Menghentikan
Kerentanan Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 17 Juni 2021
Sulit dibantah, kerentanan
Indonesia beberapa tahun terakhir dalam berbagai aspek kehidupan kian nyata.
Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung 15 bulan kini tengah meningkat
kembali—melipatgandakan kerentanan negara-bangsa Indonesia yang sudah ada
sebelumnya. Di tengah fenomena tidak
menyenangkan itu, beberapa kebijakan atau rencana kebijakan pemerintah
menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat; membuat asa untuk segera keluar
dari kerentanan hidup kian meredup. Publik heboh ketika
Kementerian Pertahanan berencana mengajukan anggaran Rp 1.750 triliun untuk
pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pihak Kemenhan
menyesalkan bocornya rancangan peraturan presiden terkait pembelian alutsista
dan menyatakan anggarannya tidak sebesar itu. Namun, bantahan itu tidak mampu
menghilangkan kontroversi yang sudah merebak. Pemerintah juga
memunculkan rencana kontroversial memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
untuk ”sembako”, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tertentu. Rencana itu
tertuang dalam rancangan undang-undang untuk revisi UU Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati juga menyesalkan bocornya dokumen RUU KUP. Menkeu dan Staf
Khusus Menkeu Yustinus Prastowo beralasan, pemberlakuan kebijakan itu masih
lama karena harus dibahas dan disahkan DPR. Bantahan mereka tidak menafikan
rencana ”pajak sembako”, ”pajak jasa pendidikan”, atau ”pajak jasa kesehatan”
tertentu. Klarifikasi mereka juga
tak mampu menepis peningkatan kegaduhan yang telanjur meruyak di ranah
publik. Penolakan terhadap rencana itu terus datang dari berbagai penjuru
masyarakat dan ormas, yang sekaligus meningkatkan spekulasi dan kecurigaan
kepada pemerintah. Pembelian alutsista
besar-besaran dan RUU KUP bolehlah disebut masih rencana, tetapi
kemunculannya di saat ekonomi rakyat masih sangat sulit dan ketika warga
diserbu pandemi Covid-19 jelas mencerminkan sikap tidak sensitif pemerintah
terhadap kesulitan hidup warga. Ekonomi rakyat memburuk.
Ini tampak kasatmata dari penutupan jaringan mal atau supermarket, swalayan,
hotel atau restoran, atau kebangkrutan usaha di berbagai sektor. Kepahitan
ini menambah barisan penganggur, orang miskin, dan duafa. Kehidupan mereka
kian rentan. Di tengah meningkatnya
kerentanan ekonomi, kegaduhan politik terus-menerus juga menambah kerentanan
politik-sosial. Akibatnya, makin banyak warga apatis dan kehilangan
kepercayaan kepada kepemimpinan nasional dan elite politik yang tak
menjalankan amanat reformasi. Kegaduhan politik
berkelanjutan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) yang kontroversial secara
hukum, substansi, dan prosedurnya dalam pengalihan status pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara. Meski cacat, TWK
dijadikan dasar bagi ketua KPK memberhentikan 51 pegawai KPK—termasuk beberapa
pegawai senior yang sudah bekerja belasan tahun dan berperan penting dalam
pemberantasan korupsi. Pelemahan KPK meningkatkan
kerentanan bukan hanya di bidang hukum dan pemerintahan, melainkan juga
politik. Meski KPK yang telah dilemahkan masih aktif menangkap beberapa
tersangka korupsi, masyarakat tak percaya KPK bisa melakukan pemberantasan
korupsi secara substantif dan signifikan. Kerentanan Indonesia
dicatat Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) yang mengukur kohesi,
ekonomi, politik, dan sosial. Dalam laporan FSI 2021, Indonesia ada di
peringkat ke-99 dari 179 negara; kian besar peringkat, makin jauh negara
bersangkutan dari kerentanan; kian rendah posisinya, dia makin rentan. Apa
indikator negara rentan? Menurut FSI, dalam bidang sosial mencakup, antara
lain, peningkatan tekanan demografis, konflik suku dan agama; peningkatan
masif pengungsi dari dalam dan luar negeri. Bidang ekonomi mencakup,
antara lain, korupsi yang meluas, kepincangan ekonomi yang makin lebar,
pertumbuhan ekonomi yang tak seimbang di antara berbagai kelompok masyarakat,
dan kemerosotan parah ekonomi. Kerentanan bidang politik mencakup, antara
lain, delegitimasi atau kemerosotan kepercayaan kepada pemerintah,
kemerosotan pelayanan publik, penerapan atau pengecualian pemberlakuan hukum
secara semena-mena, operasi atau tindakan sewenang-wenang aparat keamanan. Mengamati semua indikator
itu, Indonesia terlihat mengandung kerentanan tinggi. Kerentanan bisa naik
karena belum ada tanda-tanda meyakinkan perbaikan sosial, ekonomi, dan
politik yang bisa mengurangi kerentanan Indonesia menuju negara dengan warga
berketahanan kuat. Fenomena kerentanan
dikonfirmasi jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Mei lalu (Kompas,
7/6/2021). Jajak pendapat menemukan hal yang patut dipertimbangkan pemerintah
untuk mencegah peningkatan kerentanan dan, sebaliknya, bangkit mencapai
ketahanan sosial, ekonomi, dan politik. Lihatlah, legitimasi atau kepercayaan
warga kepada negara, persisnya pemerintah, cenderung merosot. Hampir 40
persen responden menyatakan hubungan pemerintah dengan warga tidak dalam
keadaan baik. Peningkatan distrust
terhadap pemerintah terutama terkait pelayanan publik yang memburuk,
kegaduhan politik, marjinalisasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang,
dan kemerosotan pemberantasan korupsi. Indeks Perilaku Antikorupsi 2021
menunjukkan persentase responden warga umum yang menyuap atau diminta
membayar suap ketika mengakses pelayanan publik cenderung naik (Kompas,
16/6/2021). Semakin berkurangnya trust
dan meningkatnya distrust sangat berbahaya. Gejala ini membuat menipisnya
modal sosial yang mutlak perlu bagi negara-bangsa Indonesia dan negara mana
pun untuk berpartisipasi dalam pembangunan mencapai kemajuan. Menghadapi fenomena ini,
pemerintah mesti lebih serius melakukan langkah konkret strategis,
komprehensif, cepat, dan berjangkauan luas untuk menghentikan berbagai
kerentanan. Konsep dan formula untuk mengatasi kerentanan sebenarnya sudah
ada, tetapi tidak diterapkan dengan penuh kesungguhan, keteguhan,
konsistensi, dan komitmen. Setelah reformasi berjalan
22 tahun, pemerintah tak sepenuhnya mampu mewujudkan wacana, konsep, dan
program untuk memperkuat ketahanan NKRI. Impian dan asa Indonesia untuk
menjadi negara maju, modern, bermarwah, dan bermartabat, baik ke dalam maupun
ke luar, seolah makin jauh dari jangkauan. Kini yang sangat urgen
ialah penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, penegakan keadilan
ekonomi dan sosial, rekonsolidasi demokrasi, akselerasi pemberantasan
korupsi, serta penegakan hukum yang adil. Hanya dengan langkah dan cara itu,
kerentanan negara dapat dibendung dan ketahanan nasional dibangun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar