BTS
Meal, Sensasi atau Ironi? A Windarto ; Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma,
Yogyakarta |
KOMPAS, 20 Juni 2021
Menarik bahwa kerumunan
akibat transaksi jual beli BTS Meal di gerai McDonald’s telah menciptakan
kekacauan. Pasalnya, peristiwa itu terjadi di tengah pandemi dan tanpa
sepengetahuan dari pihak-pihak yang berwenang terhadap penanganan pandemi.
Maka, selain patut diberi peringatan, peristiwa itu juga perlu dicatat sebagai
momentum untuk mewaspadai dengan jeli wajah dari masyarakat konsumsi di masa
kini. Pertama, penting untuk
dicatat bahwa kerumunan bukan hadir secara tiba-tiba atau jatuh dari langit.
Itu artinya, hal itu merupakan bagian dari rekayasa sosial yang dihadirkan
untuk menenun dan menebar jaring-jaring kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat. Oleh Clifford Geertz dalam
bukunya yang berjudul The Interpretation of Cultures (1973), kenyataan itu
diterangkan seperti jaring laba-laba yang diciptakan dan memerangkap sendiri
penciptanya. Itulah mengapa kerumunan yang tercipta di gerai McDonald’s
menghasilkan dilema dalam masyarakat konsumsi yang membuat kepentingan dari
komoditas global dapat tertutupi atau tersamarkan di balik identitas tanpa
wajah bernama kerumunan. Kedua, hal dan masalah di
atas mirip dengan apa yang oleh Goenawan Mohamad pernah kaji dengan jeli dan
waspada tentang selebritas (Tempo, 10/2/2013). Pada tataran ini, hal itu
boleh dibilang sebagai akibat dari pengaruh media komunikasi massal modern, khususnya
dalam industri film dan teknologi fotografi. Intinya, selebritas
diciptakan pada pertengahan abad ke-20 dan telah menghadirkan apa yang
disebut sebagai para penonton, pendengar, dan pembaca. Mereka adalah massa
yang sehari-hari tak pernah berjumpa, saling kenal, apalagi bertegur sapa,
terutama dengan para aktor/aktris yang menjadi tokoh-tokoh penting di media
massa. Maka, masuk akal jika
sebagai orang kebanyakan, wajahnya tak punya riwayat. Karena itulah, mereka
praktis ada dalam penjara budaya massa yang membuat segalanya, termasuk promo
komoditas McDonald’s yang menjajakan selebritas salah satu band termahsyur
dari Korea Selatan, layak untuk diserbu dan dikonsumsi. Ketiga, promo komoditas
dengan nama BTS Meal di atas yang di mata sebagian besar konsumen dianggap
mampu menghadirkan sensasi, sesungguhnya lantaran ada yang merekayasanya
secara kultural. Khususnya melalui ”tangan-tangan tak kelihatan” (the
inivisible hands) dari para pekerja media massa, apa/siapa pun dapat menjadi
tontonan, pajangan atau pameran yang berdaya pukau sedemikian menggairahkan,
meski sudah tampak koyak dan boyak (hambar). Jadi, gairah terhadap
komoditas yang membuat orang mudah larut dalam kekaguman dan siap menanggung
segala risikonya itulah yang mendorong dan membentuk kerumunan di sekitar
gerai McDonald’s. Namun, masalahnya kenyataan itu justru memperlihatkan ironi
yang sedemikian tajam, signifikan, dan relevan dari apa yang disebut sebagai
budaya massa. Sebab, di sanalah sesungguhnya segalanya siap untuk dikorbankan,
termasuk melepas apa yang menjadi miliknya sendiri. Dari ketiga catatan di
atas, tampak bahwa peristiwa di atas dimungkinkan terjadi bukan oleh rasa
penasaran atau pemujaan berlebihan, khususnya dari para Army. Namun, terlebih
karena McDonald’s masih mampu menjadi panggung untuk menyuarakan apa yang
disebut sebagai kepentingan dari masyarakat konsumsi yang pada dasarnya gemar
untuk berkerumun. Di panggung itulah, mereka
seakan-akan telah menemukan sosok yang mampu menjadi penyambung lidah dan
suaranya. Meski pada sosok itu yang terlihat sebenarnya hanyalah ”diri” yang
tanpa aura, tanpa gelora, bahkan tanpa subyek, tetapi di sanalah mereka
justru mendapatkan saat dan tempat yang tepat untuk selalu dapat berakrobat
seperti dalam atraksi tong setan yang berputar-putar dari bawah ke atas dan
begitu terus selamanya. Membosankan memang. Namun,
di situlah kebanyakan orang sudah merasa terhibur asal dikerjakan dengan
tekun dan rapi tanpa perlu mengumbar banyak kata. Maka, tak heran jika di
panggung itu pada intinya tak ada rasa kehilangan, apalagi duka dan ratapan.
Karena segalanya telah direkayasa untuk dijadikan perayaan akan bertahannya
budaya massa yang seakan-akan abadi sepanjang segala masa. Budaya yang selalu
mampu beradaptasi dalam dunia industri dan tidak akan mudah punah ini telah
menjadi ”selendang” bagi massanya. Dengan cara itulah, massa
tetap punya alat atau media untuk menggendong keyakinannya yang tidak mudah
untuk digoyahkan dengan pengetahuan apa pun juga. Keyakinan yang mampu
membuat orang banyak terpukau adalah instrumen yang paling menentukan secara
teknis. Karena mereka hanya perlu dituntun dan, jika perlu, dituntut dengan
konstruksi ”diri” di panggung yang dihadirkan oleh McDonald’s. Maka, bukan kebetulan jika
kerumunan itu menjadi layak untuk diberitakan di media massa. Bukan masalah
penting dan mendesaknya, tetapi lantaran hal itu lebih ”bernilai” di hadapan
kamera, alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis. Nilai itulah yang
saat ini menjadi ukuran di mana-mana meski mudah usang dan dibuang kapan pun
dan di mana pun. Hal itu senada dengan yang
pernah diujarkan oleh Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS yang
pintar dan tersohor, bahwa menjadi selebritas adalah sesuatu yang
menyenangkan. Sebab, ketika menjadi selebritas, semakin membosankan justru
semakin layak untuk dikenang dan diabadikan. Jadi, kerumunan yang bikin resah
dan gelisah sesungguhnya hanyalah rekayasa yang juga kerap ditampilkan di
depan media massa. Dengan kata lain, mereka
adalah panggung yang di masa lalu digemari juga oleh Hitler dan Mussolini.
Dua tokoh historis yang mampu menggemparkan dunia karena ramai-ramai telah
diubah untuk menjadi pemimpin yang estetis secara politik. Singkatnya,
pemimpin yang mampu membuat khalayak sedemikian terpukau lantaran ”sang
juara, sang bintang, dan sang diktator” justru jadi pemenangnya. Alih-alih di tengah
pandemi yang tampak belum usai ini, peringatan dan catatan di atas diharapkan
dapat menjadi pembuka mata dan telinga bagi siapa pun, termasuk para pemimpin
di masa kini, agar dapat semakin peka dan tajam dalam menangkap dan
menyuarakan kepentingan dalam hidup bersama. Kepentingan yang bukan sekadar
demi mengamankan aset-aset produksi dan/atau industri, melainkan juga
keselamatan rakyat yang selama ini nasibnya kerap terbuang dari pikiran. ● |
sepertinya fenomena alam, just kidding , entah apa yang bisa membuat generasi sekarang tergila gila hingga menyebabkan kehebohan di berita berita waktu lalu. Media bisa digunakan untuk hal positif dan negatif dan kebanyakan dijadikan untuk ajang pamer karena tuntutan sosial media, jika mereka Belajar Bahasa Inggris dan Produk yang Dijual tak ada bedanya Chicken Nugget dan BTS Meal di jual waktu lalu perbedaanya hanya dari segi Packaging Makanan semoga generasi sekarang punya tujuan yang lebih jelas dibanding termakan oleh media dan trend yang tidak jelas.
BalasHapus