Pemburu
Kekuasaan dan Kerakusan Zuly Qodir ; Sosiolog, Ketua Program Doktor Politik Islam
UMY |
KOMPAS, 27 Juni 2021
Telah lama kekuasaan
diperebutkan. Bahkan, demi kekuasaan, orang rela mati menumpahkan darah
sahabat-sahabatnya. Mereka berebut tidak kenal waktu, siang maupun malam
bagaikan seekor musang. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan era Orde Baru,
pernah berujar pada 2014, ”Malam masih menyelimuti kita. Namun, musang
berbulu ayam sudah berkeliaran.” Ini kiasan yang sangat
dalam bagi para pengejar dan pemuja kekuasaan. Mereka telah bergerak
merangsek mengatur segala strategi untuk merebutnya, ketika orang lain masih
terlelap dalam mimpi. Kebiasaan seperti itu oleh Menteri Daoed Joesoef
dikatakan sebagai tabiat para pengejar kuasa, tampaknya lembut namun
beringas, sebab khawatir tidak mendapatkan posisi yang diinginkan sejak
semula. Namun, pada komunikasi publik, menampakkan dirinya seakan tidak akan
merebut kekuasaan tersebut. Tampak alim, santun, sopan, dan merendah.
Seakan-akan hendak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan
kesempatan atau melanjutkan apa yang telah diukirnya. Tetapi itulah, para
pemburu kekuasaan tidak akan berhenti bergerak dengan berbagai rencana (busuk
sekalipun). Membunuh sahabat, kawan dekat, bahkan sanak saudara pun tidak
segan dilakukan. Yang terpenting, hasratnya tercapai dengan segala upaya.
Namun, sekali lagi, publik tidak mampu membacanya karena dilakukan dengan
cara-cara yang tampak simpati, lembut, serta memberikan simpati pada mereka
yang diajak bicara. Musang
berbulu ayam Kayu yang ada di dalam
sungai tidak akan pernah menjadi buaya. Begitu pun buaya di sungai tidak akan
pernah berubah menjadi kayu. Kayu tetaplah kayu. Buaya tetaplah buaya. Tidak
akan terjadi metamorfosa di antara keduanya. Kayu dapat tampak seperti buaya.
Demikian pula buaya dapat tampak seperti kayu. Namun, sifat kayu dan buaya
tidak akan terjadi perubahan. Inilah yang dikatakan tabiat, karakter,
sehingga sampai kapan pun dinyatakan sulit terjadi perubahan. Sifat bengis
tetap ada pada buaya, serigala, dan musang. Sifat lembut dan jinak akan tetap
ada pada ayam dan domba. Musang, sebagai binatang,
merupakan binatang pemangsa yang ganas. Ayam, itik, kelinci, bahkan kucing
dan tikus saja akan dimangsa jika dianggap berbahaya atas dirinya. Bahkan,
tidak saja karena dianggap membahayakan si musang, jika musang merasa perlu
untuk memangsa, maka dengan sigap si musang akan memangsa dengan geram.
Inilah perilaku musang, sebagai binatang buas, haus memangsa siapa pun yang
berada di hadapannya. Ibarat yang sering
dijadikan padanan adalah serigala berbulu domba. Serigala merupakan binatang
sangat buas. Pemangsa binatang berdarah dingin. Tanpa ampun akan memangsa
siapa pun yang berada di depannya. Tidak perlu menjadi musuh serigala,
binatang apa saja akan dienyahkan dari hadapannya, apalagi jika dianggap
membahayakan dirinya. Inilah perilaku serigala dengan sikap kasar, keras, dan
bengis, namun tampak lemah lembut karena mempergunakan bulu domba. Ayam dan domba sebaliknya,
merupakan binatang ternak yang sangat disenangi manusia. Ayam banyak manfaat
bagi manusia. Bulunya, kokoknya membangunkan dari tidur pulas, dagingnya
ataupun telurnya mengandung protein. Domba, demikian pula, ternak yang jinak.
Sangat bermanfaat bagi petani. Pupuknya, anaknya, kulitnya, dagingnya, dan
kepalanya. Semuanya bermanfaat untuk manusia. Hampir tidak ada manusia yang
ketakutan dengan ayam ataupun domba sebagai binatang piaraan. Namun, mengapa kiasan
tentang musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba menjadi sangat populer
dalam kosakata di negeri ini. Oleh sebab, perilaku para pemburu kekuasaan
yang rakus tidak pernah hilang di negeri ini. Di kampus, di partai
politik, di lembaga pemerintah, kementerian, ataupun lembaga swasta selalu
muncul orang-orang yang berpura-pura baik, santun, lemah lembut, sederhana,
tawadhu, tidak membutuhkan puja-puji dari sesama, dan tidak menghendaki
kekuasaan. Padahal, sejatinya orang tersebut memiliki hasrat yang sangat kuat
dalam merebut dan memelihara kekuasaan yang telah diraih dan dimiliki. Kekuasaan yang telah
didapatkan akan dipertahankan dan terus direbut dengan segala metode, namun
tidak menampakkan dirinya bahwa dialah sang pemuja kekuasaan. Bahkan, jika
diperlukan, akan membuat cerita bahwa orang lain yang sebenarnya haus
kekuasaan, dengan menjelekkan dirinya. Memfitnah dirinya sehingga orang
simpati padanya. Perilaku kasar, bengis dan
urik, tidak jujur ditutup dengan berbagai drama agar yang lain melihatnya
sebagai sesuatu yang normal. Seakan tidak ada anomali dan keserakahan di
sana. Semua itu dibungkus oleh perilaku ayam dan kambing yang memang santun,
lemah lembut dan asli, tidak dibuat-buat. Sungguh kita menghadapi
perilaku banyak manusia yang menutup perilakunya dengan topeng-topeng
kesederhanaan. Semua topeng ini dalam bahasa agama disebut sebagai perilaku
kaum fasik, berbeda antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Apa yang di
depan kita dengan di belakang kita. Berbeda antara ucapan dan tindakan. Manusia penuh dengan
topeng seperti itu sungguh membahayakan kita semua. Namun, perlu diingat pula
banyak yang terkesima, termakan dan larut dalam tarian irama manusia
bertopeng karena bujuk rayuan, ungkapan, kosakata yang dipergunakan dan gerak-gerik
yang lembut. Perilaku kaum fasik oleh agama dianggap sangat berbahaya sebab
dapat mencelakakan umat manusia yang lebih banyak. Sekalipun dapat
menyelamatkan segelintir orang demi meraih apa yang dikehendakinya. Tuna-nurani
dan tuna-etika Tumbuhnya manusia-manusia
bertopeng, musang berbulu ayam, dan serigala berbulu domba disebabkan
hilangnya nurani yang dimiliki sebagian manusia. Bisikan nurani, yang suci,
tertutup oleh ambisi yang terus menyelimuti dalam pikiran, dan hatinya. Dalam
bahasa agama, bisikan nurani, sebagai bisikan suci, bisikan ilahi, terempas
oleh kuatnya bisikan syaitan yang hendak menjerumuskan dalam kesesatan dan
kedhaliman yang nyata. Namun, demi meraih kejayaan semu, popularitas duniawi,
serta kemewahan zahir, maka bisikan ilahi tertutup segalanya. Manusia tuna-etika itu
lahir sebagai bentuk nyata dari sikap dan perilaku keras kepala yang
dimiliki. Dengan demikian, sekalipun telah banyak sahabat, sanak saudara,
teman karib, ataupun sesama atasan telah memberikan peringatan, nasihat, dan
saran, tetap tidak didengarkan, bahkan semuanya dianggap sebagai penghambat
dalam memperjuangkan kemajuan cita-cita. Para penghamba kekuasaan
dan rakus tidak akan pernah mendengar apa yang disampaikan orang lain. Orang
yang menyampaikan sesuatu secara obyektif sekalipun akan dituduh sebagai
cerita bohong tidak sesuai dengan kenyataan. Manusia-manusia
tuna-nurani dan tuna-etika dapat juga dikatakan sebagai manusia yang ingin
menang sendiri, sekalipun dalam meraih kesuksesan sebenarnya banyak dibantu
orang lain. Namun, seakan-akan kesuksesan yang diraih merupakan prestasi yang
didapatkan karena perjuangan sendiri yang telah dilakukan selama ini. Inilah
sesungguhnya keangkuhan manusia tuna-nurani dan tuna-etika. Mereka
beranggapan apa yang telah diputuskan merupakan yang terbaik. Tidak perlu
mengoreksi apa yang diputuskan, sekalipun sebagai sebuah keteledoran dan
kesalahan. Hal yang paling hebat dari
manusia-manusia tuna-nurani dan tuna-etika dalam bertindak adalah menjadikan
sahabat, kolega, ataupun teman sejawat mendapatkan posisi di sampingnya.
Namun, sejatinya posisi yang diberikan kepada para kolega, sahabat, dan
sejawat tersebut hanyalah untuk menutup segala ambisi yang dimilikinya. Semua
agenda telah dimiliki tanpa sepengetahuan sahabat, kolega, karib, dan teman
sejawat. Agenda-agenda tersembunyi tidak pernah diutarakan kepada sahabatnya.
Dipendam sendiri dan hanya akan dikemukakan kepada mereka yang memiliki
agenda yang sama, yakni: sesama pemuja kekuasaan serta pencari kuasa. Mereka
akan membuat persekongkolan dengan sesama pencari kekuasaan. Inilah
sebenarnya kerakusan yang nyata namun tertutup selimut kemunafikan! Para pemuja kekuasaan
sebenarnya merupakan manusia yang perilakunya penuh dengan kerakusan duniawi.
Namun, karena dibalut dengan sikap sopan, rendah hati, gaya bicara yang
renyah, dan penampilan yang seadanya, maka orang lain akan beranggapan itulah
sesungguhnya pemimpin yang diharapkan. Padahal, semuanya adalah kepalsuan
yang nyata dalam bungkus musang berbulu ayam, serigala berbulu domba.
Kerakusan dibungkus dalam kesederhanaan. Kebengisan dibungkus dengan
kebajikan. Sungguh berbahaya jika kita terus dikelilingi manusia-manusia
demikian. Akan hancurlah peradaban umat manusia. Saat ini kita tengah
berada pada situasi di mana para pemuja kekuasaan sangat tampak jelas di
hadapan hidung. Mereka berkeliaran siang malam, pagi-sore. Di mana ada
kesempatan, manusia haus kekuasaan dan rakus, akan beraksi, menelikung,
memfitnah dan berbuat kasar pada mereka yang tidak direstui. Apalagi terhadap
mereka yang dianggap sebagai ancaman dalam mendapatkan apa yang dikehendaki.
Inilah zaman di mana pemuja dan rakus kekuasaan mendapatkan ruang karena
kemunafikan merajai dunia! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar