Mimpi
Siang Bolong Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 20 Juni 2021
Pada awal pandemi dengan
pengetahuan bahwa dunia tidak akan lagi seperti sebelumnya, saya mengira
banyak hal bakal berubah. Dunia yang bergerak terlampau cepat membawa serta
manusia mengingini segala hal melampaui kebutuhannya akan mengatur ulang
dirinya. Istilah digitalnya reset, reboot, restart, dan semacamnya. Harmonisasi diri karena harus
tinggal di rumah bersama keluarga akan lebih menciptakan keselarasan,
termasuk selaras dengan jalannya alam. Siapa tahu untuk memenuhi kebutuhan
paling dasar, yakni bahan makanan, kembali ke apa yang bisa dihasilkan oleh
lingkungan terdekat. Tidak lagi menyerahkan hidup mati pada jaringan
supermarket, restoran waralaba, makanan cepat saji yang tidak kita pedulikan
sumbernya, pendeknya semata-mata takluk pada kapitalisme global. Pendidikan saya bayangkan
hanya akan menekankan tiga hal: pertanian, olahraga, kesenian. Yang pertama,
pertanian, selain moda untuk bertahan hidup juga janji untuk kembali ke alam
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Yang kedua, olahraga, mengolah diri sehat
jasmani rohani, syukur sampai ke yang eksistensial, menemukan kesadaran. Eling
ring raga. Yang ketiga, kesenian,
menjadi jalan untuk mencapai kemuliaan hidup. Meninggikan peradaban,
membangun kehidupan baru yang lebih baik, memelihara kebudayaan, memayu
hayuning bawana. Dugaan tersebut dengan
segera saya sadari tidak saja keliru, tapi juga tak lebih mimpi siang bolong. Sejak lama kita dikuasai
oleh cengkeraman sosialisasi gaya hidup yang mendikte keseharian hidup kita.
Susah untuk merebut kembali ruang dan waktu yang telah dikuasai lingkungan
sosial mutakhir, dari pranata sosial, politik, ekonomi, sistem kepercayaan,
gaya hidup, sampai banjir informasi yang memorakporandakan otak. Dalam masa pandemi pada
sejumlah tempat muncul kafe, restoran, arena rekreasi, dan tempat bersantai
baru. Ramai setengah mati. Individuasi yang saya
bayangkan akan menandai cara hidup di tengah pandemi ternyata tidak terjadi.
Kebiasaan reriungan bertahan, disertai emblem identitas baru, seperti antara
lain kelompok-kelompok pesepeda yang menguasai jalanan. Sepedanya
bagus-bagus. Pakaian pembungkus pemakainya juga bagus, umumnya beberapa nomor
lebih kecil dari ukuran tubuh berlemak si pemakai. Belum lagi
kelompok-kelompok lain dengan merek mobil sama, motor dengan jenis sama, dan
lain-lain. Yang bukan merek sama tak boleh ambil bagian. Mereka tengah merayakan
era post poverty. Dalam hal makanan, kelas
menengah histeris terhadap menu cepat saji yang dikemas dengan kekenesan
industri pop. Kardus pembungkusnya pun kalau perlu ditelan melintang—untal
malang. Dunia pendidikan formal
berlangsung seperti sebelumnya, bedanya cuma sekarang secara daring. Tidak
ada yang peduli bahwa dengan medium berbeda, pesan dengan sendirinya berbeda.
The medium is the message. Bukan salah guru. Penentu kebijakan pendidikan
nasional yang konon milenial pun tidak menjangkau bahwa beda medium beda
implikasi. Mungkin medium ini pula
yang membuat generasi sekarang lebih menyukai dogma (baca agama) daripada
pikiran kritis. Masa depan sains dibangkitkan dengan promosi ala jual jamu.
Meski minus tradisi membaca dan penelitian, katanya kita akan jadi pusat
sains dunia. Hanya para penulis yang
terbiasa hidup dengan individuasi dan sepi. Penulis tidak bisa ditolong atau
menolong siapa-siapa. Ia bisa menolong atau ditolong untuk menerbitkan buku,
memublikasikan karya, membikinkan teks pidato agar si pembaca pidato tidak
kelihatan kosong isi kepalanya, tapi mustahil penulis bisa membuat orang lain
jadi penulis. Dunia penulisan bukan jabatan, melainkan jalan. Berbeda dengan penguasa.
Enak jadi penguasa, terlebih di negeri di mana hukum bisa ditekak-tekuk
sesuai kehendak penguasa. Dunia penguasa bukan dunia individuasi, melainkan
persekongkolan. Banyak orang ingin jadi
penguasa. Sekali kekuasaan didapat, bisa dan dengan mudah menolong orang lain
entah itu anak, keponakan, menantu, saudara, teman, antek, menjadi penguasa
juga, dengan hierarki lebih rendah. Bagi yang berminat, bahkan
sekadar memberi dukungan, saya ucapkan selamat mendukung. Ada doa mutakhir:
insya Allah jadi wakil, menteri, komisaris, dan jabatan lain apa saja. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar