Menuju
100 Tahun Air Leding di Ibu Kota Nila Ardhianie ; Direktur Amrta Institute for Water Literacy |
KOMPAS, 16 Juni 2021
Pada 23 Desember 1922,
penduduk Batavia terutama yang berasal dari Eropa merasakan air leding yang
berasal dari mata air di Bogor untuk pertama kali. Kata air leding atau air
yang dialirkan melalui saluran pipa tertutup diambil dari nama perusahaan
pengelola air saat itu, Water Leidingen Bedrijf van Batavia. Batavia yang didirikan di
mulut Kali Ciliwung dibangun mirip kota di Belanda sehingga sering disebut
”Queen of the East”. Akan tetapi, sejak 1730, karena tidak mampu mengelola
kanal-kanal yang dibangun, banyak penduduk mati akibat malaria dan kolera.
Batavia kemudian mendapat julukan ”Graveyard of the East”. Akibat wabah ini,
penduduk Eropa ramai-ramai pindah dari permukiman pinggir pantai di Utara
Jakarta masuk ke arah Selatan di Weltevreden (Gambir, Senen, Menteng, dan
sekitarnya). Untuk meningkatkan kualitas
kesehatan, sejak 1873 mereka mulai meninggalkan penggunaan air sungai dan
menggali sumur untuk mendapat air tanah yang dianggap lebih higienis. Air
disalurkan menggunakan hidran komunal yang dimonitor secara berkala untuk
kurang lebih 8.000 penduduk Eropa yang tinggal di sekitar Cikini, Gondangdia,
Tanah Abang, Petojo, dan Salemba. Di sisi lain, sebagian besar pribumi masih
menggunakan air sungai atau hidran umum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penggunaan air tanah
bertahan selama setengah abad sampai ditemukannya mata air Ciburial, Bogor;
dan pada 1922 mulai dialirkan ke Batavia menggunakan saluran sepanjang 54
kilometer. Tahun 1922 dipilih sebagai hari jadi PAM Jaya, perusahaan air
minum milik Pemprov DKI karena dianggap sebagai tonggak penting layanan air
yang bisa langsung dimanfaatkan dari pipa tanpa harus mendiamkan atau
menjernihkan terlebih dahulu seperti penggunaan air tanah. Sistem tersebut didesain
untuk melayani 90 persen rumah tangga penduduk Eropa dengan standar pemakaian
140 liter per orang per hari. Setelah era ini, tidak ada investasi besar di
sektor air bersih karena berturut-turut terjadi Great Depression pada 1930
yang berpengaruh pada daerah koloni dan selanjutnya pecah Perang Dunia I dan
II. Era layanan air modern di
Jakarta dimulai pada 1957, saat Instalasi Pengolahan Air Pejompongan I mulai
beroperasi mengolah air bersih yang disalurkan dari Jatiluhur yang berjarak
sekitar 70 km. Saat itu kapasitas layanan naik hampir tujuh kali lipat dari
sebelumnya. Selanjutnya, pemerintah
banyak berinvestasi membangun instalasi baru, meningkatkan kapasitas
instalasi air dan penambahan jaringan. Investasi pemerintah berhenti sejak
pengelolaan air Jakarta diserahkan kepada swasta untuk periode 25 tahun pada
1998. Sampai masa kontrak hampir habis (2023), tidak ditemukan penambahan
fasilitas besar layanan air di Jakarta. Tahun depan, pengelolaan
air di Jakarta sudah berevolusi selama 100 tahun, sayangnya masih banyak
penduduk Jakarta yang belum mendapat akses air bersih perpipaan. Pemberitaan
Kompas edisi Jumat (11/6/2021) memberikan gambaran yang pas atas realitas
yang sekarang terjadi di Jakarta. Minimnya akses air bersih membuka celah
terbentuknya beragam kecurangan di lapangan yang berujung pada makin beratnya
hidup warga miskin karena harus membeli air bersih dengan harga mahal. Dengan jumlah penduduk
Jakarta sebanyak 10,6 juta jiwa (data tahun 2020), ditambah kebutuhan
penglaju, ada kebutuhan sebanyak 1,1 miliar meter kubik air per tahun. Data
Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta menunjukkan air yang terjual
pada 2020 sebanyak 342,4 juta meter kubik, dengan demikian air leding hanya
memasok 32 persen kebutuhan penduduk, sisanya menggunakan air tanah. Tidak
banyak berubah Setelah 100 tahun ternyata
pengelolaan air di Jakarta tidak banyak berubah dengan era kolonialisme.
Sistemnya pun masih sama, yakni kombinasi antara air perpipaan yang
tersentralisasi dengan survival warga yang menggunakan air tanah dan air
sungai langsung dari sumbernya. Komposisinya juga relatif sama, lebih besar
yang bergantung langsung pada alam. Sebagai kota dengan
kepadatan penduduk tinggi, seharusnya penggunaan air tanah mulai
ditinggalkan, air sumur di rumah biasanya digunakan langsung tanpa pengolahan
seperti penambahan bahan kimia dan penyaringan untuk mengurangi risiko
kesehatan. Dengan demikian, jika air tanah yang digunakan tercemar pengguna
juga berpotensi ikut tercemar. Beragam penelitian di
Jakarta menunjukkan terdapat kandungan e-coli dan detergen pada air tanah.
Hal ini terjadi karena keterbatasan lahan membuat tidak memungkinkan
terpenuhinya jarak aman antara sumber air minum dengan septic-tank di rumah.
Selain itu sebagian besar air limbah di Jakarta masih dibuang langsung ke
badan-badan air sehingga berpotensi mencemari air. Hal tersebut berbeda
dengan air perpipaan yang menggunakan air baku yang sudah diolah dan
disalurkan ke dalam sistem tertutup sehingga potensi risiko tercemar relatif
dapat ditekan. Penggunaan air tanah juga menyebabkan Jakarta mengalami
amblesan tanah (land subsidence) yang mengkhwatirkan. Untuk peningkatan kualitas
kesehatan masyarakat, Jakarta perlu memprioritaskan program tersedianya akses
air bersih bagi 100 persen penduduk. Rencana strategis komprehensif yang
dikembangkan secara partisipatif perlu disiapkan dan dilaksanakan secara
kolaboratif oleh pemerintah pusat dan daerah. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang menyatakan ”Hak rakyat atas air yang
dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan
kebutuhan pokok minimal sehari-hari” adalah landasan kuat untuk program dan
anggaran air bersih Ibu Kota. Perubahan iklim,
meningkatnya aktivitas sosial ekonomi, alih fungsi lahan dan polusi yang
membuat air berkualitas makin langka adalah faktor-faktor yang membuat
pemenuhan kebutuhan air makin berat. Padahal, penduduk terus bertambah dan
peningkatan kesadaran hidup sehat membutuhkan air makin banyak. Karena itu, program
penyediaan air ke depan perlu memiliki kebaruan, misalnya dengan mengutamakan
pemanfaatan air lokal, dengan teknologi dan penegakan hukum, air sungai
Jakarta yang kualitasnya rendah dapat diolah untuk menjadi air baku.
Mengalirkan air puluhan kilometer jauhnya ke depan akan makin sulit dilakukan
karena penduduk di tempat sumber air berada juga membutuhkan, selain
infrastruktur skala besar membutuhkan investasi besar dan berpotensi menambah
beban tanah. Penggunaan peralatan
teknologi hemat air, mengurangi penggunaan air, mengolah kembali air dan
memanfaatkannya menggunakan beragam inovasi yang sudah banyak tersedia harus
menjadi strategi utama. Instalasi pengolahan skala kecil, memanfaatkan sumber
daya air lokal sehingga dekat dengan masyarakat yang dilayani penting
dikedepankan. Potensi air limbah untuk
diolah juga sangat besar, ketimbang dibuang langsung dan mencemari, potensi
ini perlu diolah. Inovasi di sektor air bersih dan air limbah sudah sangat
berkembang, pemanfaatan yang tepat untuk kebutuhan penyediaan air sangat
dibutuhkan untuk menjamin akses bagi seluruh penduduk. Tomorrow’s risk is
being built today, penting bagi kita semua untuk berupaya optimal agar
keberlanjutan sumber daya air menjadi potret Jakarta di masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar