Memaknai
Putusan Hakim dari Perspektif Sosio-legal Sulistyowati Irianto ; Guru Besar
Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia |
KOMPAS, 04 Juni 2021
Secara hampir bersamaan,
masyarakat sipil dikecewakan oleh dua putusan pengadilan. Pertama, putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (UU KPK), yang padahal sudah kehilangan legitimasi sosialnya sejak
perumusannya. Kedua, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait jaminan kebebasan dasar bagi
setiap murid, yang selama ini dipaksa sekolah dan kepala daerah untuk
berpakaian tertentu, dengan dalih agama. Tampaknya, Indonesia bukan
laboratorium yang baik bagi mahasiswa hukum untuk belajar pintar dari putusan
hakim karena langkanya putusan hakim yang bernilai tinggi (landmark).
Bagaimanakah kedudukan putusan hakim dan implikasinya bagi masyarakat? Putusan hakim berkedudukan
penting sebagai acuan hukum yang memastikan keadilan bagi setiap orang.
Memang teks hukum berisi norma dan cita-cita ideal, yang bertujuan melindungi
masyarakat dari kejahatan dan keserakahan. Namun, teks hukum belum menjadi
hukum yang hidup (the living law) sebelum mengalami ujian dalam kasus
sengketa, dan melahirkan putusan hakim. Sebabnya, selalu ada
jurang antara teks hukum ideal dan realitas hukum yang menunjukkan selalu
terjadinya pelanggaran hukum. Dalam persidangan teks hukum diuji,
diperdebatkan, dan menghasilkan pertimbangan dan putusan hakim. Itulah hukum
yang hidup, karena itulah yang senyatanya akan dipatuhi para pihak. Perkembangan hukum juga
selalu ketinggalan dengan kecepatan perubahan masyarakat, apalagi di era
digital. Menerbitkan hukum baru yang merespons kebutuhan masyarakat bukan
perkara mudah. Dalam ”kekosongan” ini
putusan hakim sangat penting sebagai acuan hukum sehingga disebut sebagai
secondary legislature (Barak, 2006). Selanjutnya Barak mengatakan bahwa
menjadikan diri sebagai corong undang-undang terlepas dari apa pun sistem
hukum suatu negara, hari ini sudah ketinggalan zaman, karena UU selalu
ketinggalan zaman. Bagaimanakah Indonesia
yang sistem hukumnya berakar dari civil law Belanda karena sejarah kolonial?
Sistem hukum Belanda sendiri sudah mengalami perubahan, masa kini sumber
hukum tidak lagi hanya kodifikasi UU, tetapi juga putusan hakim. Itulah alasan mengapa
Mahkamah Agung Belanda membuat program untuk memajukan kualitas putusan hakim
agar memiliki kepastian hukum dan semakin memberi keadilan bagi masyarakat. Problematika
hakim Sayangnya, di Indonesia
para penegak hukum, terutama hakim, masih menempatkan diri sebagai corong UU
karena berbagai alasan. Suatu penelitian Komisi
Yudisial (2014) menginvestigasi mengapa putusan hakim kita banyak yang
kualitasnya buruk. Penelitian dilakukan di delapan wilayah terpencil secara
geografis, termasuk wilayah konflik, dari Pulau Weh di Aceh sampai Papua.
Tujuannya, mengetahui pola berpikir hakim, dan cara mereka menghidupi hukum
melalui putusannya. Hasilnya menunjukkan
umumnya hakim masih menempatkan diri sebagai corong UU sebagai cara yang
dianggap paling aman. Tidak banyak hakim berani melakukan terobosan hukum,
bahkan untuk isu kemanusiaan dan pemerintahan bersih sekalipun. Bagi hakim di daerah,
amendemen ketiga konstitusi dianggap sebagai problem yuridis, yang
berimplikasi sangat signifikan. Hakim di daerah harus dilihat sebagai
kategori sosial yang berbeda dengan hakim di puncak kekuasaan yudikatif,
seperti MA dan MK, karena situasinya berbeda. Amendemen konstitusi
ketiga Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman, yang diturunkan dalam SEMA No
10/2005, meletakkan kekuasaan kehakiman kepada lembaga (Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri), bukan individu hakim. Sementara,
menurut Bangalore Principle 2001, kemerdekaan hakim harus diletakkan kepada
keduanya, lembaga dan individu hakim. Akibatnya, hubungan antara
ketua pengadilan dan hakim di daerah terasa seperti hubungan atasan dan
bawahan. Hakim takut membuat putusan yang tidak tekstual karena bisa dianggap
tidak tahu hukum dan disalahkan. Kisah keseharian para
hakim menunjukkan tata kelola sumber daya hakim yang transparan dan akuntabel
tampak kurang berjalan. Akibatnya, misalnya, tidak ada dana keamanan bagi
hakim apabila ada pengunjung membawa parang atau mengancam hakim di
persidangan. Cara hakim berstrategi
adalah saling menjaga teman dengan pulang pergi ke tempat sidang naik motor
bersama. Atau ada hakim yang waktu sakit sebangsal dengan terdakwanya. Juga,
karena kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan berkualitas di
daerah, banyak hakim tidak membawa keluarganya. Akibatnya, berapa pun
besar gajinya akan habis untuk biaya perjalanan menengok keluarga. Bisa
dibayangkan rawannya konflik kepentingan hakim kalau sudah berurusan dengan
kebutuhan uang. Promosi dan mutasi hakim,
sungguhpun ada peraturannya, praktiknya tidak demikian, dan cukup signifikan
memengaruhi hidup hakim. Akibatnya, hakim di tingkat bawah takut dihukum
karena bisa dikirim ke daerah terpencil sebagai hakim non-palu tanpa
kejelasan kapan berakhir. Ada hakim yang
terus-menerus ditempatkan di wilayah terpencil meskipun kondisi kesehatannya
buruk dan tanpa layanan kesehatan memadai. Ada banyak lagi kisah lain,
pendeknya situasi hakim di daerah bisa menjelaskan mengapa tidak banyak
putusan hakim berkualitas. Kabar
duka dunia hukum Kisah hakim di daerah
dengan berbagai kendalanya seharusnya tidak dialami oleh hakim MK ataupun MA.
Namun, mengapa kualitas putusan hakim di puncak kekuasaan yudisial juga
banyak yang mengecewakan rasa keadilan publik? Tampaknya hakim dengan
kedudukan yang lebih berpeluang menghasilkan putusan berkualitas, tetap saja
memaknai, menghidupi hukum sebatas teks mati, diisolasi dari fakta dan
realitas masyarakat. Tidak ada ruang bagi rasa
haus akan perlindungan terhadap dampak kejahatan luar biasa korupsi. Tidak
ada terobosan agar semua anak sekolah Indonesia tidak kehilangan hak dasar
dan peluangnya dididik menjadi manusia berkarakter. Putusan terkait Revisi UU
KPK secara formil dan material cacat secara etika moral. Zainal Arifin
Mochtar (Kompas, 8/5/2021) telah menyampaikan detail bahwa putusan MK
tersebut menyempurnakan kejahatan, dan berimplikasi kematian, baik bagi KPK
maupun bagi moralitas konstitusi lembaga itu. SKB Tiga Menteri 2021
adalah upaya menjamin akses hak dasar anak sekolah (khususnya perempuan),
sesuai mandat konstitusi, UU Perlindungan Anak, berbagai undang-undang lain,
dan konvensi internasional. Substansi SKB tersebut esensinya adalah tidak diperbolehkan
mewajibkan dan melarang pakaian dan simbol agama tertentu terhadap anak
sekolah, tak terkecuali golongan agamanya. Lagi pula terdapat 421
perda eksekutif di seluruh Indonesia (Komnas Perempuan, 2019), yang isinya
mengatur kewajiban berpakaian menurut agama tertentu dan larangan keluar
malam bagi perempuan sejak ada otonomi daerah. Dalam paradigma Hukum
Kritikal, hukum memang dirumuskan untuk tujuan mendefinisikan kekuasaan.
Jelas terbaca politik praktis yang dilancarkan kepala daerah untuk mengaktifkan
sentimen keagamaan demi kekuasaan. Celakanya, seksualitas perempuan sering
dijadikan komoditas politik atas nama moralitas sempit. Bukankah masalah serius
pendidikan adalah murid kita di-ranking termasuk paling bodoh di dunia,
antara lain, oleh survei PISA dari tahun ke tahun. Bukan soal pakaian! Banyak survei menunjukkan
anak kita semakin menghidupi nilai eksklusif dan intoleran yang justru
didapat dari sekolah; termasuk sekolah negeri yang penyelenggaraannya
dibiayai pajak rakyat seluruh negeri. Padahal, yang dibutuhkan adalah
pendidikan berkualitas secara akademik, yang melahirkan anak Indonesia
berkarakter (jujur, berbela rasa, dan cinta Tanah Air). Instrumen hukum seperti
SKB Tiga Menteri itu sudah lama ditunggu oleh banyak pihak di seluruh
Indonesia untuk memulihkan karakter yang hilang dari anak-anak kita selama
ini. Sayangnya, hakim tidak melihat adanya urgensi dan keseluruhan konteks
dari masalah pendidikan kita. Di era digital ini
pekerjaan insan hukum dapat tergantikan oleh kecerdasan buatan/artificial
intelligence (Susskind, 2020). Semua teks hukum, data persidangan, dan peta
putusan hakim sudah menjadi algoritma, dapat diperiksa mesin, termasuk
transparansi dan akuntabilitasnya. Menafsir hukum secara
serampangan dapat mudah terdeteksi. Hal yang tidak tergantikan mesin adalah
konteks hukum. Hakim seharusnya juga
membaca hukum sebagai konteks, yaitu realitas masyarakat, manusia di mana
hukum berada. Memajukan hukum Indonesia berarti juga memiliki repository
putusan hakim yang berkualitas, berhati nurani, dan melampaui zamannya agar
dapat dijadikan sebagai rujukan di masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar