Membangun
Ekonomi Demokratik Wihana Kirana Jaya ; Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 22 Juni 2021
Dari sudut pandang ekonomi
institusional, terdapat paradigma yang saling bertentangan, yakni ekonomi
demokratik vs ekonomi ‘nondemokratik’ (ekstraktif). Ekonomi ‘nondemokratik’ di
sini maksudnya adalah ekonomi yang didesain dan dikuasai oleh sekelompok
elite pelaku ekonomi melalui aturan-aturan main yang menguntungkan kelompok
elite tersebut demi memperoleh lisensi monopolistik atau oligopolistik,
termasuk dalam mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Tipe-tipe ekonomi
nondemokratik, seperti kapitalisme kroni, kapitalisme negara, dan kapitalisme
liberal, cenderung bersifat ekstraktif. Dalam beberapa kesempatan,
Presiden Jokowi mengatakan masa pandemi ibarat komputer sedang hang, sehingga
menjadi momentum untuk resetting sistem (ekonomi/kesehatan/pembangunan).
Maka, mendesain dan membangun ekonomi demokratik dalam jangka panjang relevan
usai pandemi nanti, sebab sejak reformasi, institusi politik yang demokratik
telah berkembang di Indonesia. Istilah ekonomi demokratik
diperkenalkan oleh Geoff Hodgson tahun 1984 melalui bukunya Democratic
Economy. Majorie Kelly dan Ted Howard mempopulerkan istilah itu kembali
dengan bukunya The Making of Democratic Economy; Building Prosperity For the
Many, Not Just the Few (2019). Kelly dan Howard mendefinisikan ekonomi
demokratik sebagai ekonomi dari, oleh dan untuk rakyat, sedangkan ekonomi
ekstraktif adalah ekonomi ‘dari yang 1 persen (orang terkaya), oleh yang 1
persen, dan untuk yang 1 persen”. Dampak ekonomi pandemi
memperlebar ketimpangan akibat meningkatnya angka kemiskinan dan
pengangguran. Hal ini terindikasi dari naiknya Rasio Gini menjadi 0,385 per
September 2020, dari posisi September 2019, sebesar 0,380 sesuai data BPS. Sebelumnya, Global Wealth
Report (2018) menunjukkan 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai
46,6 persen total kekayaan (finansial dan non-finansial) penduduk dewasa.
Ketimpangan penguasaaan aset ini berkecenderungan memburuk pasca-pandemi. Inklusif Ekonomi demokratik
bersifat inklusif. Namun, ekonomi inklusif tak selalu bersifat demokratik.
Ekonomi demokratik adalah ekonomi inklusif yang didukung oleh institusi
politik yang demokratik. Salah satu tujuan utama
ekonomi inklusif adalah mengatasi masalah eksklusi sosial dan ketimpangan
ekonomi, dengan membangun masyarakat yang lebih berdaya tahan dan
mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat di dalam proses pertumbuhan
(kegiatan value creation) sekaligus pendistribusian wealth hingga ke tingkat
komunitas. Prinsip ekonomi inklusif sesuai dengan peribahasa a rising tide
lifts all boats, yakni bahwa ‘pasang naik mengangkat semua kapal dan perahu’. Dalam Why Nations Fail
(2012), Acemoglu dan Robinson berargumentasi, faktor pembeda utama
antarnegara adalah institusi. Institusi ekonomi inklusif menegakkan hak
milik, menciptakan peluang yang sama (a level playing field), dan mendorong
investasi teknologi dan keterampilan baru. Kondisi seperti ini lebih kondusif
bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia semasa
Orde Baru dapat dikategorikan berinstitusi inklusif hingga akhir 1980-an.
Namun, setelah itu berkembang menjadi ekstraktif, yang terindikasi dari
kapitalisme kroni hingga terjadinya krisis ekonomi 1997/1998. Implementasi
praktis Kelly dan Howard
mengangkat tujuh prinsip ekonomi demokratik, yakni komunitas, inklusi,
tempatan/lokalitas, dan menempatkan SDM di depan modal (fisik/finansial). Di
samping itu, kepemilikan (modal/alat produksi) yang terdemokratisasi,
keberlanjutan dan pembiayaan etis. Kelly dan Howard
menekankan bahwa kepentingan/manfaat bersama perlu didahulukan. Raghuram
Rajan (2019) menyebutkan perlunya pertumbuhan ekonomi didistribusikan ke
seluruh komunitas, sehingga warga tak perlu meninggalkan komunitasnya untuk
memperoleh pekerjaan. BUMDesa dapat menjadi model dalam menerapkan
prinsip-prinsip di atas. BUMDesa perlu dikembangkan
menjadi entitas kewirausahaan sosial inklusif untuk mengatasi masalah sosial
dan lingkungan, sekaligus lembaga ekonomi demokratik tingkat desa. Secara
etis, pengembangan BUMDesa dibiayai dengan Dana Desa/APBDes, baik modal awal
maupun untuk ekspansi usaha. Komunitas lokal mendapat peluang menanamkan modal
untuk meningkatkan pendapatan. Berikutnya adalah
kelompok-kelompok swadaya masyarakat, baik kelompok tani/kelompok wanita tani
(KWT)/kelompok tani hutan (KTH) maupun kelompok-kelompok usaha kolektif.
Kelompok-kelompok ini dapat dikatakan sebagai koperasi informal. Mereka perlu difasilitasi
untuk menjadi koperasi-koperasi formal dan bantuan modal. Bagi sebagian besar
kelompok-kelompok usaha ini, biaya untuk formalisasi menjadi koperasi
berbadan hukum cukup berat. Para petani gurem dan
buruh tani sebaiknya dihimpun dalam kelompok-kelompok usaha bersama atau
koperasi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan,
sehingga mempermudah fasilitasi oleh pemerintah. Sementara di daerah
perkotaan, termasuk desa yang sifatnya urban, pengembangan kelompok usaha
bersama dapat menyasar kegiatan pengelolaan persampahan/bank sampah, urban
farming, budidaya tanaman hias, dan lainnya. Model lainnya yang cukup
inovatif adalah Balai Ekonomi Desa (Balkondes) yang dikembangkan di daerah
perdesaan Borobudur. Pengembangan Balkondes di 20 desa di sekitar kawasan
strategis pariwisata nasional (KSPN) Borobudur difasilitasi oleh sejumlah
BUMN. Balkondes yang mengelola
sejumlah homestay berfungsi sebagai pusat layanan sekaligus outlet
produk-produk kreatif lokal. Pengembangan pariwisata ini juga melibatkan
transportasi tradisional (andong), kuliner, dan seni pertunjukan tradisional.
Dengan cara ini, komunitas lokal tak hanya menjadi penonton pembangunan
pariwisata ‘superperioritas’ , seperti halnya KSPN Borobudur, melainkan
berpartisipasi aktif. Konsep ini dapat direplikasi di sekitar KSPN-KSPN
lainnya. Program Reforma Agraria
dan Perhutanan Sosial berbasis kelompok juga bisa dikembangkan lebih lanjut
menjadi usaha kolektif produktif. Selain itu, masih terdapat ratusan ribu
unit usaha mikro/kecil di lingkup UMKM yang perlu fasilitasi pemerintah.
Program Bantuan Langsung Tunai/Bansos semasa pandemi merupakan contoh
kebijakan ekonomi inklusif. Implementasi ketujuh
prinsip perlu diperluas dalam rangka membangun dan mewujudkan ekonomi
demokratik yang dimulai dari tingkat komunitas. Ekonomi demokratik secara
prinsip adalah sistem atau institusi ekonomi yang dikehendaki UUD 1945 dengan
Pancasila sebagai value systems. Prinsip-prinsip ekonomi
demokratik juga sejalan dengan agenda 2030 tentang Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) menyangkut 17 butir dan
lima pilar: People, Planet, Prosperity, Peace, Partnership. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar