Meski
Tidak Terlibat Perang Dingin, NATO Terancam Kebangkitan China Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 15 Juni 2021
“China bukan
seteru kami, bukan musuh kami. Tetapi kami sebagai aliansi perlu mengatasinya
secara bersama tantangan yang ditimbulkan oleh kebangkitan China terhadap
keamanan kami”
Pakta Pertahanan Atlantik
Utara, yang menggelar pertemuan tingkat tinggi di Brussels, Belgia, Senin
(14/6/2021), tidak sedang memasuki era Perang Dingin baru dengan China.
Namun, para pemimpin NATO melihat kebangkitan China memberikan risiko
keamanan bagi aliansi 30 negara itu. Sekretaris Jenderal Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), Jens Stoltenberg,
menggambarkan KTT NATO, yang dihadiri Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden
untuk pertama kalinya, sebagai "momen penting". Stoltenberg
menegaskan, tidak ada Perang Dingin baru dengan China, namun NATO harus mengantisipasi kebangkitan
militer Beijing. "Kami tidak memasuki
Perang Dingin baru. China bukan seteru kami, bukan musuh kami" kata
Stoltenberg kepada wartawan. “Tetapi kami sebagai aliansi perlu mengatasinya
secara bersama tantangan yang ditimbulkan oleh kebangkitan China terhadap
keamanan kami,” ujarnya lagi. KTT NATO kali ini
bertujuan selain untuk memulihkan kembali hubungan aliansi dengan AS, anggota
terkuatnya, juga untuk menyikapi ancaman Rusia dan kebangkitan militer China.
Aliansi pertahanan berusia 72 tahun itu ingin menegakkan perdamaian dan
demokrasi di seluruh dunia, termasuk melawan China dan kebangkitan militernya
yang cepat. "Kami
tahu bahwa China tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan kami ... kami
sebagai aliansi perlu merespons bersama,"
kata Stoltenberg. "China
semakin dekat dengan kami. Kami melihat China di ruang siber. Kami melihat
China di Afrika. Kami juga melihat China berinvestasi besar-besaran dalam
infrastruktur penting kami sendiri," katanya, merujuk
pada pembangunan pelabuhan dan jaringan telekomunikasi di Eropa. China telah menanaman
investasi di pelabuhan-pelabuhan besar Eropa. China juga rencana untuk
mendirikan pangkalan militer di Afrika hingga latihan militer bersama dengan
Rusia di Laut Baltik. NATO sekarang sepakat bahwa kebangkitan Beijing layak
mendapat respons yang lebih kuat. Para diplomat mengatakan,
komunike terakhir KTT NATO tidak akan menyebut China sebagai musuh. Tetapi
NATO akan memperlihatkan kekhawatirannya dengan menyebut China sebagai
tantangan "sistemik" untuk keamanan Atlantik. Terutama karena China
sudah dan akan melakukan latihan militer bersama Rusia, meluncurkan serangan
dunia maya, dan telah dengan sangat cepat membangun angkatan lautnya. Sehari sebelumnya
negara-negara kaya dari Kelompok Tujuh atau G-7 mengeluarkan pernyataan
prihatin tentang situasi hak asasi manusia di Xinjiang dan isu Taiwan.
Pemimpin G-7 juga menyerukan agar Beijing menjunjung tinggi otonomi Hong Kong
dan menuntut penyelidikan penuh dan menyeluruh terkait asal-usul virus korona
di Wuhan, China. Kedutaan Besar China di
London merespons pertanyataan G-7 itu sebagai upaya merendahkan reputasi
China. Beijing dengan tegas menentang situasi di Xinjiang, Hong Kong, dan
Taiwan. Kedubes China menyebut G-7 telah memutarbalikkan fakta dan terkandung
"niat jahat dari beberapa negara seperti AS ". "Reputasi China
tidak boleh difitnah," kata Kedubes China di London, Senin. Selain soal China, para
sekutu NATO akan menyetujui pernyataan yang menekankan kesamaan sikap dalam
mengamankan penarikan pasukan mereka dari Afghanistan dan ancaman Rusia.
Penarikan pasukan NATO dari Afghanistan dilakukan tergesa-gesa setelah Biden
membuat langkah mengejutkan sekutunya dengan memerintahkan penarikan penuh
pasukan AS paling telat 11 September. Sejak pencaplokan Krimea
oleh Rusia pada 2014, NATO telah memodernisasi pertahanannya. Para diplomat
mengatakan, upaya Rusia untuk memecah belah Barat akan dilakukan dalam sebuah
diskusi khusus, menjelang pertemuan antara Biden dan Presiden Rusia Vladimir
Putin, Selasa ini di Geneva. “Hubungan antara NATO dan
Rusia berada pada titik terendah sejak berakhirnya Perang Dingin,” kata
Stoltenberg kepada The Times Radio, Minggu. "Kami melihat
kesiapan (Rusia) untuk menggunakan kekuatan militernya terhadap tetangga
Ukraina dan Georgia. Tetapi kami juga melihat serangan dunia maya. Kami
melihat upaya untuk mencampuri proses demokrasi politik kami, untuk merusak
kepercayaan pada institusi kami, dan upaya untuk memecah belah kami,"
katanya. Para diplomat Eropa
bersikeras bahwa menghadapi Rusia yang kian agresif tetap menjadi prioritas
"nomor satu" untuk NATO, aliansi yang lahir untuk melawan ancaman
Soviet setelah Perang Dunia II. Mengingat semua ancaman
itu, para pemimpin NATO berharap Biden menegaskan kembali komitmen AS untuk
memperkuat pertahanan kolektif NATO. Hubungan NATO dan AS selama empat tahun
kepemimpinan presiden AS terdahulu, Donald Trump, merendahkan NATO dengan
berupaya menarik diri dari NATO dan mengurangi bantuan keuangan terhadap
sekutu pada 2017-2019. Biden menegaskan, NATO sangat
penting bagi AS dan sebaliknya. "Saya ingin mereka tahu bahwa NATO
adalah kewajiban suci," kata Biden, Minggu pada penutupan G-7 sebelum
terbang ke Brussel. Ketika tiba di KTT NATO,
Biden duduk berdampingan dengan Stoltenberg. Dia menggarisbawahi komitmen AS terhadap Pasal
5 piagam NATO, yang menjelaskan bahwa serangan terhadap satu anggota adalah
serangan terhadap semua dan harus dibalas dengan respon kolektif. “Pasal 5 kita ambil
sebagai kewajiban suci,” kata Biden. “Saya ingin NATO tahu bahwa Amerika ada
di sana.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar