Tumpukan
Tradisi dalam Buku Bekas Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 23 Juni 2021
Lukisan tradisi Bali itu
seperti buku bekas. Sampulnya boleh usang, tetapi isinya berupa tumpukan
pengetahuan, yang bahkan pernah mengisi kepala orang-orang pintar dari
generasi ke generasi. I Wayan Pendet (81), I Made Kartika (60), dan I Wayan
Mardiana (52) sudah puluhan tahun menjadi pelukis. Gambarnya selalu dimulai
dari ngorten (membuat sketsa) dan kemudian melalui tahapan-tahapan yang rumit
agar menjadi lukisan yang utuh dan selesai. Sore sudah hampir rebah
ketika I Made Kartika bengong di depan lukisannya yang besar. Pohon maja di
halaman tengah Museum ARMA Ubud mengembuskan angin sampai ke Bale Bengong.
Anak Agung Rai, pemilik ARMA, sedang berbincang dengan pelukis (kontemporer)
Putu Wirantawan di sebuah bangku panjang, tak jauh dari Bale Bengong. ”Sudah enam bulan belum
akan selesai,” kata Kartika. Wajahnya tak lepas menatap lukisannya. ”Kapan kira-kira selesai?”
tanyaku. ”Mungkin tiga bulan lagi,
tapi belum tentu,” jawabnya singkat. ”Saya sudah sepuh, jadi
kerja semampunya.” ”Mengapa membuat lukisan
begitu besar?” ”Kalau kecil cepat
selesai, tapi mata sudah tak sanggup.” ”Tapi lukisan ini, kan,
detail sekali? Apa itu sanggup?” ”Ya memang begitu lukisan
Bali.” Kartika belum memberi
judul lukisannya yang berukuran hampir dua meter itu. Ia cuma memberi isyarat
bahwa gambarnya tentang aktivitas ritual di Pura Samuan Tiga, Bedulu,
Gianyar. Di seberangnya, I Wayan Pendet sedang ngorten di atas kanvas putih.
Ia menggores-goreskan pensil untuk
membentuk beberapa ekor ikan yang sedang bercengkerama di antara ganggang dan
batu-batu. Proses membuat sketsa itu, kata Pendet, bisa berjalan sebulan
lebih. Jika proses itu berhasil
dilalui dengan baik, melukis bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya, yakni
melakukan nyawi (menegaskan garis dengan tinta cina), lalu ngucak (proses
memberi efek jauh dekat dan gelap terang). ”Ini bisa berjalan 3 bulanan kalau
lukisannya besar,” kata Agung Rai. Jangan berpikir bahwa lukisan akan selesai
sebelum memasuki tahap berikutnya, yakni menyunin (membuat volume), ngasir
(memberi ornamen), dan ngewarna (memberi warna). Begitulah tahapan-tahapan
yang harus dilalui kalau kau mau melukis dengan metode Kamasan, Ubud, Batuan,
atau Sanur. Setiap langkah harus benar-benar menjejak pada tahapan-tahapan
yang telah digariskan, tidak ada langkah melompat. Tradisi-tradisi seperti
melukis Bali dan menenun kain sesungguhnya gabungan antara pengetahuan dan
keindahan. Jika pengetahuan dihasilkan dari proses belajar berabad-abad
melalui trial and error, keindahan memberinya perspektif berdasarkan fungsi.
Lukisan-lukisan klasik bergaya Kamasan, dimulai dari tradisi rerajahan
(kaligrafi) yang menggunakan huruf-huruf sebagai aksara suci. Rerajahan
memiliki fungsi ritual, yang dibutuhkan saat-saat upacara untuk memuja dan
mengagungkan Tuhan. Artefak lukisan klasik
tertua berada di Pura Besakih, Karangasem, yang diperkirakan berasal dari
abad ke-18. Ada pula di langit-langit Bale Kertagosa, sebuah bangunan yang
diperkirakan berfungsi sebagai ruang sidang di masa Kerajaan Gelgel,
Klungkung, dilukis oleh I Gede Mersadi sekitar abad ke-19. Mersadi bahkan
diberi gelar sangging oleh Raja Gelgel Dalem Waturenggong. Gelar ini semacam
pengukuhan eksistensi seorang seniman yang diakui kepiawaiannya oleh
kerajaan. Kalau kau menyaksikan
pameran Wana Jnana: Wanda, Rimba, dan Spiritualitas, yang dihelat dalam
rangka Pesta Kesenian Bali ke-43, kau akan melihat bagaimana praktik melukis
tradisi itu terlihat semakin menyenangkan. Beberapa karya yang dipajang di
Museum ARMA, Museum Puri Lukisan, dan Gedung Kriya Taman Budaya Denpasar
menunjukkan bahwa pewarisan terhadap pengetahuan, metode, dan corak melukis
klasik/tradisi itu berjalan baik sesuai dengan perspektif generasi kini. Kurator pameran Kun
Adnyana, misalnya, menggambarkan ada perbedaan signifikan pada cara-cara
generasi sepuh, seperti Pendet, dan generasi baru, seperti I Made Karsa (55)
serta I Made Griyawan (42), dalam memandang tradisi. Ketiga generasi seniman
Bali ini tetap memegang teguh proses kerja dalam melukis Bali, tetapi dengan
perspektif yang berbeda. Jika Pendet tetap kukuh dengan gaya, tahapan, dan
obyek karya yang adiluhung, Karsa meletakkan tradisi sebagai sesuatu yang
bisa ”diberi” muatan berbeda. Karya Karsa berjudul ”Barong Membajak Sawah”
tak hanya menggambarkan kenakalan, tetapi “Memberi tafsir baru terhadap
artefak tradisi,” ujar Kun Adnyana, yang juga Rektor Institut Seni Indonesia
(ISI) Denpasar. Barong, kata Kun,
sebenarnya simbol pemberi kesuburan. Jadi, ketika Karsa menggunakannya
sebagai ”binatang” pembajak sawah, sesungguhnya ia telah melakukan penyodoran
makna yang sebenarnya tersembunyi dalam tradisi. Meski begitu, penggunaan
barong dalam aktivitas keseharian, seperti membajak sawah, bukanlah sesuatu
yang lumrah. Barong sesungguhnya artefak tradisi yang sangat disakralkan
sebagai simbol kebenaran. Dalam obyek berbeda, I
Made Griyawan memamerkan karyanya berjudul ”Rapat Para Binatang untuk
Corona”. Kontekstualitasasi terhadap obyek sebuah karya sebenarnya sudah
diajarkan dua seniman asing, Rudolf Bonnet dan Walter Spies, ketika turut
mendirikan organisasi seniman bernama Pita Maha pada pertengahan tahun
1930-an. Obyek-obyek lukisan Bali yang tadinya hanya bersumber dari cerita
wayang sebagaimana dikerjakan oleh para pelukis Kamasan bergeser menyodorkan
obyek sehari-hari, seperti pasar atau kehidupan sehari-hari orang Bali. Griyawan melakukan
pemutakhiran sebagai respons terhadap merebaknya pandemi Covid-19 di seluruh
dunia. Dipimpin raja hutan (seekor singa), para bintang secara tekun
mengikuti sebuah rapat untuk membahas perihal virus korona yang telah
menyerang manusia. Pertanyaan penting yang disodorkan karya ini, apakah virus
korona bisa dimasukkan ke dalam kelompok binatang atau binatang buas
sekalian? Dalam bidang gambar, Griyawan turut menyertakan empat virus yang
turut serta ”menghadiri” rapat di tengah hutan lebat itu. Ada kenakalan di
dalamnya, tetapi juga ada pertanyaan eksistensial: binatang saja serius
menghadapi Covid-19, seharusnya manusia juga. Bukankah selalu begitu dari
kisah-kisah fabel? Dia sengaja ditulis sebagai alegori, justru untuk semakin
menegaskan maksud sesungguhnya. Dua contoh ini memberi
makna penting dari pameran Wana Jnana, yang menggeber lebih dari 100 karya
rupa. Penggelaran karya-karya para perupa klasik dan tradisi ini menunjukkan
bahwa tradisi bukan sesuatu yang beku, apalagi mati. Ia tetap dihayati,
dipraktikkan dalam ritus, dan memperkaya dimensi hidup manusia. Lewat
perjalanan generasi Pendet sampai ke Karsa dan Griyawan, kita mendapatkan
bentangan kekayaan intelektual yang begitu kaya. Karya-karya ketiga pelukis
ini lahir menjadi sesuatu yang ”ikonik”, yang menjadi patok-patok perjalanan
tradisi. Jika pada Pendet unsur makna sangat erat kaitannya dengan ritus-ritus
dan praktik keberagamaan, pada dua generasi berikut tradisi diperkaya dengan
tantangan hidup di masa pandemi. ”Ada penajaman makna yang disesuaikan dengan
tuntutan dan kebutuhan akan tuntunan hidup di masa kini,” kata pengkaji
budaya Bali asal Perancis, Jean Couteau, yang berbicara dalam Webinar Bali
Kandarupa, Selasa (15/6/2021) di kompleks Museum ARMA Ubud. Banyak yang sesat melihat
tradisi karena hanya memperlakukannya sebagai ritus dan artefak.
Lukisan-lukisan klasik dan tradisi Bali telah lama menjadi bukti bahwa
warisan leluhur tidak cuma bertumbuh sebagai modal pengembangan industri
pariwisata. Ia juga membawa satu perangkat sistem nilai, yang berisi etika
dan estetika untuk melampaui garis zaman. Dengan perspektif semacam ini, kita
akan mengerti lebih banyak mengapa orang-orang seperti Pendet, Karsa,
Griyawan, dan para perupa yang lebih muda, seperti I Gede Feby Widi Cahyadi
(22) serta I Komang Erik Setiawan (24) tetap kukuh bertahan melukis tradisi. Estetika yang diwarisi
oleh generasi terkini telah membuat mereka percaya tentang identitas, yang
pada suatu masa terus menebal dan akan membawa entitas kultural mereka terus
berkembang ke arah yang semestinya. Di
dalamnya ada optimisme dalam menatap hidup. ”Ini seperti kerja di sawah,
selalu ada yang dinanti untuk terus hidup,” kata Pendet. Menurut dia,
keasyikannya melukis sejak remaja dulu telah memberinya pelajaran penting
dalam melakoni hidup. ”Sejak membuat sketsa
sampai memberi warna, yang bisa makan waktu berbulan-bulan, sama dengan
bertani, yang memupuk kesabaran untuk mendapatkan hasil bagus,” katanya.
Terasa ada sentakan kecil, tetapi membuatku terperangah. Seseorang yang
setiap hari selama lebih dari setengah abad menatap kanvas terus-menerus telah
memberi perspektif penting dalam menjalani hidup. Kanvas putih adalah sawah.
Sketsa adalah menyemai benih. Nyawi dan ngucak adalah proses membajak sawah,
mempersiapkan lahan untuk menanam padi. Menyunin mungkin serupa dengan
meratakan hamparan sawah agar benar-benar siap ditanami padi, agar
petak-petak itu tampak bervolume, dan ngasir tak lain adalah proses menanam
padi. Sawah-sawah yang tadinya kosong diberi ”hiasan” tanaman padi. Terakhir
tentau saja ngewarna, yakni merawat padi sehingga menjadi tanaman yang
menghasilkan biji-biji yang bernas. Kau boleh memandang ini
sebagai tradisi agraris yang ketinggalan zaman. Namun, dengan etika bertanam
padi yang benar, kau akan menghasilkan padi-padi yang berguna bagi
kelangsungan hidup manusia. Bukankah ini bisa menjadi sebuah metafor tentang
bagaimana seharusnya kita menjalani hidup sekarang ini? Bahwa hasil yang baik dan
bernas tak pernah mengingkari proses panjang yang telah dilalui secara benar.
Etika yang disemai dalam tradisi telah mengajarkan kita untuk bekerja keras
dan tekun sebelum memetik hasilnya. Tindakan subversif sedikit saja akan
menjerumuskanmu ke jurang kehancuran. Kau bisa contohkan soal prilaku
koruptif, yang sejak dulu sampai kini seolah tak bisa kita berantas. Tindakan
semacam itu didasari oleh keinginan, sedikit kerja, tetapi memetik hasil yang
berlimpah. Lewat Pendet yang sepuh
dan para generasi ahli waris lukisan Bali, kita belajar tentang nilai-nilai
keadaban yang menegakkan martabat diri sebagai manusia yang berakal budi.
Jadi, lukisan tak sekadar pajangan keindahan, kau harus mereguk nilai
terdalam darinya sampai benar-benar tandas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar