bagaimana dengan pertanyaan dan dambaan tadi? Setelah sekian lama berjalan dengan banyak pengalaman dalam soal riset, pertanyaan sekitar kelahiran BRIN yang perannya digadang dalam pembangunan ke depan adalah: riset di bidang apa? Dengan pengaturan dalam pasal-pasal tadi, tampaknya pertanyaan tersebut belum terjawab. Yang dihadirkan hanya ”baju baru” BRIN dengan tempelan lembaga ”pengarah”.

 

Singkatnya, kelahiran BRIN belum memberikan kejelasan soal reformasi dan strategi riset itu sendiri. Kebutuhan akan adanya otoritas penentu arah, kebijakan, dan prioritas kegiatan riset sangatlah penting untuk membuat kegiatan riset itu sendiri konkret dan efektif. Otoritas yang benar-benar menentukan arah, fokus, dan prioritas riset. Ada kejelasan riset bidang apa yang mesti dilakukan, fokusnya, dan prioritasnya. Secara politik, otoritas di bidang riset ke depan sebaiknya jelas. Dan, BRIN awalnya menjadi dambaan.

 

Soal posisi ini sangat perlu dipertegas. Perjalanan dan pengalaman panjang dalam soal ini menunjukkan, koordinasi dan pengendalian bidang riset senyatanya bukan perkara yang sederhana. Adanya otoritas riset yang memegang kendali politik tentang kebijakan, arah, fokus, dan prioritas menjadi penting.

 

Bilamana lelah dengan berputarnya wacana dan benar-benar ingin membuat riset ini secara konkret mampu mendorong kehidupan dan kemajuan ekonomi, mesti ada keberanian politik untuk bersikap. Bukankah dengan segala keterbatasan saat ini, dengan dana yang harus diakui cekak, pilihan arah, fokus dan prioritas riset juga sepantasnya ada? Pastilah banyak dalam tubuh pemerintahan yang sangat tahu soal ini. Mengherankan, jika semua tampak beku menyikapinya. Justru kalaupun pegangan pembentukan BRIN adalah UU Cipta Kerja, yang namanya pilihan tersebut tetap perlu. Bukan lagi riset sapu jagat.

 

Determinasi politik

 

Bilamana perlu yang namanya determinasi politik, Presiden sebaiknya menegaskan bahwa riset di bidang industri mesti menjadi arah, fokus, dan prioritas. Industri di bidang pangan, kesehatan, ataupun manufaktur lainnya, termasuk kemampuan alutsista pertahanan, adalah untuk mewujudkan kemandirian ataupun meningkatkan daya saing dan itu menjadi kebutuhan dalam pembangunan.

 

Salah sedikit tidak apa, tetapi yang penting memulai secara benar. Nanti diperbaiki. Bukankah itu pula yang merupakan bagian penting dari komitmen Presiden untuk membangun bangsa dan negara dengan basis kemampuan manusia dan iptek? Bagian dari komitmen Presiden untuk membangun a knowledge based nation. Dengan instrumen kebijakan, penggunaan sumber daya dan kemampuan riset yang ada di lembaga-lembaga riset yang dimiliki negara ataupun dunia swasta, didorong lebih terarah dan optimal. Semangat berdikari juga dapat ditegakkan.

 

Dengan pilihan tersebut, berbagai rencana, program, dan kegiatan riset yang berbau kebijakan, tidak perlu diurus BRIN. Biarlah soal itu ditangani badan litbang di kementerian atau lembaga yang ada. Riset yang bersifat dasar termasuk soal-soal sosial, politik, kemasyarakatan atau budaya, biarlah dijalankan dan berkembang dengan inisiatif kampus. Presiden menetapkan kebijakan nasional di bidang riset baik arah, fokus, dan prioritasnya. Kalau harus dituangkan dalam pengaturan pun hal itu dapat dipertimbangkan.

 

Dengan menimbang liku-liku kebijakan dan program riset selama ini, ketegasan sikap dan kepastian arahan ini tampaknya bukanlah hal yang berlebihan. Determinasi politik dalam konteks ketegasan sikap dan kepastian arahan itu yang perlu. Konsentrasi BRIN dalam membuat jabaran kebijakan dan program riset menjadi lebih jelas dan fokus, tanpa harus bertumpuk dengan program riset lembaga-lembaga lain ataupun kampus.

 

Riset dan insentif

 

Dalam konteks arah, fokus dan prioritas pula, yang namanya keteguhan dan kejelasan sikap politik juga dibutuhkan bagi penciptaan iklim yang kondusif bagi kegiatan riset. Bukan rahasia lagi, yang diperlukan dalam dunia riset ini adalah insentif yang nyata dan efektif. Dengan ungkapan dan bentuk yang bagaimanapun, inilah salah satu core problem yang melingkupi. Di mana pun.

 

Konkretnya insentif fiskal. Baik untuk riset yang dasar ataupun (dan apalagi) terapan. Di masa lalu yang belum terlalu jauh, Presiden mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi.

 

Akan tetapi, jika disimak dengan tenang dan sabar, PP tersebut sesungguhnya sulit untuk dioperasionalkan. Bukan saja prosedurnya panjang dan berliku, realisasinya juga sangat bergantung pada tafsir dan kemurahan hati Menteri Keuangan dan jajaran fiskus. Dari sudut aturan perpajakan, pemberian insentif tersebut sangat bergantung pada makna frasa ”dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan” (Pasal 11 PP).

 

Walau rumusan tersebut standar, pelaksanaannya, besar kecilnya, bergantung ke soal tafsir di kalangan aparat yang terkait. Menerapkan apa adanya pun, apalagi kalau salah tafsir dan menerapkannya, jajaran fiskus sering khawatir dengan ancaman dakwaan merugikan negara atau tindak korupsi.

 

Keengganan yang menyelimuti soal tersebut, bagaimanapun telah mewarnai ketidakefektifan PP Nomor 35 Tahun 2007 tadi. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Komite Inovasi Nasional sekitar tahun 2013 pernah merekomendasikan perbaikan ke arah penyederhanaan prosedur dan konkretisasi insentif tadi. Namun, tampaknya hal itu belum sempat terjamah.

 

Kawalan politik

 

Sisi pandang lainnya adalah secepatnya menjernihkan isu politik yang melingkupi keberadaan BRIN. Ketimbang nantinya melihat BRIN tumbuh lemah karena prasangka politisasi yang menyelimutinya, bagus juga ditegaskan sekitar fungsi Pengarah BRIN yang ada dalam Pasal 6 Perpres Nomor 33 Tahun 2021. Kalau kata kuncinya kebijakan pokok, sebaiknya soal itu dikembalikan kepada Presiden.

 

Realitas politik riset yang bagai benang kusut selama ini, apalagi kalau menyangkut arah, fokus, dan prioritas riset sebaiknya diberikan oleh Presiden. Menjaga aspek politik dan ideologis dengan begitu telah ”inheren” dalam proses penyusunan kebijakan nasional yang telah ditetapkan Presiden. Fungsi institusi Pengarah lebih pada peneguhan, memastikan dan pengamanan jabaran program sesuai kebijakan Presiden.

 

Bagaimanapun langkah ini akan meredam spekulasi bahwa keberadaan institusi Pengarah dalam BRIN akan memolitikkan riset ataupun membebani riset dengan soal-soal ideologis lainnya. Pada saat yang sama, langkah tersebut dapat menjernihkan maksud yang sebenarnya bahwa fungsi lembaga pengarah justru menjadi penjaga sekaligus pengawas agar riset berlangsung sesuai arah, kebijakan, dan prioritas yang ditetapkan Presiden.

 

Bahwa semua program dan kegiatan riset benar-benar fokus bagi pembangunan ekonomi serta dipastikan demi kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan kehidupan bangsa.

 

Bangsa ini memiliki kemampuan besar untuk memahami bahwa soal politik dan ideologi, terutama soal Pancasila, telah diterima dan disepakati bangsa lewat mekanisme nasional yang dimilikinya. Kawalan terhadap soal ini juga berlangsung dengan tata cara dan lewat lembaga-lembaga negara dan kemasyarakatan yang secara konstitusional dibentuk serta dimiliki bangsa Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar