Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa Ki Cahyono Agus ; Ketua Umum Persatuan Keluarga Besar
Tamansiswa; Guru Besar UGM; Anggota Dewan Pendidikan DIY |
KOMPAS, 25 Juni 2021
Indonesia masih mengalami
krisis pendidikan nasional berkepanjangan, yang lebih diperparah dengan
krisis global akibat pandemi Covid-19. Sejumlah lembaga survei internasional
masih menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di urutan bawah. Laporan The
Learning Curve, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), TIMS
and PIRLS, World Education Forum PBB, World Literacy, menunjukkan kualitas
kita termasuk rendah. Demikian juga penilaian oleh UNESCO lewat Programme for
International Student Assessment (PISA) maupun UNDP melalui The Global
Knowledge Index. Tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat salah
satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan sebagaimana tertera di Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, tetapi
angka partisipasi kasar dan kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong
sangat rendah. Pemerintah juga harus
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Sementara perundangan di
bidang pendidikan cenderung tumpang tindih, egosektoral, dan belum mendukung
ekosistem dan atmosfer untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum. ”Omnibus
law” bidang pendidikan Indonesia tampaknya belum
mampu mencerdaskan kehidupan bangsa karena kualitas pendidikan, daya
literasi, dan numerik warganya masih memprihatinkan. Ki Hadjar Dewantara
telah menyampaikan sejak seabad yang lampau perlunya ”Lawan Sastra Ngesti
Mulya”, dengan ilmu pengetahuan menuju kemuliaan. Menyongsong seabad
kemerdekaan RI dan megatren dunia 2045, tampaknya restorasi sistem pendidikan
nasional menjadi sangat urgen. Diperlukan perundangan, kebijakan,
kepemimpinan, implementasi, komitmen, dan partisipasi yang kuat dari semua
insan pendidikan. UU Cipta Kerja akhirnya
telah mengeluarkan kluster pendidikan yang ditolak insan pendidikan. Namun,
masih menyisakan satu pasal tentang ”perizinan berusaha” dalam investasi.
Padahal, ini justru menjadi lubang jebakan utama menuju komersialisasi,
privatisasi, dan liberalisasi. Tampaknya perlu dikembangkan omnibus law
tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioal (Sisdiknas) terdapat beberapa
pasal dan ayat yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Alokasi dana pendidikan sebesar minimal
20 persen dari APBN dan APBD telah diubah MK agar sudah termasuk biaya
pendidikan kedinasan dan gaji. Terdapat pasal yang secara
substantif bertentangan dengan jiwa Pancasila dan cenderung liberalistik,
serta pelajaran Pancasila tidak ditetapkan sebagai pelajaran wajib. Padahal,
profil pelajar Pancasila sekarang menjadi jargon misi baru Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Setidaknya terdapat 20
perundangan yang perlu disinkronkan, di antaranya UU Sisdiknas, UU Guru dan
Dosen, UU Perpustakaan, UU Gerakan Pramuka, UU Perguruan Tinggi, UU
Keinsinyuran, UU Pendidikan Kedokteran, UU Sistem Perbukuan, UU Pesantren, UU
Cagar Budaya. Juga UU Karya Cetak dan Karya Rekam, UU Sisnas Iptek, UU
Pemajuan Kebudayaan, UU Kepemudaan, UU Sistem Keolahragaan Nasional. Selain
itu, UU Keuangan Negara, UU Pemerintah Daerah, UU Perbendaharaan Negara, UU
Perfilman, UU Kepariwisataan, dan UU Aparatur Sipil Negara. Restorasi
pendidikan nasional Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mencanangkan program Merdeka Belajar dan
Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035. Hal ini untuk menjawab tesisnya bahwa
kita berada pada era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak
menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi tidak menjamin mutu, dan
masuk kelas tidak menjamin belajar. Konsep bagus yang mengacu
dari luar negeri itu tampaknya kurang cocok kalau diterapkan begitu saja di
Indonesia. Ekosistem, atmosfer, infrastruktur, serta nilai budaya dan
indikator keberhasilan masyarakat kita sangat berbeda. Administrasi dan
keuangan juga masih jadi panglima, belum berorientasi keluaran dan tujuan. Peta jalan pendidikan
bermaksud mewujudkan profil Pelajar Pancasila, tetapi Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan justru menuai
kontroversi baru. Pancasila dan bahasa
Indonesia tidak secara eksplisit disebutkan, menghilangkan frasa iman dan
takwa, serta tidak mencantumkan standar pendidikan bagi jalur informal dan
nonformal. PP juga menghilangkan nomenklatur Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), badan akreditasi pada semua jenjang, dan Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). PP juga tidak mencantumkan
peran Dewan Pendidikan, manajemen berbasis sekolah, pengawas dan penilik
sekolah, serta tidak membedakan antara tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan. Hal ini menunjukkan tidak satu dan serasinya kebijakan dan
implementasi secara vertikal dan horizontal. Kemendikbud dan Ristek
mencanangkan delapan program prioritas Merdeka Belajar pada 2021. Delapan prioritas ini
meliputi: Kartu Indonesia Pintar, digitalisasi sekolah, prestasi dan
penguatan karakter, guru penggerak, kurikulum baru, revitalisasi pendidikan
vokasi, kampus merdeka, pemajuan kebudayaan, dan bahasa. Inovasi dan
kreativitas pembelajaran yang menghibur (edutainment) bagi generasi Covid-19
yang lebih banyak ghosting (menghilang bagai hantu) dan mager (malas gerak)
tidak menjadi prioritas. Padahal, telah menjadi
bencana besar yang meluluhlantakkan tidak hanya pendidikan, tetapi juga semua
sektor kehidupan di bumi ini. Diperlukan restorasi
sistem pendidikan nasional menyeluruh berdasarkan pada keunggulan jati diri
bangsa sendiri bagi generasi emas saat seabad Indonesia. Pendidikan yang
menstimulasi wawasan, cipta, rasa dan karsa secara cerdas, luas, mendalam dan
futuristik untuk berkontribusi nyata pada kesejahteraan seluruh alam semesta
pada masa sekarang dan masa mendatang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar