Palestina,
Israel, dan Moderasi Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 17 Juni 2021
Perubahan politik penting
terjadi di Israel. Koalisi pelangi yang memayungi sayap kiri hingga sayap
kanan berhasil membentuk pemerintahan baru. Koalisi pelangi itu
mengakhiri masa kekuasaan Benjamin Netanyahu yang berdurasi total 15 tahun
(periode 1996-1999 dan 2009-2021). Sepanjang sejarah Israel, tak ada perdana
menteri dengan masa kekuasaan selama itu. Netanyahu, tokoh Partai
Likud, dikenal sebagai politisi kanan yang piawai memanfaatkan isu populis,
seperti keamanan Israel di tengah negara-negara Arab. Ia keras kepada Iran
dan Hezbollah yang dinilai mengancam eksistensi Israel. Juga keras kepada
Palestina, yang dianggap bukan mitra sepadan. Netanyahu selama ini
didukung partai kanan dan konservatif. Namun, ia tetap bisa mengklaim sukses
menjalin relasi dengan dunia Arab, yakni lewat normalisasi hubungan
diplomatik Uni Emirat Arab-Israel. Dari sisi ekonomi, seperti ditulis Lionel
Barber, mantan editor Financial Times, di Nikkei Asia Review, Netanyahu
berhasil memodernisasi ekonomi Israel. Perusahaan teknologi kelas dunia
bermunculan di masanya. Namun, tak ada yang abadi
selain perubahan. Koalisi pelangi menutup periode panjang pemerintahannya,
akhir pekan lalu. Selain meliputi partai kanan pendukung permukiman warga
Yahudi di wilayah Palestina hingga partai kiri bervisi penciptaan perdamaian
dengan Palestina, koalisi ini menyertakan Partai Arab. Padahal, selama ini,
ada semacam tabu: Partai Arab yang dinilai anti-Zionis tak boleh bergabung di
pemerintahan karena bisa membahayakan eksistensi Israel. Beberapa analisis penyebab
berakhirnya kekuasaan Netanyahu. Salah satunya, publik ingin ada wajah baru
di pemerintahan. Konflik bersenjata dengan Hamas pada Mei 2021 serta
pertikaian antarwarga Israel (keturunan Arab dan keturunan Yahudi) juga
mengingatkan, relasi dengan Palestina perlu diperbaiki. Posisi Netanyahu yang
tak menganggap Palestina mitra sepadan terasa tak relevan lagi. Selain itu, Netanyahu
dinilai mengembangkan politik memecah belah. Sejumlah kekuatan sayap kanan
pun tak menyukainya. Ia dikenal pula keras terhadap pers. Tak mengherankan,
berakhirnya kekuasaan Netanyahu disambut gembira sebagian warga Israel dengan
berpesta di jalan. Koalisi pelangi yang
dipimpin politisi konservatif Naftali Bennett harus membuktikan mampu
memenuhi harapan akan perdamaian sekaligus keberlanjutan eksistensi Israel.
Koalisi ini memang rapuh. Satu saja unsur di dalamnya hengkang, pemerintahan
terancam bubar. Namun, hal itu bisa menjadi kekuatan. Koalisi pelangi harus
selalu hati-hati merespons berbagai isu agar tetap utuh. Suara warga Arab
Israel dan kaum kiri kini harus diperhatikan. Moderasi—sikap menghindari
posisi ekstrem—diharapkan menjadi dominan. Kekuatan di luar
Israel—Palestina dan komunitas internasional—menanti terobosan pemerintahan
baru. Apakah mereka hanya memanfaatkan kejenuhan publik terhadap Netanyahu
atau memang mampu menjadi katalisator perdamaian di Timur Tengah? Waktu yang
akan menjawabnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar